Category Archives: Catatan Kaki 1 – 10

Catatan Kaki 10: Sungguh Aku Bangga, Meski Hanya ‘Alumnus TK Pertiwi’ Saja!

Standar


Entah kenapa, aku begitu bangga dengan status alumnus TK Pertiwi.

Mungkin awalnya adalah karena keminderanku sendiri.

Aku sangat minder ketika harus berbicara di depan banyak orang, apalagi di depan mahasiswa. Karena kemiskinanku, menyebabkan tak pernah bisa kuliah. Dan karena itu tak pernah mendapat gelar ‘mahasiswa’, apalagi sarjana.

Hingga setiap duduk dan berbincang-bincang dengan teman-teman aktivis yang mahasiswa, aku selalu menganggap diriku bukan level mereka. Aku selalu takut ditanya: ‘Kang Nass alumnus mana?”

Pendidikan terakhirku, ‘hanya’ sampai STM (Sekolah Teknologi Menengah). Itupun Jurusan Bangunan Gedung. Anggapan orang, Sekolah Kejuruan macam STM adalah sekolah kelas dua. Dan di STM sendiri, Bangunan Gedung dianggap jurusan kelas bawah. Di bawah jurusan Elektronika, Listrik, dan Mesin Industri. Maka apa yang layak kubanggakan dari seorang lulusan STM yang tidak bisa bikin Rancang Bangun?

Sejak lulus, aku tidak pernah bisa PD sebagai lulusan STM Bangunan Gedung. Sebab selama di sekolah, mata pelajaran yang kutekuni malah ‘gambar kartun’ dan ‘menulis puisi’. Bukannya pelajaran sekolah, macam Gambar Bangun dan bermacam konstruksi. Aku lulus tanpa ‘bekas’ ketrampilan seperti yang diajarkan di sekolah.

Hingga ketika ada permintaan dari sekolah untuk kerja pada proyek pembangunan di Kalimantan, dengan senang hati kutolak. Pada waktu itu, sekolahku sudah bekerja sama dengan PT Hutama Karya. Yang setiap siswa 10 besar, begitu lulus langsung bekerja di perusahaan besar itu. Kebetulan (atau kebenaran?) aku masuk 10 besar, ranking 3 di kelas. Namun peluang emas itu kutolak, karena aku merasa, secara pikiran aku mampu memahami pelajaran, tapi tidak secara praktek pekerjaan.

Padahal waktu itu profesi harianku adalah tukang parkir pasar dan penjaga kotak WC terminal. Namun aku merasa tidak yakin bisa kerja di bidang Bangunan Gedung, seperti yang diharapkan perusahaan. Maka kupilih hidup di duniaku saja, menekuni dunia menggambar kartun dan tulis menulis.

Karena tidak PD dengan ke’STM’anku itulah, maka tak pernah kutuliskan dalam daftar pendidikan.

SD dan SMPku juga tak pernah kutulis, karena tidak pernah ‘menyenangkan.’ Kelas 1 SD aku pernah disetrap Kepala Sekolah karena kedapatan menggambar gajah di tembok kantor kepala sekolah. Aku dihukum berdiri di depan pintu ruang guru. Padahal yang menyuruhku menggambar adalah kakakku kelas 6. Aku merasa tidak bersalah karena aku hanya disuruh. Namun si penyuruh, ketika dimintai tanggung jawab menjawab tak pernah menyuruh. Sebagai anak kecil, aku pun mengalah untuk disalahkan.

Begitu pun waktu SMP. Kelas 1 SMP aku pernah ditampar dengan buku paket di depan kelas, karena ketahuan menulis puisi ketika sedang diterangkan. Kelas 2 pernah dikeluarkan dari kelas karena aku asyik menggambar wajah guru matematikaku yang cara menjelaskannya tak pernah masuk ke otakku.

Entah mengapa, sejak itu aku jadi tidak menikmati ‘dunia sekolah’.

Dunia sekolah seakan menjadi dunia yang paling menjemukan. Mendengar orang bicara semaunya, tanpa ada proses memberi dan menerima. Aku lebih menikmati dunia belajar sendiri, tanpa harus bersama-sama dan berkelompok berkelas-kelas.

Aku pun masih mengidakt minder dengan kondisi kemiskinanku, di antara teman-teman yang rata-rata ekonominya lebih lumayan. Ketika SMP, teman yang lain berangkat sekolah dengan sepeda baru mereka, aku cukup dengan jalan kaki saja. Dan ketika bisa membeli sepeda, itu pun sepeda bekas yang telah diganti catnya.

Maka puncaknya, ketika sekolah di STM, sungguh tak kunikmati kebahagiaan bersekolah sedikitpun. Dan ketika lulus, aku pun tak merasa sebagai lulusan yang siap kerja dari STM.

Aku minder sebagai lulusan STM yang tak bisa apa-apa. Lebih minder lagi, ketika banyak temanku yang bisa melanjutkan kuliah. Betapa bahagianya menjadi seorang mahasiswa, yang pasti daya pikirnya akan terus berkembang dan berbuah. Begitu pikirku selalu waktu itu.

Kemudian karena seringnya diundang dalam forum-forum yang diadakan mahasiswa, makin sering pula minderku menghantu. Hingga aku pernah mengambil kuliah di Universitas Terbuka, untuk mengobati minder. Tapi ternyata tak bisa kulanjutkan, karena setelah tak betah jadi tukang parkir dan WC, aku menganggur dan tak punya uang. Sementara honor kartun dan puisiku selalu habis kubelikan buku-buku sastra dan budaya.

Karena ‘dendam’ tak bisa kuliah, maka bermacam buku semakin rakus kulahap. Segala buku dengan bermacam ilmu kubaca tandas. Aku sungguh iri pada mereka yang bisa kuliah. Keirianku itu, kulampiaskan dengan membaca sebanyak mungkin buku.

Semakin banyak buku, semakin banyak ilmu, begitu pikirku. Aku bertekad, meski bukan mahasiswa, aku harus bisa pintar. Mungkin benar kata Eko Prasetyo, orang miskin dilarang kuliah. Tapi bagiku, orang miskin tetap punya hak untuk pintar. Maka aku ingin pintar, meski tak pernah mengenyam bangku kuliah.

Hingga yakinku, buku-buku itulah yang sebetulnya mengobati minderku sebagai remaja yang bukan mahasiswa. Buku-buku yang menggunung di kamarkulah yang kemudian menjadikan aku bangga sebagai Lulusan TK.

Hingga sekarang aku benar-benar bangga dengan status Lulusan TK Pertiwi saja.

Karena di TK Pertiwilah, aku pertama kali mengenal puisi. Bahkan dengan gembira aku berani maju ke depan kelas untuk berdeklamasi. Apalagi ketika Bu Guru bertepuk tangan yang kemudian diikuti oleh teman-teman sekelas. Aku bangga sekali. Aku merasa potensiku sangat diakui dan dihargai. Kebahagiaan yang tak pernah kutemukan lagi, setelah lulus TK Pertiwi.

