Tag Archives: pintu gerbang

Catatan Kaki 69: Ke Belakang Kekuasaan, Ke Kiri Pendidikan, Ke Kanan Kemelaratan, Ke Depan Hiduplah Indonesia Raya!

Standar

Dengan agak takut, gerbang yang tertutup itu kudorong ke depan hingga sedikit terbuka..

Setelah kurasa cukup untuk lewat badan, aku pun mencoba masuk ke dalamnya. Dan ternyata, kedatanganku sore itu disambut dengan sebuah ketakjuban luar biasa.

Sebuah pemandangan yang tak pernah kuduga langsung terpampang di depan mata. Pada sisi kanan gerbang, kulihat jajaran rumah yang berdempet berhimpitan. Mirip petak-petak pada perkampungan kumuh di kolong jembatan. Dengan jemuran baju semrawut bergelantungan di depan pintu masuknya, serta bermacam peralatan dapur yang berserak hingga pelataran. Berantakan dan tersebar di teras sempit yang juga difungsikan sebagai dapur sekaligus kamar mandi untuk anak-anak mereka.

Kemiskinan yang kulihat terpampang nyata di depan gerbang keraton itu, sejenak membuatku trenyuh. Sungguh aku hanya menghela nafas panjang dengan penuh keheranan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, di halaman sebuah kerajaan yang pernah kaya raya, justru kemelaratan terlihat nyata tepat di pintu gerbang utamanya.

Karena pintu besar yang tengah kumasuki itu adalah gerbang keraton bernama Kori Saleko. Gerbang pertama yang merupakan pintu masuk dari arah selatan, setelah melewati Gapura Gading dan Kori Brojonolo Kidul. Jalan masuk yang kedudukannya sama dengan Kori Srimanganti di Kamandungan di sebelah utara.

Setelah melewati pintu besar itu, aku melangkah lagi ke sisi gerbang sebelah kiri. Di sana kudapatkan bangunan gedung Sekolah Dasar. Kalau tak salah namanya SD Pamardisiwi. Dan kulihat di halaman sekolah yang tak begitu luas, bahkan sangat sempit dan nylempit itu, terdapat anak-anak perempuan yang sedang berlatih upacara bendera.

Kulihat enam bocah perempuan sedang  menyanyikan ‘Indonesia Raya’ dengan sangat bersemangat, lima anak lainnya memberikan sikap hormat pada bendera sebagai peserta. Dan tiga bocah di tengah sedang membawa lipatan bendera, dengan satu anak lagi berada di tengah lapangan sebagai komandan upacaranya.

Karena tertarik dengan tingkah lucu para bocah yang bergaya bak paskibraka, aku pun memotret kegiatan mereka.

Pertama kufoto seorang anak perempuan berambut lurus dengan kepang dua, yang bertugas menjadi komandan upacaranya. Sikapnya tegap dengan tangan kanan terletak di atas mata memberikan gerakan hormat bendera. Demikian pula dengan lima temannya yang berpakaian olahraga. Dengan menghadap tiang bendera, mereka mengangkat tangan dengan sikap hormat. Aku pun memoteret wajah-wajah lucu dan lugu itu. Yang kemudian saling lirik dan lempar senyum ketika melihat salah satu temannya kufoto.

Namun sepertinya mereka malu karena kedatanganku. Terlihat dari sikap anak yang menjadi komandan upacara. Ketika aku tengah mengamati petak-petak rumah di sebelah kanan gerbang, kudengar suaranya lantang ketika memberi aba-aba ‘siap grak’. Namun saat aku datang dan ia harus memberikan perintah ‘hormat bendera, grak’, tiba-tiba menjadi lebih lirih dari teriakan sebelumnya. Mungkin ia malu melihatku yang kemudian duduk di pinggir lantai sekolahan, menonton mereka latihan.

Begitupun dengan anak-anak yang sedang menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’. Saat kufoto anak berambut keriting yang menjadi dirigen, teman-temannya yang lain saling mengedipkan mata dan melemparkan senyum dikulum. Senyum malu-malu yang membuat beberapa dari mereka kemudian menutupi mulutnya. Hingga nyanyian lagu kebangsaan yang sebelumnya terdengar lantang, menjadi meliuk-liuk karena diselingi gurauan dan suara cekikikan yang seakan tertahan.

Namun aku teruskan saja menikmati latihan mereka, yang tiba-tiba mengingatkanku pada waktu SD dulu. Ketika tiap Senin minggu keempat harus menjadi komandan upacara bendera juga. Juga ketika aku mengikuti kegiatan perkemahan pramuka.

