Catatan Kaki 9: Pembicara Alumnus TK Pertiwi, Iklan Kecap Nomor Tiga!

Standar



“Lulusan TK Pertiwi. Begitu selalu ditulisnya dalam kolom pendidikan pada curriculum vitae. Saya selalu nyengir saja. Sejak itu setiap kali saya satu forum dengannya, dengan lantang saya perkenalkan bahwa sang penyair adalah lulusan TK Pertiwi. Saya menyampaikan paradoks yang semestinya menyentil jiwa malu para mahasiswa yang hanya bisa menjadi penonton. Tapi di manakah rasa malu?

Ya. Nassirun Purwokartun, penulis dan kartunis yang kawan saya itu, sudah bergelut dengan segala macam hidup. Ia menjadi tukang cuci gerbong kereta api, menjadi tukang parkir, menjadi tukang setting, bahkan menjadi tukang penunggu kotak WC terminal. Ia menjalaninya sambil mengeja kata-kata, dalam pikirannya, dalam hatinya, melalui buku-bukunya yang bertumpuk-tumpuk dan tebal seperti bantal. Ia membeli kumpulan Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad sambil terengah-engah sebab sebenarnya kantongnya tidak mengizinkan…”

Aku selalu terharu membaca tulisan itu.

Mungkin memang sifat manusia, merasa bahagia bila dipuji. Bunga-bunga mekar di dada, dan hati bernyanyi-nyanyi kala mendengar selaksa puji. Demikian juga diriku ini.

Meski dalam tulisan itu dikatakan hanyalah seorang lulusan TK Pertiwi, aku menganggap bukanlah ejekan atau pelecehan. Sama sekali bukan. Tapi sungguh, itu sebentuk sanjungan. Setulus pujian.

Bahkan sebuah motivasi agar aku lebih mengembangkan diri, meski hanya lulusan TK Pertiwi. Agar aku bisa lebih bersemangat lagi dalam menjalani hidup dengan mengeja kata-kata. Sepenuh diri, dalam pikiran dan dalam hati, serta dalam tindakan agar makin berarti.

Itulah pujian tulus Izzatul Jannah, yang dituliskan untukku dalam antologi ‘Matahari Tak Pernah Sendiri’.

Buku yang judulnya dikutip dari puisi ‘Kepada Guru’, karya Abdurahman Faiz (putra mba Helvi Tiana Rossa) itu mengisyaratkan bahwa matahari sebagai sumber cahaya, tak akan bersinar sendiri. Ia akan melahirkan matahari-matahari baru yang benderang bersamanya dan turut ambil bagian dalam proses apapun yang disebut pencerahan. Begitu yang disampaikan Helvi Tiana Rossa dalam pengantarnya, yang juga membuatku tergetar.

Setelah membaca pujian itu, dada dan kepala ini serasa membengkak.

Lulusan TK Pertiwi itu telah ‘pede’ disandingkan dengan seorang Izzatul Jannah, magister psikologi cumlaude yang sekarang menjadi GM Balai Pustaka.

Bahkan kemudian makin ‘pede’ berbicara di depan ratusan mahasiswa, padahal sesungguhnya dirinya sangat minder dan iri dengan status ‘mahasiswa’ yang tak pernah dimilikinya itu. Tapi dengan berbekal niatan bahwa semua manusia adalah matahari yang bertugas memberi pencerahan, aku jadi lupa bahwa diriku hanyalah lulusan TK Pertiwi saja.

Membaca pujian Izzatul Jannah dalam buku yang berisi kisah seru aktivis Forum Lingkar Pena itu, aku jadi teringat saat-saat aku harus berbicara di berbagai forum.

“Maaf, bisa dilengkapi biodatanya, Mas?”

“Maksudnya?”

“Untuk riwayat pendidikan belum diisi.”

Selalu begitu. Setiap selesai mengisi lembar biodata sebagai pembicara, panitia selalu mengembalikannya padaku. Untuk dilengkapi, katanya. Karena di kolom riwayat pendidikan, hanya kutulis: ‘Lulus TK Pertiwi tahun 1982.’ Sementara untuk kolom SD, SMP, SMA, dan PT, selalu kucoret tebal-tebal dan tidak kuisi.

Setiap diminta untuk dilengkapi, aku hanya membalas dengan senyuman.

“Aku memang hanya lulus TK Pertiwi. Maka kalau nanti pembicaraanku bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa, berarti TK Pertiwiku adalah sekolahan yang hebat. Tapi kalau nggak ada manfaatnya sama sekali, ya nggak papa. Lha wong hanya lulusan TK…”

Begitu kilahku dengan mempraktekkan jurus ‘Kecap Nomor Tiga’.

Biasanya iklan kecap selalu mengatakan sebagai kualitas nomor satu. Namun aku menganggap diriku sebagai kecap dengan kualitas nomor tiga. Maka kalau ternyata ‘kecap’ku enak, berarti kecapku memang hebat. Tapi pasti lebih hebat lagi kecap yang kualitas nomor satu.

Maka kalau ternyata ‘kecap’ku tidak enak, ya harap dimaklumi, wong hanya kecap nomor tiga. Bukan kecap nomor satu. Salah sendiri mau menikmati kecap nomor tiga!

Sesudah itu, biasanya panitia tidak lagi memaksa untuk melengkapi biodata. Yang penting acara yang kuisi berjalan lancar.  Tak peduli pembicaranya cuma lulus Taman Kanak-kanak saja.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 23 Desember 2010 pukul 17:41

Tinggalkan komentar