Aku sungguh terharu bahwa keberadaanku yang hanya ‘lulusan TK Pertiwi’ ternyata diakui oleh seorang Izzatul Jannah.

Bahkan di setiap kesempatan di mana aku satu forum dengan Izzatul Jannah, beliau dengan bangga selalu mengenalkanku sebagai ‘Pembicara Lulusan TK Pertiwi’.

Ini bukan untuk meledekku. Namun katanya, untuk menyindir para mahasiswa yang masih saja kurang suka membaca, hingga tak tahu arah hidup mereka sendiri akan ke mana.

Jujur aku malu.

Bukan malu karena aku hanya lulus TK. Tapi karena itu diucapkan dengan lantang di depan makhluk yang bernama ‘mahasiswa’, yang telah membuatku minder sekian lama. Apa pantas kalau sekarang mereka justru ramai-ramai diajak untuk punya rasa minder, hanya karena ke’TK’anku itu?

Akupun sebenarnya sering berpikir, apa aku juga pantas bangga karena ke’TK’anku?

Tapi setelah direnungkan, bukankah ketika aku diundang mahasiswapun, hanya untuk bicara tentang puisi, sesuatu yang kudapatkan di bangku TK Pertiwi?

oleh Nassirun Purwokartun pada 24 Desember 2010 pukul 11:46

Catatan Kaki 9: Pembicara Alumnus TK Pertiwi, Iklan Kecap Nomor Tiga!

Standar



“Lulusan TK Pertiwi. Begitu selalu ditulisnya dalam kolom pendidikan pada curriculum vitae. Saya selalu nyengir saja. Sejak itu setiap kali saya satu forum dengannya, dengan lantang saya perkenalkan bahwa sang penyair adalah lulusan TK Pertiwi. Saya menyampaikan paradoks yang semestinya menyentil jiwa malu para mahasiswa yang hanya bisa menjadi penonton. Tapi di manakah rasa malu?

Ya. Nassirun Purwokartun, penulis dan kartunis yang kawan saya itu, sudah bergelut dengan segala macam hidup. Ia menjadi tukang cuci gerbong kereta api, menjadi tukang parkir, menjadi tukang setting, bahkan menjadi tukang penunggu kotak WC terminal. Ia menjalaninya sambil mengeja kata-kata, dalam pikirannya, dalam hatinya, melalui buku-bukunya yang bertumpuk-tumpuk dan tebal seperti bantal. Ia membeli kumpulan Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad sambil terengah-engah sebab sebenarnya kantongnya tidak mengizinkan…”

Aku selalu terharu membaca tulisan itu.

Mungkin memang sifat manusia, merasa bahagia bila dipuji. Bunga-bunga mekar di dada, dan hati bernyanyi-nyanyi kala mendengar selaksa puji. Demikian juga diriku ini.

Meski dalam tulisan itu dikatakan hanyalah seorang lulusan TK Pertiwi, aku menganggap bukanlah ejekan atau pelecehan. Sama sekali bukan. Tapi sungguh, itu sebentuk sanjungan. Setulus pujian.

Bahkan sebuah motivasi agar aku lebih mengembangkan diri, meski hanya lulusan TK Pertiwi. Agar aku bisa lebih bersemangat lagi dalam menjalani hidup dengan mengeja kata-kata. Sepenuh diri, dalam pikiran dan dalam hati, serta dalam tindakan agar makin berarti.

Itulah pujian tulus Izzatul Jannah, yang dituliskan untukku dalam antologi ‘Matahari Tak Pernah Sendiri’.

Buku yang judulnya dikutip dari puisi ‘Kepada Guru’, karya Abdurahman Faiz (putra mba Helvi Tiana Rossa) itu mengisyaratkan bahwa matahari sebagai sumber cahaya, tak akan bersinar sendiri. Ia akan melahirkan matahari-matahari baru yang benderang bersamanya dan turut ambil bagian dalam proses apapun yang disebut pencerahan. Begitu yang disampaikan Helvi Tiana Rossa dalam pengantarnya, yang juga membuatku tergetar.

Setelah membaca pujian itu, dada dan kepala ini serasa membengkak.

Lulusan TK Pertiwi itu telah ‘pede’ disandingkan dengan seorang Izzatul Jannah, magister psikologi cumlaude yang sekarang menjadi GM Balai Pustaka.

Bahkan kemudian makin ‘pede’ berbicara di depan ratusan mahasiswa, padahal sesungguhnya dirinya sangat minder dan iri dengan status ‘mahasiswa’ yang tak pernah dimilikinya itu. Tapi dengan berbekal niatan bahwa semua manusia adalah matahari yang bertugas memberi pencerahan, aku jadi lupa bahwa diriku hanyalah lulusan TK Pertiwi saja.

Membaca pujian Izzatul Jannah dalam buku yang berisi kisah seru aktivis Forum Lingkar Pena itu, aku jadi teringat saat-saat aku harus berbicara di berbagai forum.

“Maaf, bisa dilengkapi biodatanya, Mas?”

“Maksudnya?”

“Untuk riwayat pendidikan belum diisi.”

Selalu begitu. Setiap selesai mengisi lembar biodata sebagai pembicara, panitia selalu mengembalikannya padaku. Untuk dilengkapi, katanya. Karena di kolom riwayat pendidikan, hanya kutulis: ‘Lulus TK Pertiwi tahun 1982.’ Sementara untuk kolom SD, SMP, SMA, dan PT, selalu kucoret tebal-tebal dan tidak kuisi.

Setiap diminta untuk dilengkapi, aku hanya membalas dengan senyuman.

“Aku memang hanya lulus TK Pertiwi. Maka kalau nanti pembicaraanku bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa, berarti TK Pertiwiku adalah sekolahan yang hebat. Tapi kalau nggak ada manfaatnya sama sekali, ya nggak papa. Lha wong hanya lulusan TK…”

Begitu kilahku dengan mempraktekkan jurus ‘Kecap Nomor Tiga’.

Biasanya iklan kecap selalu mengatakan sebagai kualitas nomor satu. Namun aku menganggap diriku sebagai kecap dengan kualitas nomor tiga. Maka kalau ternyata ‘kecap’ku enak, berarti kecapku memang hebat. Tapi pasti lebih hebat lagi kecap yang kualitas nomor satu.

Maka kalau ternyata ‘kecap’ku tidak enak, ya harap dimaklumi, wong hanya kecap nomor tiga. Bukan kecap nomor satu. Salah sendiri mau menikmati kecap nomor tiga!

Sesudah itu, biasanya panitia tidak lagi memaksa untuk melengkapi biodata. Yang penting acara yang kuisi berjalan lancar.  Tak peduli pembicaranya cuma lulus Taman Kanak-kanak saja.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 23 Desember 2010 pukul 17:41

Catatan Kaki 8: Aku Pernah Mengobati Hati, Dengan Cara Mencaci Maki

Standar


 

 SAKIT HATI KARENA LIDAH, SEMBUHKANLAH JUGA DENGAN LIDAH!