Namun sepertinya kehadiranku benar-benar membuat mereka malu dan kehilangan konsentrasi. Karena anak-anak itukemudian  terlihat gugup ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menghormat bendera.

Dan yang paling fatal adalah petugas pengibar bendera, yang tiba-tiba salah memasang talinya. Hingga yang seharusnya warna merah di atas dan putih di bawah, menjadi terbalik memasangnya. Kecelakaan bendera ‘putih merah’ yang sontak membuat anak lain tergelak tak ada habisnya. Membuat latihan upacara yang sebelumnya teratur rapi menjadi berantakan, karena di antara mereka menjadi saling dorong dan tertawa.

Tawa-tawa itu sempat kutangkap dengan kamera. Wajah-wajah lucu anak perempuan yang membuatku tersaput bahagia. Namun sekaligus juga haru pada kerinduanku yang sedang ingin punya anak perempuan. Keinginan yang sepertinya hanya akan menjadi sebuah angan dan impian belaka, karena akan sangat sulit kudapatkan.

Setelah cukup memotret tingkah lucu mereka, yang tertawa dan saling menyalahkan karena terbaliknya bendera, aku pun meninggalkan halaman sekolah yang sempit itu.

Aku meninggalkan mereka untuk berlatih lagi. Berlatih mencintai bangsa dan negaranya, untuk menjadi seorang nasionalis dan patriotik sejati. Hingga kelak setelah mereka dewasa bisa memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat miskin yang masih berjuta-juta jumlahnya. Yang contoh nyatanya terlihat tak jauh dari mereka. Berada di sebelah tempat mereka belajar upacara bendera. Rumah-rumah petak yang berhimpitan menempel pada tembok gerbang keraton. Rumah-rumah kecil yang sebenarnya tak layak huni saking sumpek, kumuh, semrawut dan berantakannya. Namun itulah potret nyata kemiskinan rakyat Indonesia kebanyakan, yang mungkin luput dari data statistic di Istana. Juga data di keraton, yang hanya selemparan batu saja jaraknya.

Dengan senyum masih terkulum, aku meninggalkan anak-anak yang bersiap latihan kembali itu. Setelah kubuat kacau balau dan berantakan karena kedatanganku sebagai ‘tamu tak diundang’.

Aku pun berjalan lagi ke arah utara, menuju gerbang keraton yang ketiga. Yang kulihat sama dengan gerbang sebelumnya, hanya terbuka sedikit saja daun pintunya. Hingga terpaksa harus membukanya sendiri, mendorong kuat-kuat daun pintu yang terbuat dari papan kayu yang sangat kuat saking tebalnya.

Inilah Kori Gadungmlati. Gerbang menuju bangunan aula di depan keraton yang bernama Magangan, yaitu pelataran yang fungsinya sama dengan Kori Srimanganti. Yakni menjadi pintu masuk menuju keraton bagian dalam. Hanya bedanya, Kori Srimanganti pintu masuk dari arah utara, Kori Gadungmlati adalah pintu masuk dari sebelah selatan.

Pada jaman dulu, Magangan menjadi tempat calon prajurit untuk dididik. Para pemuda dari desa-desa bawahan keraton yang ingin menjadi prajurit, di halaman inilah mereka dikumpulkan. Sebelum dibawa ke alun-alun untuk berlatih perang yang disebut dengan watangan. Dari tempat para prajurit magang itulah, nama Magangan ini tercipta.

Namun yang kutemukan sekarang, pelataran yang luas itu justru terlihat sangat tidak terawat. Terlihat dari kotornya halaman dengan sampah daun-daunan yang berserakan hampir di seluruh halaman. Bahkan beberapa ranting pohon yang ditumpuk berantakan.. Juga tingginya rumput yang berada di sebelah kiri dan kanan jalan. Mungkin sudah lama tidak dipotong hingga menciptakan semak-semak rimbun pada beberapa bagian halaman.

Namun yang lebih mencengangkan, di halaman yang luas itu kulihat banyak pekerja. Kuperhatikan pekerjaan mereka, yang tengah mencampur adukan pasir dan semen. Kemudian beberapa orang lainnya sedang mencetaknya menjadi kotak-kotak paving.

Aku tersenyum dalam hati, melihat halaman yang dulu menjadi latihan para prajurit, sekarang menjadi pabrik paving block. Memang dilihat dari banyaknya keringat yang keluar, mereka sama-sama bekerja keras. Hanya yang sekarang bukan untuk mempertahankan keraton, melainkan untuk mempertahankan kehidupan keluarganya.

