Tag Archives: mata pelajaran

Catatan Kaki 88: Buku adalah Ibuku yang Kedua, dan Ibuku adalah Buku yang Selalu Terbuka

Standar

Hari ini, aku benar-benar menganggap buku seperti ibuku sendiri.

Ibuku, adalah perempuan yang telah melahirkanku. Yang telah mengeluarkan dari kegelapgulitaan rahim menuju keterang benderangan dunia. Yang mengajari mengenal bermacam nama benda dengan kasih sayangnya yang tulus. Yang tanpa lelah mendidik mata pelajaran kehidupan dengan telaten dan penuh kesabaran tak terukur.

Demikian pula buku bagiku.

Dari bukulah aku melihat kehidupan yang lebih cerah ceria, dibandingkan teman-teman sebayaku yang hanya asyik dalam bermacam permainan. Aku merasa lebih mengenal luasnya bentangan dunia dibanding teman-temanku yang hanya bermain gobak sodor di pelataran rumah. Aku merasa lebih melihat luasnya hamparan wawasan dibandingkan teman-temanku yang hanya suka bermain petak umpet di malam bulan purnama.

Buku adalah teman bermain. Sekaligus taman bermain yang tak ada bandingan bagiku.

Dengan buku aku menikmati kehidupan yang lebih bermakna dan sangat tidak biasa. Dengan buku aku menemukan beragam kebahagiaan di tengah himpitan keterbatasan. Kemepetan kemampuan perekonomian keluarga dan kehidupan sekelilingku yang membuat buku bacaan menjadi barang terlarang dan kemewahan.

Maka sungguh, aku berbahagia sekali karena sejak kecil telah akrab dan bersahabat dengan buku.

Aku bersyukur punya ibu, yang telah mengajariku mengenal bermacam aksara hingga mahir membaca kata-kata. Hingga sejak kecil aku merasa hidupku memang telah dibuai kata-kata dan kalimat-kalimat yang memikat

Aku bangga pada ibu, yang meskipun hanya lulusan SD, namun mampu mengajariku membaca buku-buku Modul Kejar Paket A. Dengan telaten dan sabar mengajari membaca tiap malam, di bawah lampu minyak tanah yang samar-samar cahayanya. Dengan bimbingannyalah aku bisa lancar membaca di kelas 1, melebihi kemampuan teman-teman sekelasku.

Aku takzim pada ibu, yang tak melarangku gemar membaca, meskipun dilingkupi pandangan masyarakat yang kaku. Tanpa dukungan ibu yang membiarkanku membaca di tiap kesempatan yang kusuka, mungkin aku tak mampu menjadi orang yang mengenal dunia. Mengenal wawasan dengan lebih luas daripada dunia yang dipahami ayahku.

Aku hormat pada ibu, yang kemudian mendukungku dengan memberikan bahan-bahan bacaan dari koran-koran bekas yang dibelinya di pasar. Dari koran-koran bekas yang mestinya menjadi pembungkus nasi itu, aku jadi mengetahui perkembangan dunia, yang tak bisa kudapatkan dari radio ataupun televisi yang tidak kami miliki.

Aku berterima kasih pada ibu, yang mengijinkan sampah bungkus-bungkus tempe dan sayurannya aku kumpulkan. Kucari sobekan-sobekan koran dan kubaca dengan sepenuh kenikmatan. Sobekan-sobekan bungkus tempe aku gabung-gabungkan menjadi selembar koran yang utuh kembali. Dan kudapatkan bermacam ilmu di sana.

Aku berbahagia pada ibu, yang mengijinkan aku bekerja di dunia buku, dunia yang aku sukai. Ibuku merelakan ketika ijazah STMku yang telah menghilangkan empat tempat tanah miliknya itu, tak pernah kugunakan untuk mencari kerja yang sesuai dengan pendidikanku.

Ibuku adalah buku yang selalu terbuka. Tempat aku belajar segala keikhlasan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 28 Maret 2011 pukul 21:02

Catatan Kaki 76: Setelah Tak Lagi Menikmati Perpustakaan dan Punya Uang Jajan

Standar

Waktu SMP, aku lebih sering nyepi di perpustakaan daripada nongkrong di kantin sekolahan.