Pengalaman ini kutuliskan, tanpa dimaksudkan untuk ditirukan. Tapi sekadar ingin jujur mengakui, bahwa aku bukanlah orang baik yang selalu bisa bersabar.

Seorang ahli  berkata, kita menambah dan mengurangi begitu banyak kata-kata yang perlu kita katakan, karena ingin berperilaku baik. Atau paling tidak, ingin dianggap baik oleh orang lain. Tapi mencoba untuk baik setiap saat justru bisa menyakiti diri.

Begitu yang pernah kubaca. Dan mendadak menjadi sebuah kebenaran yang menggoda. Karena tiba-tiba aku merasakan hal yang sama. Yakni, ketika mencoba baik setiap saat, aku justru merasa sakit luar biasa. Sakit hati, tentunya. Yakni ketika mencoba mengalah. Hingga terus kalah. Bahkan terus menerus dikalahkan. Kemudian disalahkan!

Mungkin karena aku yang belum khatam mengeja ilmu ‘ikhlash’. Hingga sakitlah yang lebih kurasakan. Tak ada lain, selain luka dan juga kecewa. Maka hati pun seperti selalu dipanggang bara api amarah yang berasal dari arang berang dan taburan sekam geram.

Aku marah. Tapi kemarahan itu hanya bisa kutahan. Disimpan dalam hati, hingga menumpuk dan terus menimbun batin. Terus menerus ditahan, agar tidak meledak. Namun lama kelamaan, tak tahan juga. Akhirnya memuncak. Bukan kemarahannya yang meledak dan terlampiaskan. Tapi hatiku yang kemudian hangus hancur berantakan.

Aku pun berang. Meradang. Mencoba senantiasa berlagak jawara, menerima ketidakadilan dengan dada terbuka. Mencoba semua bentuk penghinaan dengan keluasan dada. Namun lama-lama tak tahan juga. Aku berontak. Berteriak.. Tapi hanya umpatan yang keluar dalam hati, dan tak berani terlontar ucapan. Mengendap dan menggumpal di jiwa. Mencipta karang yang runcing tajam menoreh luka. Bukan luka pada hati orang lain. Tapi pada hatiku sendiri. Membuatnya berdarah-darah, luka parah.

Aku juga geram. Kegeraman yang mengendap berbulan-bulan. Setelah api kemarahan menggosongkan jiwa, dan karang meradang yang terus melukai perasaan. Aku tak sanggup memeram geram yang tertahan. Menahan berang yang meradang. Menahan amarah yang terus membara. Hatiku pun hangus menghitam. Gosong dan menggerosong.

Hatiku sakit. Harus kuobati. Dan yang mampu mengobati, sepertinya hanya diriku sendiri. Tak ada orang lain, yang bisa menyembuhkan. Karena akulah yang merasakan.

Aku mulai mengobatinya, dengan bertanya, “Apa yang merangsang kemarahan?”

Hatiku menjawab sedih, “Cacian! Makian! Dicampakkan! Dibohongi! Dicurangi!”

Aku mengendapkan pertanyaan. Lalu pernyataanlah yang kemudian muncul perlahan, “Semua rasa itu, harus bisa kulepaskan dari dalam hati. Dari dasar luka batin. Dari sudut jiwa yang terdalam.”

Tiba-tiba keinginan pelampiasan pun masuk ke pusaran pertimbangan, “Harus ku ucapkan semua kata yang ingin kukatakan pada mereka yang telah membuatku kalah. Harus mengeluarkannya. Meneriakkannya dengan keras. Dengan kasar!”

Hatiku menyepakati. Harus kulakukan apa yang kuingini. Berteriak. Dan memaki!

Tapi aku bingung. Harus kulakukan di mana? Dan kapan waktunya?

Tak mungkin kulakukan di rumah. Apa jadinya, kalau aku berteriak mencaci lalu didengar tetangga? Mungkin mereka akan berbondong, menganggapku telah mendadak gila. Karena telah hampir 2 bulan, aku malas keluar rumah bertemu mereka. Atau bahkan belum sempat mengumpat, baru pertama teriak, Ummi akan langsung datang menyetrap.

Maka caranya mungkin ketika Ummi sedang tak ada di rumah. Tapi itu juga sama sekali tak mungkin. Karena Ummi selalu berada di rumah. Bukan orang kantoran.

Maka kupilih jalan teraman,  yakni pulang kampung. Ummi pulang ke rumah mertua, aku pulang ke orang tua. Dan sepertinya, beginilah keuntungan punya istri satu kampung.

Alasannya tentu bukan untuk ‘berteriak’, tapi karena ingin menengok orang tua masing-masing. Sekaligus mencoba berkaca pada keiklhasan dan kesahajaan mereka.

Pagi harinya aku berjalan sendiri. Berangkat ke ladangku, yang nun jauh di tengah hutan. Tempat yang aman untuk mengumpat dan memaki tanpa takut diteriaki. Atau sekadar diketahui tetangga dan anak istri. Maka pada lereng bukit itulah kukeluarkan semua yang telah lama terpendam. Geram yang menggeram. Marah yang membuat batinku kalah.

Dan ketika pagi dingin masih penuh embun, aku mulai membakarnya dengan panas amarah sendirian.  Memaki dengan umpatan paling kasar yang pernah kupunya. Umpatan yang sudah sangat lama tertahan, karena tak mungkin dikeluarkan di depan siapa saja.

Namun mendadak di tengah teriakan, hatiku berbisik mengingatkan. Ada ketakutan dalam hati, bahwa apa yang kurasakan selama ini hanyalah subyektivitasku saja.

Namun pertimbangan itu kuabaikan. Hari itu, aku makin mencaci sepuas hati. Dengan makian yang telah tersimpan dan tak pernah bisa disalurkan. Bahkan dengan kata-kata yang seumur hidupku belum pernah kuucapkan. Entah dapat kosa kata dari mana, tiba-tiba kata-kata kasar menghambur dari mulut dan lidahku yang terus bergetar.

Dan sungguh, setelah itu, batinku lega. Aku pun pulang ke rumah. Dan langsung kuambil wudhu untuk shalat dhuha. Saat itu juga kumaafkan mereka, yang telah membuatku luka.

Kemudian baru kusadari, ungkapan kata lama tentang lidah tak bertulang. Karena kemarahanku bermula dari kata-kata yang terlontar dari lidah seseorang. Lidah yang ketika menusuk hati, ternyata bisa lebih tajam dari pedang. Dan itulah yang terjadi pada diriku. Hingga aku tak bisa menahan kesabaran untuk selalu kalah dan disalahkan.

Dan sesungguhnya sakit yang bermula dari lidah, bisa disembuhkan dengan lidah. Karena dengan menggunakan otot lidah secara merata, bisa mengobati kesedihan dan kemarahan.

Kita tahu, lidah adalah otot yang paling kuat dalam tubuh manusia. Tapi tidak seperti 700 otot yang lain, lidah tidak memproduksi asam laktat ketika bekerja terlalu keras. Itu artinya, lidah tidak akan kejang atau luka, ketika digunakan berlebihan. Bahkan ketika aku harus berteriak hampir satu jam lamanya. Sampai suara serak. Hingga badan lemas.