Padahal kalau disimak dari sejarahnya, keberadaan pendopo Magangan merupakan serambi keraton. Karena letaknya tepat berada di depan Dalem Ageng Prabasuyasa yang merupakan kediaman raja. Dan kalau harus membaca ulang tata ruang keraton, Magangan merupakan serambi depan yang sebenarnya dari keraton. Bukan seperti yang selama ini diketahui banyak orang, yang datang ke keraton justru melalui Kamandungan.

Karena dalam tata arsitektur Jawa, ketika rumah utama menghadap utara, maka bagian depannya juga berada di utara. Halaman, serambi, ruang tamu, ada di sebelah utara. Demikian juga dengan bangunan keraton Solo. Ketika Dalem Ageng Prabasuyasa menghadap utara, maka mestinya bagian utara itulah yang menjadi arah depannya.

Jadi kalau selama ini orang datang ke keraton melalui Kamandungan, sebenarnya sebuah kekeliruan. Karena halaman depan keraton yang sebenarnya bukan di utara, melainkan di sebelah selatan yakni di Magangan.

Maka kalau datang dari Kamandungan, itu sama saja seperti orang bertamu, dia masuk lewat dapur, bukan melalui pintu depan. Atau ketika menghadap raja, berarti sama saja datang dari arah belakang. Yang bisa diterjemahkan hanya disambut dengan punggungnya, dan bukan dengan wajahnya.

Atau mungkin ada juga penafsiran yang bisa diambil pada sejarah jaman dulu kala. Ketika Gubernur Jenderal Belanda datang ke keraton lewat Kamandungan. Yang berarti sama saja kedatangannya disambut oleh sang raja yang tengah duduk di singgasana menghadap selatan, dengan punggungnya. Atau malah dengan pantatnya.

Dan di Magangan, aku cukup duduk di pinggir pendopo, sambil merenungkan kekeliruan itu. Sebuah pemahaman yang sudah menjadi suatu kesalahkaprahan. Sesuatu yang terlanjur salah, namun terus saja dilanjutkan, tanpa pernah dianggap sebagai sebuah kesalahan. Menjadi sebuah kelaziman, bahkan kelumrahan. Karena rerbukti dari pintu loket masuk keraton, yang masih ada di Kamandungan, dan bukan di Magangan.

Setelah lama mengamati Magangan, aku keluar lagi melewati gapura Gadungmlati. Masih sempat kulihat anak-anak perempuan yang tengah berlatih upacara bendera. Namun kali ini, aku berjalan lurus ke depan tanpa menengok ke kanan. Aku sengaja pura-pura tidak memerhatikannya. Agar mereka tak terganggu lagi konsentrasinya.

Ketika lewat di sampingnya, mereka tengah menyanyikan lagu kebangsaan. Sebuah ajakan mulia untuk segera ‘bangunlah jiwanya untuk Indonesia Raya’.

Dalam hati aku berdoa, semoga demikianlah yang terbangun di dalam jiwa mereka. Agar tak memperpanjang lagi kesalahkaprahan yang telah lama terjadi di Indonesia. Ketika bangsa yang kaya raya justru dihuni oleh orang-orang termiskin di dunia. Ketika janji tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang justru semakin disia-siakan oleh negara. Ketika kekayaan negerinya (seperti kasus Lapindo) ditambang bukan untuk sebenar-benar kemakmuran rakyat, namun malah sebesar-besar kesengsaraan rakyat.

Sambil berjalan ke depan, tanpa menengok belakang dan kiri kanan, aku pun turut membisikkan “Hiduplah Indonesia Raya…..”

oleh Nassirun Purwokartun pada 11 Maret 2011 pukul 22:28

Catatan Kaki 62: Membaca Kode Rahasia Songgo Buwono yang Penuh Sandi Angka

Standar

Dari Sitinggil, aku meneruskan perjalanan ke arah selatan. Menuju gerbang keraton Solo yang bernama Kori Kamandungan.

Sebelum masuk pelataran Kamandungan yang bernama Bale Rata, aku melewati pintu masuk bernama Kori Brojonolo. Sebuah jalan masuk berupa sebuah gerbang besar dengan sepasang daun pintu kayu tebal bercat biru yang sangat kokoh.

Di atas pintu gerbang tersebut, konon terpahat sebuah penanda berupa kulit sapi berbentuk segi empat. Suatu sandi dari ungkapan lulang sapi siji, yang berarti ‘selembar kulit sapi’. Namun sebenarnya, lulang sapi siji merupakan kepanjangan dari wolu ilang sapi siji yang menerangkan tahun pembuatan gerbang utama tersebut.