Tentu karena aku memang tidak seberuntung teman-teman yang bisa berbahagia dengan punya cukup uang jajan. Hinga sebelum jam masuk sekolah berdetang, mereka sudah berebutan kursi di kantin sambil riuh dalam obrolan. Begitu pun ketika jam istirahat tiba, semua berlarian kantin depan atau belakang sekolahan, untuk mengisi perut yang sebenarnya tidak sedang kelaparan.

Sementara aku, hanya sesekali saja datang ke kantin, ketika betul-betul lapar. Misalnya ketika setelah pelajaran olahraga, yang memang banyak mengeluarkan tenaga. Hingga persediaan makanan di perut mungkin telah habis dipakai untuk ngonthel sepeda ketika berangkat sekolah. Dan habis tenaga untuk terus berkonsentrasi menyimak pelajaran. Belajar pada jam yang sebenarnya lebih asyik untuk tidur siang daripada mengunyah mata pelajaran.

Maka beruntunglah mereka yang punya uang jajan. Hingga jajan di kantin adalah salah satu cara untuk menghilangkan kantuk yang sering tak tertahan. Misalnya dengan makan soto dengan sambal yang sangat pedas. Atau makan gorengan, dengan lombok yang melebihi takaran.

Sementara aku harus berpikir dua kali kalau harus datang ke kantin. Sebab uang jajanku memang sangat sedikit, tak mungkin untuk membayar semangkok soto ayam. Dan uang  yang sedikit itu memang sedang kukumpulkan. Yang tiap Minggu pagi, kubawa ngonthel sepeda ke kota, untuk kubelikan majalah-majalah loakan.

Waktu itu, karena sekolahku kekurangan ruang kelas, maka jam masuk belajar dibagi dua. Untuk kelas dua dan tiga masuk pagi, sementara yang kelas satu masuk siang. Karena masuk siang itulah membuatku punya banyak waktu untuk berlama-lama di perpustakaan.

Sesuai peraturan, sebenarnya kelas satu masuknya jam satu siang. Tapi aku sengaja berangkat lebih awal dari rumah. Jam sebelas aku sudah mandi, makan siang, dan setengah dua belas langsung ngonthel sepeda. Sebelum sampai sekolahan, aku mampir masjid yang terlewati untuk dhuhuran.

Sesampai di sekolahan, anak kelas dua dan tiga belum keluar. Aku sudah masuk ke perpustakaan.  Sambil menunggu jam masuk, aku gunakan untuk membaca buku sebanyak-banyaknya. Karena memang peraturannya hanya boleh baca di tempat. Tak boleh dibawa pulang.

Namun dari waktu yang satu jam tiap hari itu, aku jadi banyak mengunyah buku-buku sastra dan sejarah. Bacaan yang sudah menjadi kesukaanku sejak SD, ketika setiap hari numpang membaca di ruang kepala sekolah. Hanya yang sekarang kubaca, bukan lagi buku-buku produk inpres dari pemerintah. Tapi banyak buku sastra terbitan Balai Pustaka yang berbentuk roman, yang kemudian judul-judulnya dikenalkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Karena setiap hari ada di perpustakaan, ternyata ada seorang guru kelas dua yang memperhatikanku. Beliau sebenarnya guru olahraga, tapi ternyata menyukai sastra. Setelah berkenalan, aku sering diajaknya ngobrol sebelum beliau pulang mengajar. Setelah sering bercakap-cakap di perpustakaan, kemudian pak guru tersebut menawari buku sastra untuk kubaca. Buku-buku sastra terbaru, yang bukan terbitan Balai Pustaka, yang tak ada di perpustakaan sekolahku.

Aku masih ingat, buku pertama yang dipinjamkan padaku waktu itu adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk. Novel trilogi karya Ahmad Tohari, sastrawan asal Banyumas yang ternyata guru dari guru olahraga itu. Dan itulah buku sastra pertama yang kubaca, selain yang roman Balai Pustaka yang telah kubaca di perpustakaan.

Dari guru olahraga itulah kemudian makin banyak nama sastrawan yang kukenal. Aku mulai mengenal nama Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan Emha Ainun Nadjib, dan nama sastrawan lain yang nama tak kutemukan dalam buku pelajaran.