Namun sekarang, aku tak perlu lagi berteriak-teriak di tengah hutan. Tak perlu lagi mengobati hati yang mengeruhkan hati, dengan cara memaki dan mencaci. Tak perlu mengumpat dengan kata-kata kasar, yang hanya akan menambah timbunan dosa ku saja.

Sekarang cukup dengan mengandalkan lidah, tapi caranya berbeda. Menggerakkan lidah dengan banyak-banyak tilawah, atau bahkan dengan menyanyi gembira.

Tinggal pilih mana, yang ingin kunikmati sebagai penyembuh lara.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 22 Desember 2010 pukul 22:29

Catatan Kaki 7: Anakku, Kau Boleh Bangga, Atau Bahkan Kecewa Padaku!

Standar


 

KUKATAKAN YANG SEBENARNYA

Sejak kecil, kita dilatih untuk berbohong. Tidak secara langsung, tentunya.

Akhirnya kita belajar untuk mengatakan apa yang orang lain ingin dengar, dan kita bersikap sesuai dengan hal itu. Padahal konon, justru dengan mengatakan yang sebenarnya, akan menciptakan sebuah perubahan kimiawi positip dalam tubuh.

Maka ketika aku menulis catatan ini, aku ingin menceritakan yang sebenarnya. Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk diriku sendiri, yang ingin mencoba belajar berkata yang benar. Sepahit apa pun itu, baik ketika dituliskan, juga setelah dibacakan.

Dan aku pun sedang ingin belajar berkata jujur, terutama pada anak-anakku. Agar kelak, mereka pun berani berkata jujur. Paling tidak ketika berkata padaku.

Maka aku menuliskan ini, agar bisa dibaca anak-anakku kelak. Rencananya akan kuwariskan, untuk dibaca oleh mereka, setelah dewasa. Tentu karena aku sadar, aku tak mampu mewariskan kekayaan. Maka yang bisa kusiapkan, hanyalah sekadar pandangan, pemikiran, dan sedikit kebijakan dari pengalaman. Tentu bukan untuk langsung ditelan.

Aku menginginkan semua yang kurasakan, bisa terbaca oleh mereka. Bagaimana perjalanan hidupku, dari kecil hingga setua ini. Dari masa kanak-kanakku yang manis, masa anak-anak yang asam, masa remaja yang kecut, masa dewasa yang asin, hingga masa tua yang pahit. Aku menginginkan mereka semua sedikit mengerti dan memahami, gejolak pergolakan batinku. Tentu bukan untuk menggurui. Hanya sekadar berbagi.

Bagaimana dulu aku mencoba menyusun batu-bata kepercayaan diri, dari keterpurukan panjang yang membuatku tak yakin bahwa aku masih ada. Bagaimana aku mencoba merangkak kembali dari pingsan setelah dihajar penghinaan yang menurutku sangat kelewatan. Bagaimana aku bangkit kembali. Mencoba belajar berdiri kembali di atas dua kaki, untuk menopang kegalauan hati. Bagaimana aku pernah tidak percaya bahwa aku masih mampu berdiri, bahkan bahwa aku masih punya sepasang kaki.

Aku ingin rasa kalahku dibaca oleh anakku. Rasa kalah ketika dikalahkan dan disalahkan. Bukan untuk belajar dendam. Sekadar agar mereka tahu, aku pernah jatuh. Aku juga pernah salah. Pernah terjungkal, terjungkir, bahkan terpelanting, oleh langkahku sendiri.

Namun mereka juga harus membaca, bahwa aku bisa bangkit dari keterpurukan yang panjang. Bisa naik dari lumpur keminderan yang sangat, keterpojokan jiwa yang berat. Aku pernah beranjak dari dasar jurang ketakutan yang membuatku hampir putus asa.

Aku ingin semua yang kualami sejak merasa kehilangan diri, hingga proses mencari kembali, dan berusaha menemukannya lagi bisa dimengerti. Aku ingin anakku memahami jalan berliku yang kupilih. Juga liku-liku hidupku yang mungkin aneh di mata orang tua dan saudara, sementara aku pun tak bisa menjelaskan itu semua pada mereka. Aku hanya bisa menceritakan segalanya pada istri. Belahan jiwa yang tak mungkin terganti.

Aku juga ingin anakku tahu, bahwa aku pernah dirundung kepiluan yang sangat. Juga ketakutan yang mencekam, tentang masa depan mereka. Ketika pada suatu waktu, aku yang tanpa pekerjaan sama sekali tak menghasilkan pendapatan. Yang membuat biaya hidup tiap bulan menjadi momok yang menakutkan. Hari-hari yang menyedihkan.

Aku pernah merasa sangat bersedih, ketika tak bisa membelikan celana untuk Iqo. Merasa amat bersalah, ketika selama ini ia hanya memakai celana bekas Ahya dulu. Merasa berdosa ketika tak bisa memberikan jaminan kesehatan padanya yang mengidap mikrosefalus. Ketika sampai umurnya yang lebih 2 tahun belum juga bisa jalan.

Sama ketika Ahya sakit, atau pun Umminya sakit. Tak ada biaya ke dokter, apalagi spesialis. Hingga harus rela antri di puskesmas, karena bisa berobat tanpa biaya.

Sedih sekali ketika aku seolah tak bisa membahagiakan mereka. Sekadar membelikan mainan pada Iqo dan Ahya. Memberikan baju, celana, sepatu, sandal, tas, atau topi baru. Atau mengajaknya sekadar jalan-jalan di Minggu pagi di Balaikambang atau Manahan.

Aku ingin menuliskan semua yang kurasakan. Tak akan aku tutupi dengan cerita-cerita heroik yang membuat mereka bangga dengan seluruh yang pernah kupunya. Segala cerita orang yang pernah mereka dengar tentangku. Bahwa aku bisa ini itu. Bisa menulis, bisa menggambar, bisa mendesain, atau bisa berpuisi.

Aku lebih ingin mereka tahu, tentang ‘apa-apa’ yang ada pada diriku. Bukan siapa diriku. Mungkin mereka akan kecewa. Tak lagi berbangga. Tapi kejujuran ini, justru membuatku bahagia. Aku telah menceritakan bagaimana diriku sebenarnya.

Dan pada ujung tulisanku nanti, aku pun ingin menceritakan semua pada mereka. Suatu mimpi yang sampai saat ini belum kuraih. Tentang keinginanku membahagiakan mereka, orang-orang terdekatku. Orang-orang yang sangat aku perlukan, karena mereka pun membutuhkan aku. Mereka adalah orang tuaku, lalu istriku, kemudian anak-anakku.

Aku (mungkin!) sangat dibutuhkan oleh kedua orang tuaku, karena aku adalah anak tunggal, tempat pangkal segala harapan dan keinginan. Aku (pasti!) sangat dibutuhkan oleh istriku, karena aku adalah seorang suami dan ayah dari anak-anakku. Aku (yakin!) sangat diperlukan oleh anak-anakku, karena merekalah kebahagiaan terbesarku.