Dalam kode sandi tahun candrasengkala, wolu adalah angka 8, ilang pengganti angka 0, sapi angka 7, sedangkan siji berarti angka 1. Maka ketika dibaca dari belakang, terbaca angka 1708. Yang berarti bangunan tersebut dibuat pada tahun Jawa 1708 atau 1782 M.

Kori Brojonolo berasal dari kata brojo dan nolo. Brojo berarti senjata tajam, dan nolo berarti hati. Sebagai peringatan agar kita memiliki ketajaman hati. Karena untuk mencapai kesempurnaan kehidupan, haruslah memiliki ketajaman perasaan yang bersifat rohaniah. Caranya adalah dengan terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.

Di kanan kiri gerbang tersebut kita temukan empat pos jaga. Bangunan berbentuk gardu yang berada di luar bernama Bangsal Brojonolo, sedang yang ada di dalam bernama Bangsal Wisomarto. Keempat gardu bangsal itu dulunya dipakai berjaga prajurit keraton.

Wisomarto berasal dari kata wiso yang berarti racun, dan marto yang berarti penawar. Sebuah perlambang agar kita harus bisa menjadikan racun yang berbahaya tidak lagi berbisa. Sebab dalam usaha kita menuju kesempurnaan kehidupan, harus bisa meninggalkan perbuatan tercela yang bisa meracuni jiwa kita.

Namun sekarang keempat bangsal itu tak lagi ada yang menjaga. Yang menempati justru para penjual es yang menjual dagangannya. Dan menjadikan Bangsal Brojonolo dan Wisomarto menjadi tempat lesehan yang asyik untuk menikmati es jualan mereka.

Akupun berhenti sejenak di bangsal itu. Namun tidak sambil beli es, karena hari masih pagi. Aku hanya beli roti, yang kunikmati sambil mengamati dengan seksama bentuk ukiran yang terpahat di atas Kori Kamandungan. Ukiran berbentuk padi dan kapas yang melintang di atas lisplang, yang konon melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Kori Kamandungan berarti pintu gerbang Kamandungan. Merupakan bangunan terdepan dari keraton bagian dalam. Bangunan peninggalan Paku Buwono IV yang didirikan pada tahun 1819, dan kemudian dibangun kembali oleh Paku Buwono IX pada tahun 1889.

Kamandungan berasal dari kata mandu, yang berarti calon. Sebuah perlambang bahwa setiap kita sesungguhnya adalah calon mayat. Mengingatkan pada semua manusia yang tengah menikmati kehidupan, bahwa pada saatnya nanti pasti akan mengalami kematian.

Maka untuk mengajarkan itu, di sisi kiri dan kanan Kori Kamandungan terpasang tiga cermin besar. Dan sebelum masuk keraton disarankan untuk bercermin, memeriksa pakaian yang dikenakan. Yang sesungguhnya perlambang untuk mengingatkan agar kita selalu bercermin diri terhadap tingkah laku perbuatan kita, demi menjaga kesucian jiwa.

Dan sama seperti di gapura Gladag, di depan Kori Kamandungan pun terdapat dua patung raksasa yang menyeramkan. Arca Pandhita Yaksa yang menjadi perlambang, bahwa setiap niatan untuk menjaga perbuatan dan kesucian hati, pasti ada halangan dan rintangan yang akan menghadang.

Dari arah pelataran Kamandungan, dengan menatap ke atas sebelah kiri akan terlihat sebuah menara. Bangunan keraton yang tinggi menjulang, dan  dari jauh pun sudah kelihatan. Sebuah bangunan menara berbentuk segi delapan dengan ketinggian 30 meter, yang terbagi dalam 4 lantai. Inilah yang disebut dengan Panggung Songgo Buwono.

Panggung Songgo Buwono berarti menara penyangga semesta. Konon bangunan itu menjadi tempat bertemunya Raja-Raja Solo dengan Ratu Pantai Selatan yang dipercaya sebagai istrinya. Namun sesungguhnya juga menjadi tempat pengintaian, untuk mengawasi gerak-gerik Belanda yang berada di Benteng Vastenburg.

Penamaan Panggung Songgo Buwono juga menjadi penanda berdirinya bangunan ini. Sebab dalam hitungan candra sengkala, panggung bermakna angka 8, song bermakna angka 9, so bermakna angka 1, dan buwono adalah angka 1.