Dari buku-buku itulah, aku jadi tertarik untuk menulis seperti tulisan mereka. Ingin menulis novel dengan latar Banyumas yang memikat seperti karya-karya Ahmad Tohari. Ingin menulis kolom yang memikat dan nikmat seringan tulisan Umar Kayam. Ingin menulis kolom yang cerdas serumit kalimat Goenawan Mohamad. Ingin menulis puisi yang menyentuh hati seperti renungan-renungan kehidupan Emha Ainun Nadjib yang menggugah.

Bahkan aku kemudian mengidolakan mereka. Seolah merekalah guru menulisku, guru imajinerku, yang mengajariku menulis dengan tulisan-tulisan mereka.

Dan aku membayangkan, mereka benar-benar ada ketika aku sedang menulis. Ketika belajar menulis cerpen yang akan kukirimkan ke majalah, seakan-akan Ahmad Tohari berada di belakangku memperhatikan dan memberikan dukungan. Begitupun yang kurasakan ketika sedang belajar menulis kolom dan  puisi untuk kupasang di mading. Seakan-akan Umar Kayam, Goenawan Mohamad dan Emha Ainun Nadjib bediri sambil menepuk-nepuk punggungku.

Sungguh waktu itu, aku seperti seorang Bambang Ekalaya yang belajar memanah hanya dengan ditemani patung Pandita Durna, guru imajinernya. Aku pun demikian. Belajar menulis dengan ditemani buku-buku karya sastrawan besar Indonesia, sebagai guru khayalanku.

Maka sekarang aku bersyukur karena tak punya uang jajan. Hingga lebih sering ke perpustakaan daripada ke kantin sekolahan. Andai aku punya banyak uang, mungkin hanya perut yang kukenyangkan dengan soto dan gorengan. Bukan otak yang kuasah dengan bermacam pemikiran dan perasan perasaan para sastrawan besar.

Dan kesenangan itu berlanjut ketika kemudian aku di STM. Di usia remaja itu, aku pun lebih sering menyendiri di pojok perpustakaan, daripada menggerombol di pinggir jalan. Berkumpul dengan teman-teman dengan saling bercanda dan belajar merokok sebelum jam masuk sekolah. Atau pun menggoda cewek-cewek SMA yang lewat sepulang sekolah.

Namun anehnya, sekarang aku justru tak lagi menikmati membaca buku di perpustakaan. Aku benar-benar tak bisa menikmati buku yang bukan milikku sendiri.  Otak seakan tumpul ketika harus membaca buku-buku hasil pinjaman..

Mungkin karena sekarang sudah bisa beli buku sendiri, hingga kebiasaan lama itu tak lagi merupakan kenikmatan pembelajaran.

Padahal sungguh, sampai sekarang aku tetap tak punya uang jajan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 18 Maret 2011 pukul 19:38

Catatan Kaki 75: Aku Mencintai Buku, Seperti Aku Menghormati Ibuku

Standar

bukuku, hartaku yang sangat berharga. yang mungkin bagi anakku kelak, tak lebih dari sampah!

Aku ingin menjadi seorang pembelajar sejati.

Manusia pembelajar, yang ingin mengamati dan meneliti dengan sepenuh hati.

Apa pun akan kuamati, kunikmati sebagai sebuah mata pelajaran kehidupan, yang bermakna untuk hidupku sendiri. Apa pun kuteliti dengan telaten dan hati-hati, sebagai sebentuk mutiara kehidupan yang sangat berharga. Tak ada yang tergelar di alam raya, yang terhampar sia-sia tanpa makna.

Aku ingin banyak belajar dari kehidupan orang-orang di sekitarku, orang-orang sebelumku, dan semua yang pernah bersinggungan denganku.

Tapi lebih dari itu, aku suka belajar pada buku. Karena aku tak punya seorang pun guru, maka buku itulah guru sejatiku. Guru yang mengajarkan banyak hal, yang petuahnya banyak mewarnai hidup dan jiwaku.

Aku mencintai buku, seperti kuhormati ibuku. Orang yang telah melahirkanku ke dunia. Maka demikian juga dengan buku. Yang telah melahirkanku kembali, setelah aku dilahirkan ibuku ke dunia. Buku yang melahirkanku, sebagai manusia baru. Yang menapaki dunia baru. Dunia kata-kata. Dunia jalinan kalimat dan rangkaian pemikiran.