Dan aku pun membutuhkan mereka.Aku (haqul yakin!) sangat memerlukan kedua orang tuaku, karena doanya lah aku bisa menjadi apa saja. Aku sangat-sangat memerlukan istriku, karena dialah yang mendukung segala rencanaku, termasuk yang gila dan di luar logika. Aku juga amat memerlukan anak-anakku, karena merekalah cahaya hidupku.

Aku ingin membahagiakan mereka, sebagai ujung bahagiaku. Puncak terindah usahaku.

Setelah itu, barulah membahagiakan orang lain, tentu.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 21 Desember 2010 pukul 22:56

Catatan Kaki 6: Kalau Aku Mati, Apa Yang Akan Ditulis Anakku Di Nisanku Nanti

Standar

 

Lima belas tahun yang lalu, aku pernah menulis puisi dengan judul yang sangat panjang. “Pernahkah Kau Berpikir Bahwa Hidupmu Tinggal Semenit Lagi?”

Puisi itu hanya berisi satu bait, satu larik, satu kata: “Belum!”

Entah kenapa, bangun pagi ini aku langsung teringat puisi itu. Puisi yang bagi orang lain mungkin tidak bermutu dan seolah sekedar main-main saja. Tapi bagiku, itu adalah puisi ‘pengingat jiwa’. Puisi yang kutulis tepat di malam pergantian tahun baru Hijriyah. Dengan menangis sepenuh pasrah. Puisi yang (bagiku) sangat bersejarah!

Pagi ini, aku bangun sangat pagi. Membuka jendela. Membuka nako. Membuka pintu lebar-lebar, biar udara pagi masuk membawa hawa segar. Rumahku kurang udara. Agak gelap, pengap, jadi aku tak bisa tidur di dalam. Aku tidur di depan yang dekat jendela.

Selepas shubuh, kubuka pintu, melangkah ke luar. Belok kanan ke beranda depan. Dua sriban aku dekatkan, berhadapan. Aku bentuk menjadi ranjang, dan kutidur di atasnya. Kutidur miring, kaki saling menyentuh. Tidak bisa lurus penuh. Aku jadi berpikir, andaikan ranjang yang di gundang dipasang di depan, aku bisa tidur telentang.

Kemudian kupejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak. Menghirup dalam-dalam. Dan pagi ini, akan kupuaskan paru-paruku dengan udara pagi yang lembut menyegarkan.

Aku tidur di sriban sebelah selatan. Menghadap  utara. Mata semakin rapat dipejamkan. Kaki ditekuk, tangan kanan menjadi bantal, tangan kiri memegang pinggiran sriban. Kutenangkan, kunyamankan. Namun ternyata tidak pula tenang, tidak juga nyaman.

Perasaan tak tenang yang sejak semalam kupikirkan. Aku masih cemas, masih resah, masih gelisah. Entah kenapa, aku sulit membuang ketakuan masa depan. Dan semalaman membuatku makin susah tidur. Dan sampai pagi, aku masih juga sulit mengendapkan.

Bahkan ketika aku melakukan meditasi seperti yang selama ini kujalani. Menggunakan jari telunjuk untuk mengapungkan mata. Menatap titik di antara dua alis. Telah kulakukan berulang kali, tapi tetap saja sulit tenang. Karena hati tidak tenang, tidur pun tak nyaman.

Apalagi tidur di sriban ini, yang hanya ¾ panjang tubuhku. Aku tidak bisa meluruskan seluruh tubuh. Hanya sebatas lutut. Terpaksa aku tekuk biar semua badan masuk. Jadi hati yang tak tenang, ditambah sriban yang tak panjang, sempurna membuat tidur pagiku tidak nyaman. Memang niatnya tidak tidur. Sekadar tidur-tiduran menghirup udara segar.

Karena tidur pun tak nyaman, aku bangkit. Lalu jalan-jalan di seputar halaman.

Kemudian aku mengetik catatan ini. Sambil kaki naik di sriban depan. Punggung aku sandarkan. Lutut kutekuk agar menjadi tinggi. Laptop kutaruh di atas paha. Mulailah mengetik. Dan kutulis semua yang membuatku tidak nyaman. Membuatku gelisah, resah, dan seluruh perasaan ketakuan yang membuat malam dan pagiku tak tenang.

Semua kutumpahkan agar menjadi nyaman, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir hidupku. Hari terakhir aku bisa berdoa dan berharap.

Maka jika hari ini adalah hari penutup hidupku di dunia, apa yang akan kulakukan?

Andai aku mati hari ini, yang kulakukan adalah menyesali diri.

Ya, menyesal. Sangat menyesal, bahkan. Aku telah membuang waktuku dengan percuma. Tiga puluh tahun lebih telah berlalu tanpa sisa. Tanpa jejak. Tanpa kerja yang menghasilkan karya. Tidak ada apa-apa yang bisa dan layak kutinggalkan. Baik warisan untuk keluargaku di dunia, berupa harta atau segala macamnya. Atau pun bekal untukku sendiri di akhirat, berupa amal baik atau segala kerja yang berpahala.

Aku belum mengumpulkan apa-apa untuk bisa kutinggalkan.

Inginku dulu. Kalau mati nanti, ada yang membuat anakku bangga padaku. Bukan kebanggaan pada segudang buku yang kuwariskan padanya. Bukan pada ribuan buku yang telah kubaca. Tapi aku ingin mewariskan seratusan buku yang telah kutuliskan.

Ini masalahnya. Sudah ratusan ,bahkan mungkin ribuan buku kubaca. Namun belum ada satu pun buku yang kutulis. Padahal dari dulu, sejak masih anak kecil hingga sekarang sudah punya dua anak kecil, keinginanku hanya satu. Kalau mati nanti, aku ingin dikenal oleh anak-anakku sebagai seorang penulis. Bukan yang lainnya.

Namun sampai sekarang, aku justru hanya sebagai makhluk pengumpul buku. Seorang yang gila baca. Membaca buku apa saja, yang membuat buku makin menggunung di kamar. Kata-kata dan kalimat hanya menumpuk di otak. Tapi tak satu pun buku ku tulis.

Jadi pagi ini, aku tak mau mati dulu, kalau aku belum menjadi penulis.

Aku ingin mati, kalau aku sudah menulis buku. Dan aku rela mati kapan pun, kalau aku sudah mewariskan buku pada anakku. Tentu, bukan buku-buku yang sudah kubaca. Tapi buku yang telah kutulis.

Maka hari ini kupancangkan lagi di tahun baru Hijriyah ini. Apa pun yang terjadi, harus bisa kumulai. Karena menulis adalah ibadahku. Adalah dakwahku. Dan harus kekerjakan, sebelum datangnya kematian. Agar namaku abadi. Menjadi kebanggaan anak-anakku, meski hanya dalam hati.

Hingga kalau aku mati, anak-anakku tak bingung lagi, akan menuliskan apa di nisanku nanti.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 21 Desember 2010 pukul 17:19

Catatan Kaki 5: Adam, Turun Dari Surga Langsung Ke Minang?