Dan dengan kaidah candra sengkala yang menggunakan pembacaan terbalik, maka kalimat itu akan terbaca angka 1198. Yang berarti bangunan ini didirikan pada tahun 1198 Hijriyah atau 1782 Masehi. Bangunan ini adalah peninggalan Paku Buwono III, yang berkuasa pada tahun 1782 Masehi atau 1708 tahun Jawa.

Pembangunan tahun 1708 itu pun juga terbaca dari candra sengkala lainnya yang berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma. Naga melambangkan angka 8, muluk melambangkan angka 0, tinitihan melambangkan angka 7, dan janmi yang melambangkan angka 1. Dengan pembacaan dari belakang, terbaca angka 1708.

Naga muluk tinitihan jami berarti ular naga terbang yang dikendarai manusia. Maka penandanya juga digambarkan dengan bentuk gambar seekor ular naga bermahkota yang sedang dinaiki oleh orang yang tengah memanah.

Ada lagi kepercayaan orang, yang mengatakan gambar orang yang menaiki ular tersebut memiliki makna jangkaning jaman, atau peringatan akan datangnya peristiwa yang akan terjadi. Yaitu cara membaca candra sengkala menjadi Keblat Rinaras Tri Buwono.

Dalam aturan candrasengkala, kata keblat adalah pengganti angka 4, rinaras angka 6, tri angka 3, dan buwono angka 1. Maka akan terbaca angka tahun 1364 Hijriyah, yang bertepatan dengan tahun 1945 M. Tahun yang menjadi kemerdekaan Indonesia.

Sedangkan makna figur orang yang mengendarai ular, menerangkan bahwa ular yang dalam bahasa Jawa adalah ula melambangkan kata kawula atau rakyat. Mahkota pada ular, bermakna raja yang mempunyai kekuasaan. Kemudian panah yang siap dilepaskan adalah lambang tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan manusia yang memegang panah perlambang dari sang pengendali kebijakan.

Jadi terbaca dari gambar tersebut, bahwa pada tahun 1945 akan terjadi peristiwa besar. Dimana rakyat yang akan memegang kekuasaan tertinggi dalam mengendalikan dan mengarahkan tujuan yang ingin dicapai. Konon itu maksudnya adalah Republik Indonesia akan merdeka dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat atau demokrasi.

Panggung Songgo Buwono yang tegak menjulang konon perlambang laki-laki. Sementara dalam filosofi lingga-yoni sebagai asal mula kehidupan, yang menjadi perlambang perempuan adalah bangunan bernama Kori Sri Manganti.

Namun ketika meminta ijin untuk melihat Kori Srimanganti, aku dilarang oleh abdi dalem penjaga keraton yang berjaga di depan. Menurut mereka Kori Srimanganti telah masuk wilayah dalam keraton, yang tak boleh dimasuki oleh sembarang orang dari luar.

Orang yang bukan kerabat keraton tak diperkenankan masuk lewat Kori Kamandungan. Namun diperbolehkan lewat pintu timur, yang masuk melewati museum. Maka aku pun melewati pintu masuk itu, sebelum terlebih dulu membeli tiket masuknya.

Aku benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang keraton, meski pun telah kubaca bermacam-macam buku tentang itu semua. Namun menurutku, pengetahuan itu belum terpuaskan, sebelum melihat secara langsung bentuk nyata bangunan dalam keraton berikut  suasananya yang konon sarat kesakralan ajaran Jawa.

Aku juga ingin melihat langsung sisa peninggalan keraton Mataram yang panjang sejarahnya. Yang sebenarnya kelanjutan dari kerajaan Demak dan Pajang. Yang kemudian dianggap menjadi pusatnya budaya Jawa yang adiluhung dan sarat nilai filosofinya.

Maka setelah membeli tiket, aku pun meminta seorang guide untuk menemaniku masuk museum dan menjelaskan.

Namun mendengar permintaanku, kelihatannya mereka saling enggan. Para pemandu yang berjajar di pintu loket itu hanya saling pandang dan saling lempar ucapan. Dan dari empat pemandu itu, tak ada satu pun yang memberikan jawaban kesanggupan.

Mungkin melihat penampilanku yang tak meyakinkan, karena hanya bercelana gunung dan kaos butut serta sandal jepit murahan. Dengan tampang kampungan, yang mungkin mereka anggap tak  punya uang untuk membayar jasa mereka.

Sebuah anggapan tepat yang tak perlu kubantah.

Alhamdulillah

oleh Nassirun Purwokartun pada 27 Februari 2011 pukul 22:28