Buku telah melahirkanku, menjadi orang yang melek kata. Yang tiap hari berkutat dengan kata-kata, yang penuh dengan beragam cetusan ide dan pikiran. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan, oleh teman-teman SDku, yang sampai sekarang tinggal di desa. Mengunyah kenyataan sebagai mana adanya, tanpa perlu memikirkan hal-hal yang ada di balik semua yang tak dipahaminya. Sesuatu yang tak terjangkau nalarnya.

Dengan menjadi pengunyah buku, aku merasa telah melewati semua itu.

Aku tak lagi menjadi anak desa yang lugu, yang hanya memikirkan urusan perut. Yang hanya mengisi kerja dengan kerja keras, dan bukan kerja cerdas. Yang otaknya hanya dipenuhi kebutuhan sendiri, sehari-hari, tanpa sekali pun terlintas bahwa ada masalah global yang membuatnya terpinggirkan dari putaran jaman.

Cara berpikir mereka, adalah khas orang desa, yang tak neko-neko dan aneh-aneh.

Lurus-lurus saja. Semacam hidup adalah untuk mencari kerja. Kerja sekeras-kerasnya, untuk memenuhi kebutuhan makan harian. Kerja keras hari ini, untuk memenuhi kelaparan esok hari. Begitu terus menerus, setiap hari, sepanjang tahun.

Tak pernah terpikirkan tentang dunia lain. Tentang dunia yang menawarkan beragam perang pemikiran, yang membuat otak setajam sabit dan cangkul mereka.

Tak pernah mereka mengangankan apalagi menginginkan makanan ruhani, yang bernama buku, yang mengandung beragam ilmu. Buku yang bagi mereka adalah barang asing, dan tak berguna. Karena membaca, bagi mereka, adalah pekerjaan sia-sia. Pekerjaan orang yang tak punya pekerjaan. Pekerjaan para pemalas yang tak mau bekerja keras.

Bagi mereka, membaca bukanlah pekerjaan mulia, yang mampu mengangkat harkat manusia. Melainkan bekerja sekeras-kerasnya, dan menjadi orang paling kaya, itulah yang mereka anggap menaikkan kehormatannya.

Sementara aku, sejak kecil justru telah terpikat dengan pesona buku. Dan menghabiskan sebagian besar waktu bermainku, dengan asyik masyuk bersama buku.

Dan itu berlanjut hingga remaja, buku menjadi teman berpikir dan merenung yang tak pernah menjemukan. Aku larut dalam bermacam pemikiran orang-orang besar. Mengunyah perasan perasaan dari bermacam kisah tragedi atau pun komedi kehidupan.

Kecintaanku pada buku membuatku selalu bekerja di dunia buku. Tanpa memperhitungkan apa ijazahku. Namun karena kecintaanku, dan akrabku pada buku, membuat orang yakin bahwa aku paham dunia buku.

Dan hari ini, setelah ribuan buku yang pernah kumamah dan kukunyah, sepertinya sudah saatnya untuk mulai menulis buku. Dari lima ribuan bukuku, kalau puluhan ribu lembarnya, dari jutaan pemikiran yang bersliweran, rasanya menjadi sebuah kesia-siaan kalau tak ada sedikitpun yang tertangkap maknanya. Tak ada yang diikat dalam tulisan.

Bukankah cara paling mudah sederhana untuk mengikat makna, adalah dengan menuliskannya. Bukan dengan membicarakannya dengan ucapan berbusa-busa. Verba volant, sricpta manen, begitu orang bijak bilang. Apa yang terucap akan hilang bersama angin, apa yang tertulis akan mengabadi dan tak lekang.

Maka sungguh, setelah aku mencintai buku seperti ibu yang telah melahirkanku, aku ingin menghormati buku. Menjadikan buku sebagai harta warisan untuk anak-anakku.

Akan kuwariskan buku untuk anakku. Namun bukan ribuan buku yang ada di kamarku. Bukan buku-buku yang pernah kubaca. Bukan renungan dan pemikiran yang pernah kukunyah. Karena mungkin itu semua, bagi anakku nanti, tak lebih dari sekadar sampah.

Aku ingin mewariskan buku pada anakku. Buku yang ditulis oleh tanganku. Buku yang terbit dari hati dan pikiranku. Maka tak ada yang kulakukan tiap hari, selain menulis buku!

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 18 Maret 2011 pukul 17:37