Standar


MENGENANG MINANG

Kalau nanti ada waktu luang, ingin sekali ‘menggelandang’ di Minang.

Meski dulu sudah pernah ke sana, tapi hati masih selalu merindu untuk mengulang. Rasanya perjalanan 8 hari itu, belum memuaskan hausku akan pesona Minang yang indah ‘takambang’.

Perjalanan tahun lalu, aku hanya sempat menjenguk rumah Tan

Malaka di Payakumbuh. Kemudian rumah kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi, rumah kelahiran Buya Hamka di tepian Maninjau, lalu melihat kuburan Siti Nurbaya di bukit Padang.

Keinginan ke Minang, bermula karena terpesona sosok Bung Hatta.

Waktu SMP aku menjadikannya tokoh idola Karena kecerdasan intelektualnya yang bisa memadukan dengan kematangan emosional. Menurutku saat itu, Hatta merupakan perpaduan yang sangat ideal dari sosok negarawan yang nasionalis religius.

Beranjak remaja, aku mulai tertarik Tan Malaka. Karena kejeniusannya dalam melahirkan teori-teori politik untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Kecemerlangan pandangannya yang jauh ke depan, mampu menjadi tonggak titian perjuangan bangsa. Hingga Bung Karno pun mengakui, bahwa Tan Malaka adalah guru politiknya. Guru imajiner, karena sang Bung Besar itu hanya membaca pikiran-pikirannya, tanpa pernah

bertemu orangnya.

Di mataku, keduanya adalah seorang patriotik yang menarik. Karena sama-sama berlatar Minang yang islami. Alam Minang yang religius ternyata bisa melahirkan dua sosok yang berbeda pandangan. Melahirkan seorang Hatta yang nasionalis, sekaligus Tan Malaka yang sosialis.

Dari dua sosok itu, ketertarikan pada tokoh Minang semakin bertambah. Karena kemudian aku mengenal ulama yang juga sastrawan, Buya Hamka. Penulis novel legendaris ini pun kelahiran Minang. Lahir di desa Tanah Sirah, Sungai Batang, pada tepian danau Maninjau.

Maka sungguh, datang ke Minang seolah mewujudkan mimpi masa kecil. Keinginan yang terus kupendam, dan akhirnya terlaksana, setelah tertunda hampir 15 tahun lamanya.

Dan syukurku, aku benar-benar berbahagia bisa jalan-jalan ke Minang.

Di Padang, aku sempatkan jalan-jalan ke Muaro Padang. Tempat yang penuh keelokan pada sebuah kawasan kota lama. Dengan bangunan-bangunan tuanya, arsitektur gaya Cina yang tak lagi terawat, tapi menyisakan eksotisme Padang tempo dulu. Di saat ketika pinang dan lada menjadi dagangan yang sangat meraja di perdagangan dunia. Gudang-gudang yang dibangun berderet di sepanjang jalan tepian muara, menjadi bukti kejayaan yang tersisa.

Pusat perdagangan sejak ratusan tahun silam yang berada di tepian Selat Batang Arau. Tempat bermula kehidupan kota Padang sebagai pelabuhan, sejak penjajahan kolonial Belanda. Bahkan mungkin jauh sebelum itu, ketika Portugis masih mengincar kawasan barat Sumatra.
Di Batang Arau, aku menyaksikan jejak sejarah perdagangan itu. Banyak kapal-kapal kecil hilir mudik di genangan air kumuh yang di atasnya melintang gagah jembatan Siti Nurbaya. Jembatan yang dibangun pada era Orde Baru, ketika mba Tutut masih menjadi raja bisnis jalan raya.

Pada malam hari, di tepian jembatan yang sangat tinggi dari dari aliran sungai, terpancang lampu merkuri yang indah. Nyala lampu-lampu yang bila dipandang dari jauh membentuk ornamen atap bagonjong khas Minang. Atap yang menyerupai tanduk kerbau pada dua ujungnya. Bercahaya indah dalam keremangan malam yang menebarkan hawa terkesima.

Di tepi jembatan layang itulah, merupakan tempat yang sangat asyik untuk menikmati eloknya kota Padang. Menatap ke bawah, terlihat hilir mudik kapal-kapal kecil melayari Batang Arau, dan melewati bawah jembatan yang tinggi menjulang. Menatap ke kanan, menikmati indahnya bukit Siti Nurbaya, tempat kuburnya berada di balik bukit batu, dalam pesona bukit yang membayang. Memandang ke utara, hamparan tepian pantai Padang yang membentang luas ke lautan lepas. Melihat kerlip merkuri di sepanjang pantai Padang hingga Purus yang tertata indah. Dan tengadah ke tengah, terpancar c

ahaya berpendar menjulang mengangkasa dari pusat kota.

Menikmati malam yang indah itu, semakin lengkap dengan diselingi mencicipi pisang bakar yang nikmat. Pisang kapok besar yang ditumbuk ditipiskan, lalu dibakar hingga matang kegosongan. Di atasnya ditaburi

butiran misis dan coklat, atau dengan parutan keju. Dinikmati panas-panas, dengan potongan kecil dan mengunyah penuh perasaan.

Setelah minum teh panas khas Sumatra, dilanjutkan dengan menikmati jagung bakar yang lezat. Jagung besar yang manis, dengan bumbu balado Minang yang sangat pedas. Sangat pas dinikmati malam-malam sambil bercanda, bercerita di antara ramai hilir mudik mobil dan orang.

Aku datang ke Jembatan Siti Nurbaya, tepat ketika gerimis baru saja habis. Maka suasana melankolis menambah keeksotikan Padang di waktu malam. Dalam dingin yang berhembus dari arah pantai, diselingi musik minang yang mengalun dalam gesekan rabab dan tiupan saluang.

‘Padang Kota Tercinta’, demikian slogan yang terpancang di mana-mana, di seantero kota. Dan dalam kedatanganku yang pertama, benar adanya, pada Padang aku pun telah jatuh cinta.

Setiap pagi selepas shubuh, aku bisa berlama-lama tiduran di tepian pantai. Telentang begitu saja di hamparan kerikil yang bersih. Memejamkan mata memusatkan seluruh panca indra. Jiwa bagai dibuka dengan suka rela untuk menerima segala pelajaran dari alam. Benarlah pepatah Minang, ‘alam takambang jadi guru.’ Alam benar-benar terkambang memberikan pelajarannya bagi hidup dan kehidupan. Termasuk gemuruh laut Padang yang tak pernah tenang.

Aku nikmati benar gemuruh pantai yang terhampar luas. Deburnya yang bergemuruh membuat semangat hidup bagai selalu terpancing menyeluruh. Luasnya yang seolah tanpa tepi bagai mengajarkan kesabaran yang tak berbatas. Dalamnya pun turut mengajarkan ketenangan.

