Daily Archives: 7 November 2012

KENANGAN RAMADHAN 3: BAHAGIA BERSAMA MEREKA

Standar

Kenangan tentang qur’an kado nikah dari santriku, membuatku teringat pada semua sosok mereka. Sepuluh anak yang pada belasan tahun silam begitu akrab denganku. Kehangatan yang membuatku mendadak membayangkan mereka seperti juga anak-anak Laskar Pelangi yang kompak dan bahagia.

Dulu, aku menamakan mereka adalah anak-anak “Pesan Ashkaf”, Pengajar Santri Ashhabul Kahfi. Karena disingkat “Pesan”, aku pun membuatkan ikrar pesan bagi mereka. Satu, menjaga rasa persaudaraan-persahabatan antar mereka. Dua, menjaga kemakmuran mushola dengan selalu meramaikannya.

Anak-anak itu, meski hampir 20 tahun lewat, tapi wajah-wajah mereka masih lekat di ingatanku. Dan, pagi ini akan aku ingat kembali nama-nama mereka.

Satu, Dwi. Anak kelas 4 SD. Tubuhnya tinggi, kurus, kulit kuning, rambut lurus. Anaknya rame, ramah, dan mudah menangkap pelajaran. Dengan santri yang diajar cukup hangat. Ini juga yang mungkin membuatnya tertarik menjadi guru. Hingga setelah kuliah di Unnes, kemudian mengajar di SD Al-Irsyad Purwokerto.

Dua, Sodiq. Anak kelas 5 SD. Nama aslinya Supriyadi, tapi karena sering sakit-sakitan, akhirnya ganti nama menjadi Muhammad Soqiq. Oleh teman-temannya dipanggil Qidos. Badannya tegap, wajahnya keras, murah senyum. Sabar dalam menghadapi santri, meskipun kemampuannya pas-pasan . Tapi telaten dan tak mudah menyerah. Sekarang bekerja sebagai satpam di Jakarta.

Tiga, Sugi. Anak kelas 4 SD. Sifatnya pemalu, lembut, dan sopan. Masa kecilnya terkenal sebagai anak nakal dan sulit diatur. Tapi setelah masuk TPA, berubah drastis, menjadi sangat santun. Anaknya rapi, meskipun masih menyisakan sifat sulit diatur. Suara adzannya paling merdu dibanding yang lain. Sekarang menjadi sopir di Jakarta.

Empat, Anto. Anak kelas 4 SD. Paling cerdas di antara yang lain. Daya ingatnya luar biasa, juga  kemampuan menghafalnya. Namun sering mengeluh ketika mengajar santri, karena sifatnya yang sulit bisa sabar, dan cenderung kurang hati-hati. Sekarang menjadi pegawai PJKA di Purworejo.

Lima, Seno. Anak paling kecil di antara yang lain, karena baru kelas 3 SD. Hinga sering dianggap sebagai adik terkecil mereka. Anaknya lucu, lugu, namun sering sok tahu. Suaranya paling cempreng, terutama kalau sedang tadarus. Sekarang bekerja di Jambi, konon di sebuah perusahaan operator seluler.

Enam, Atiq. Anak paling besar, sudah kelas 1 SMP. Anak bungsu dari keluarga kaya, yang sering dianggap manja oleh teman yang lain, meski paling tua secara usia. Selalu ingin diperhatikan dibanding yang lain. Anaknya suka terus terang, namun mudah diatur. Sekarang menjadi perawat di RS Margono Purwokerto.

Tujuh, Ari. Anak kelas 4 SD. Anaknya gendut, lucu, dan imut. Sejak bayi sudah pandai berenang di sungai serayu. Itu pula yang mungkin mengantarkannya menjadi guru olah raga. Paling lembut perasaannya, namun di saat yang lain cueknya minta ampun.

Delapan, Sini. Anak kelas 6 SD. Anaknya pemalu, namun di antara yang lain paling duluan nikah. Mudah diatur, dan dekat dengan santri yang diajar. Hanya sekolah sampai SMA, kemudian menikah.

Sembilan, Yanti. Anak kelas 1 SMP. Anak tunggal yang selalu ingin diperhatikan. Mudah hangat dengan santri yang diajar, dan mudah diterima ketika mengajar. Anaknya tertutup, dan sulit ditebak keinginannya. Sekarang menjadi perawat di RS Islam Purwokerto.

Sepuluh, Gotri. Anaknya keras, kasar ketika berbicara dengan teman. Selalu ingin menang dan didengar pendapatnya. Dialah yang memberiku al-qur’an saat pernikahanku.

Sepuluh anak itu, sekarang sudah menikah dan semua sudah punya anak. Bukan lagi anak-anak seperti saat masih akrab denganku. Saat masih lekat dan lengkap dengan sifat kekanakan mereka yang khas dan beda, yang justru membuatku selalu berbahagia saat bersama mereka.

oleh Nassirun Purwokartun pada 22 Juli 2012 pukul 10:51