Daily Archives: 17 November 2020

BABAD BANYUMAS 33: Pemaknaan Pantangan

Standar
Apa makna yang terkandung dalam pantangan adipati Wirasaba?

“Pepali itu telah menjadi legenda di kalangan masyarakat Banyumas. Pencarian makna pepali tersebut diharapkan dapat mengubah citra pepali sebagai tugu yang mati. Tanda ada pemahaman makna pepali, maka pepali tersebut menjadi vampire yang menakutkan bagi masyarakat pewarisnya.”

Menarik pandangan yang dipaparkan Prof. Sugeng Priyadi dalam buku “Menuju Keemasan Banyumas” tersebut. Buku yang pernah terbit dengan judul “Banyumas, Antara Jawa dan Suna” pada tahun 2002. Kemudian diterbitkan lagi pada tahun 2015 sebagai penanda ulang tahunnya yang ke-50.

Beliau memaparkan pemaknaan pantangan yang disampaikan oleh Adipati Warga Utama I pada keturunannya. Menurutnya, lima pepali tersebut adalah pepali yang sakral dan bukan pelali yang profan. Kelima pepali itu merupakan satu kesatuan yang saling berinteraksi dan memunculkan makna yang utuh.

Saya kutipkan paparan dari buku itu dengan bahasa saya. Saya tidak mengutip secara utuh. Hanya rangkuman saja biar tidak sepanjang naskah aslinya. Namun, bila pembaca ingin mendapatkan penjelasan yang lengkap bisa langsung baca bukunya. Pesan langsung pada beliau.

Pantangan pertama terkait Toyareka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristriwa. Dalam bahasa Jawa, toya atau banyu, artinya air. Dalam klasifikasi mancapat, air berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula, sebagaimana matahari terbit dari timur.

Awal mula kejadin ditandai dengan huruf Jawa ha-na-ca-ra-ka, yang artinya ada utusan. Yakni utusan dari Sultan Pajang yang memerintahkan hukuman mati. Arah timur juga dilambangkan dengan burung kuntul. Orang Jawa sering memakainya dalam peribahasa kuntul diunekake dandang, dandang diunekake kuntul. Peribahasa yang artinya yang baik dikatakan buruk, yang salah dikatakan benar. Peribahasa tersebut mempunyai makna fitnah.

Jadi Toyareka adalah toya atau banyu yang sudah dikotori oleh fitnah. Hingga menjadi air yang tidak suci lagi, yang harus dihindari oleh keturunan Wirasaba.

Pantangan kedua terkait jaran dhawuk bang. Dalam ajaran Astabrata, jaran atau kuda memiliki makna untuk menjauhi nafsu-nafsu yang buruk. Warna dhawuk yang berarti abu-abu melambangkan malapetaka. Sedangkan warna bang yang berarti merah melambangkan kejahatan, nafsu, ketidakteraturan, kehancuran, dan chaos.

Perpaduan dhawuk dan bang memunculkan desa Bener sebagai tempat kejadian. Maknanya, meskipun Adipati Warga Utama I tidak salah, yaitu benar atau dalam bahasa Jawa, bener, tetapi tetap menjadi korban dari fitnah Toyareka. Namun, sang adipati telah menerima dengan ikhlash sebagai takdirnya. Karena itu, hendaknya keturunannya dapat mengendalikan nafsunya (jaran) seperti mengendalikan kuda agar tidak menjadi malapetaka (dhawuk). Mengendalikan diri dari nafsu kejahatan (bang), termasuk balas dendam terhadap Toyareka.

Pantangan ketiga terkait bale malang. Bale malang dibangun untuk menghubungkan dalem sebagai rumah induk dengan pendapa sebagai ruang publik. Jadi fungsi bale malang adalah sebagai jalan dari rumah menuju pendapa. Bale malang adalah bangunan antara. Melambangkan alam antara hidup dan mati, antara dunia nyata dan maya, antara awal dan akhir, dan lain sebagainya. Masa peralihan adalah masa yang penuh krisis dan konflik.

Pantangan keempat terkait Sabtu Pahing. Hari Sabtu pada Saptawarna adalah hari ketujuh. Hari Sabtu disebtuk Sanaiscara dalam kalender Jawa kuno sebagai hari istirahat. Pepali hari Sabtu muncul karena ada perubahan dari Hindu ke Islam. Hari Jumat menggantikan hari Sabtu sebagai hari suci.

Hari Sabtu menempati arah selatan, pasaran Pahing juga menempati arah selatan. Arah selatan melambangkan darah, keturunan ibu, warna merah, dan huruf Jawa da-ta-sa-wa-la karena saling bertikai. Dari garis Ibu, Adipati Warga Utama I adalah turunan ketujuh dari adipati Pasirluhur.

Huruf Jawa da-ta-sa-wa-la menujuk pada perselisihan antara Warga Utama I dengan Demang Toyareka. Perselisihan itu dilanjutkan oleh kesalahpahaman utusan Pajang yang menyebabkan kematian sang adipati. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Yama sebagai dewa kematian menempati arah selatan. Seperti juga hitungan hari Sabtu dan pasaran Pahing.

Pantangan kelima terkait pindang banyak. Banyak atau angsa, dalam ajaran Hindu adalah lambang Dewa Brahma sebagai dewa pencipta. Banyak juga menjadi totem keluarga Warga Utama I. Angsa telah menjadi simbol bersama masyarakat Banyumas terhadap leluhurnya yang berasal dari Pajajaran, yakni Banyak Catra.

Karena itu, makan angsa, selain tidak menghormati binatang totem, juga mematikan atau melupakan Sang Maha Pencipta. Dengan memberikan pepali itu, Warga Utama I sebagai pengejawantahan kesadaran sejarah leluhurnya. Kesadaran itu merupakan peringatan agar tidak mengalami peristiwa naas yang sama.

Sungguh menarik pemaknaan tersebut. Semoga membuka wawasan masyarakat Banyumas untuk tidak sekadar menelan begitu saja larangan tersebut. Namun memahami makna dan kandungan dari lima pepali yang sebetulnya sarat makna.