Keterpesonaan berikutnya adalah perjalananku dari Padang ke Bukittinggi. Perjalanan menuju ke rumah kelahiran Bung Hatta di Aur Tajungkang, tak jauh dari Pasar Bawah. Di bukit yang tinggi dan indah, yang juga terdapat Jam Gadang yang menjadi penanda kota tua. Dengan benteng Fort De Kock sebagai sisa-sisa kejayaan kolonial Belanda. Lengkap dengan bukit panorama, di mana Lobang Jepang berada dan Ngarai Sianok yang benar-benar mempesona.

Perjalanan ke Bukittinggi, melewati jalan berkelok, dengan kanan kiri panorama alam yang mengesankan. Pohon-pohon hijau berusia ratusan tahun yang besar dan lebat menjulang. Dengan jalan merayap di tepian perbukitan. Di sebelah kiri merupakan perbukitan curam, sementara kanan adalah lembah yang dalam. Udara yang sangat segar menyeruap dalam perjalanan yang panjang, yang hampir mencapai 2 jam. Namun tak terasa, karena dibuai lembutnya AC alam.

Demikian juga dengan perjalanan dari Bukittinggi ke Payakumbuh. Perjalanan yang kulalui ketika berkunjung ke rumah kelahiran Tan Malaka di Gunung Omeh, Pandan Gadang. Hamparan padang yang luas membentang, dengan semak dan pepohonan yang terlihat indah dipandang. Di kanan kiri yang hanya terisi luasnya padang rumputan, pohon-pohon kelapa yang tinggi menjulang dan terus bergoyang. Sebuah lukisan alam karya cipta Sang Maha Seniman.

Begitu pu ketika perjalanan dilanjutkan ke Maninjau. Tempat kelahiran Buya Hamka di dusun Tanah Sirah, Sungai Batang. Hamparan sawah yang indah, dengan panorama yang khas Minang. Lebih-lebih di Kelok Ampek Puluah, kelokan tajam yang berjumlah empat puluh buah. Jalan menurun yang curam dan dalam dari atas tebing, dengan kelokan menikun

g menuju ke bawah. Hati selalu dibuat berdebar ketika harus berpapasan mobil lain dari arah berlawanan.

Panorama alam Minang benar-benar indah. Tak salah Hamka pernah berseloroh, bahwa Minang adalah sebuah bocoran taman surga yang jatuh ke alam Sumatra. Tempat Nabi Adam dulu pernah turun dan menginjakkan kaki kaki pertamanya.

Danau Maninjau yang tenang dan luas, kalau dilihat dari atas, benar-benar seperti bentuk telapak kaki kanan manusia. Lengkap dengan pangkal yang membentuk tumit, dan ujung yang menyerupai jempol, berikut jari-jemarinya. S
ubhanallah!

Dan kenangan pada Minang, tentu bukan hanya pada alamnya. Tapi juga pada masakannya.

Pada tapai lamang yang kunikmati di Lobang Jepang. Sate sapi Painan yang kusantap di halaman Museum Adityawarman. Pada sambo lada jariang yang pedasnya menambah nafsu makan terus tertantang. Soto Padang yang kuahnya sangat memanjakan lidah. Ikan baka dan abuih pucuak ubi yang kunikmati di kedai kapau, di Pasar Lereng Bukittinggi. Berikut tambunsu yang melingkar besar, lauk dari telur yang dimasukkan dalam usus lembu. Juga pada pical sikai yang kucicipi di jalan keluar Ngarai Sianok, karena terpesona promosi ‘maknyus’nya Bondan Winarno. Tentu tak lupa randang balado daging sapi yang kunikmati ketika ke Suliki.

Dan masih banyak yang lainnya. Masakan Padang yang kunikmati langsung di tanah aslinya. Yang kemudian benar-benar membuatku tak lagi berselera masuk ke Rumah Makan Padang ketika sudah di Jawa. Jauh sekali rasanya. Bumbunya tidak terasa. Lidah yang telah termanjakan benar di sana, membuat masakan yang sama di Jawa tak lagi ada apa-apanya.

Maka, kapan-kapan aku ingin kembali ke Minang. Kalau ada waktu luang, juga umur panjang.

Dan tentu, kalau punya uang!

oleh Nassirun Purwokartun pada 20 Desember 2010 pukul 12:32

 

Catatan Kaki 4: Perutku Lembut. Perutmu?

Standar

 

Konon, perut yang lembut bisa menghaluskan perasaan dan pikiran.

Bisa mengurangi stress dan segala macam kecemasan, kegelisahan, juga kekhawatiran.

Menurut buku yang pernah kubaca, kita menghabiskan banyak waktu untuk menyimpan segala sesuatu di dalam perut. Ketegangan tubuh dan pikiran juga menghabiskan banyak energi yang sebenarnya menghambat lancarnya aliran darah.

Napas lah yang sebenarnya bisa menjadi pengenyang. Dengan menjadikannya rileks, hingga bisa merasa lebih tenang dan nyaman.

Maka kucoba praktekkan ilmu yang baru kudapatkan.

Aku pun duduk bersila di lantai kamar. Kedua telapak tangan kuletakan di atas perut. Kubayangkan perutku adalah balon yang akan kutiup. Kutarik nafas dalam-dalam, dan kusimpan dalam perut yang kubayangkan sebagai balon udara. Kutahan sebentar. Kuhembuskan pelan-pelan dan kubayangkan balon sedang kukempeskan perlahan.

Pikiran yang semrawut kukosongkan. Kufokuskan pada perut yang maju ketika kutarik nafas, dan mundur waktu kuhembuskan. Perutku yang menggelembung (kata istri, mirip orang hamil lima bulan), terlihat maju mundur dalam tiap tiupan.

Dalam setiap hembusan, akan kukeluarkan pula segala macam masalah yang berdiam di pikiranku. Aku ingin mengendurkan ketegangan yang bermula dari otak dan berdiam di hatiku. Aku tengah merindukan kesegaran dan kenyamanan. Kedamaian.

Berulang kali kucoba, dan ternyata tak bisa sesuai dengan yang disarankan.

Kutarik nafas dalam-dalam, kusimpan dalam perut, dan terus kutahan.

Menurut teori, harus menahannya selama 3 menit. Tidak boleh kurang. Dan menghembuskannya pun pelan-pelan. Tepat 5 detik. Namun aku gagal. Aku hanya mampu menahannya paling lama 2 menit. Itu pun sudah dengan perut kaku, dan sudah benar-benar tak tertahan.

Kemudian aku pun menghembuskannya tak bisa pelan. Begitu terasa sudah tak tahan, langsung nafas itu berhembus sangat cepat. Seperti berebutan. Mungkin tak sampai 5 detik, sudah habis semua nafas yang tertahan. Jadi cepat sekali udara yang kutahan itu dikeluarkan.

“Astaghfirullahal’adziem…..”

Istighfarku berulang, untuk sedikit mencari tenang.

Mungkin benar inilah kunci dari semua kekacauan batinku.

Karena aku tak kuat menahan nafas, membuatku cenderung emosional. Dan dengan terlalu cepat menghembuskannya, membuatku terlalu cepat naik darah.

Mungkin. Karena itulah yang sepekan ini kurasakan. Seminggu ini aku menjadi mudah emosi. Mudah kecewa, mudah jengkel, mudah sedih, juga mudah marah.

Suatu yang kalau ditelusuri (dan dijadikan pembenaran), semua bermula dari perasaan tertekan, yang tak bisa tersampaikan. Suatu perasaan yang hanya disimpan dan dipendam dalam hati. Suatu perasaan yang tak terungkapkan, ternyata memang lebih mudah membuat sakit hati.

Dari sakit hati macam itulah, katanya bisa menyebabkan timbulnya Hepatitis C. Penyakit yang membuat gosong hati, dan satu-satunya jalan adalah dengan mengganti hati. Persis seperti yang beberapa tahun lalu dilakukan Dahlan Iskan, bos Jawa Pos. Operasi mencangkok hati, yang biayanya (waktu itu) senilai sedan mercy. Hingga dengan berseloroh, Dahlan mengatakan ‘ada symbol mercy’ di perutnya. Karena luka bekas operasi benar-benar membentuk segi tiga mercy.

Dan aku sadar diri, aku tak mungkin ada cadangan biaya untuk mencangkok hati. Maka petuah lama terasa kembali membelai diri. Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Oleh karena itu, aku pun terus akan mencoba kembali teraphy ini. Nafas akan kutahan selama 3 menit, dan kuhembuskan dalam 5 detik. Aku akan terus mencoba melembutkan perut, untuk bisa menstabilkan emosi.

Karena konon, ketika kita bisa  mengendurkan semua ketegangan dalam perut, kita akan menemukan kesegaran dan kekuatan dalam hidup.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 19 Desember 2010 pukul 19:22

Catatan Kaki 3: Sriban, Prasasti Yang Sulit Terganti!

Standar

Mata kupejamkan. Aku berbaring di beranda depan. Di teras rumah sebelah kanan.

Aku ingin mengenali seisi halaman, yang sudah bertahun menjadi wajah rumahku. Namun bukan dengan melihat langsung. Melainkan dengan hanya membayangkan, seolah melihat sekeliling halaman dari kiri ke kanan, dan dengan mata terpejam.

Akan kuhafalkan semua benda di halaman. Yang sehari-hari kulihat, dan selalu ada di pelataran, namun selalu luput dari perhatian. Benda-benda yang keberadaannya sering kali diremehkan.

Sungguh ini hanya keisengan. Sekadar melatih ingatan, yang seminggu ini sulit dikonsentrasikan.

Maka aku pun mulai melihat dengan mata ‘batinku’ dengan cara memutarkan pandangan. Di sebelah kiri ada bangku beton, jemuran baju, motor tuaku, sepeda onthel lawasku, dan sepeda kecil milik Ahya. Lalu di sebelah depan ada pintu pagar, jajaran pot-pot bunga, pohon rambutan, pohon anggur, dan pohon mangga. Kemudian di sebelah kanan terpancang tiang teras rumah, kursi plastik biru tua, kursi kayu panjang warna coklat muda. Sedang di belakang ada kaca-kaca nako, kaca besar, pintu rumah, stiker-stiker tertempel di kaca, dan plat nomor rumah.

Setelah itu mata kubuka. Dan kulihat kembali apa yang tadi kulihat dengan terpejam.

Ternyata semua sama. Seperti yang sesungguhnya. Jadi mestinya, otakku masih tajam ingatan. Namun kenapa seminggu ini, kunci motor dan kaca mata selalu lupa di mana kuletakan?

Aku mecoba mengulang lagi. Mata kupejamkan lagi. Kuulang kembali ketajaman ingatanku. Dan sekarang kubalik arahnya, dari sebelah kanan ke sebelah kiri. Dari plat rumah yang terpasang di atas pintu rumah, hingga bangku beton yang merapat dengan tong sampah.

Semua terlihat. Berikut warna dan bentuknya.

Tapi entah kenapa, dari bermacam benda yang ada dalam bayangan, mendadak muncul satu benda yang tak mau lepas dari ingatan. Tetap membayang setelah mata tak lagi kupejamkan. Bahkanm meski aku telah meninggalkan halaman, masuk ke rumah untuk mengambil sarapan.

Entah kenapa, dalam ingatanku tadi pagi, melekat sebuah kursi kayu panjang warna coklat muda.

Di antara benda-benda yang berjajar menyesak di halaman, hanya kursi itu yang paling jelas dalam bayangan. Hingga aku pikir-pikir ulang, kenapa begitu melekat dalam ingatan.

Kursi kayu panjang sederhana berwarna coklat muda. Kursi panjang yang biasa dijajakan orang di jalan-jalan. Kursi panjang yang kalau di kampungku, disebut dengan nama sriban. Sriban, ya sriban. Mungkin nama itulah menyebabkan benda sederhana itu demikian lekat dalam ingatan.

Sriban. Aku jadi terkenang dengan kursi panjang bernama sriban. Itu adalah kursi panjang kesayanganku waktu masih di kampung.

Menjadi kesayangan, karena di rumahku tak tersedia sofa sudut, atau pun mebel ukir, apalagi seperangkat kursi tamu. Di balai-balai yang luas itu, hanya berisi 2 perangkat meja kayu tua sederhana, berikut 4 kursi kayu, dan 2 sriban panjang. Sebuah meja dan kursi buatan tukang kayu yang mungkin masih blajaran. Belum ahli mengetam, karena terlihat kasar papannya. Dan bentuknya yang sangat-sangat sederhana, bahkan tak rapat pada sambungannya.

Namun di sriban itulah dulu aku sering melakukan bermacam kegiatan. Dari mulai membaca, menulis, atau pun menggambar. Membaca apa saja. Menulis apa saja. Pun menggambar apa saja.

Dengan duduk di sriban sebelah utara, yang berada tepat di dekat jendela. Biar bertambah terang, pintu jendela aku buka, kemudian aku asyik melahap buku apa saja.

Di sriban itulah, buku-buku sastra berat (untuk ukuran anak SMP waktu itu) karya Arswendo Atmowiloto, Emha Ainun Najib, Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Rendra, Ahmad Tohari, dan yang lainnya aku kunyah dengan kemampuan membaca yang masih payah. Dan beberapa tahun sebelumnya, buku-buku Lupus-nya Hilman Hariwijaya dan Balada si Roy-nya Golagong aku mamah di waktu SD. Berikut novel-novel remaja yang tengah booming di saat itu. Karya Gus TF Sakai, Gustin Suradji, Bubin Lantang, Zarra Zettira, dan yang lainnya.

Di sriban itu juga, aku sering belajar menulis puisi dan cerpen. Baik tulisan coretan awal, atau tulisan tangan yang kubikin rapi, untuk dikirim ke majalah.  Sejak aku masih SD, hingga akhir remaja, ketika aku bisa mengumpulkan uang untuk beli mesin ketik.

Duduk di sriban itu, aku bisa demikian asyik menggambar dari siang sampai malam. Aku menggambar tugas sekolah atau pun kartun yang akan kukirim ke majalah. Juga kartun-kartun yang kusertakan dalam lomba nasional maupun internasional.

Di sriban itu, karya-karya kartun yang aku anggap ‘monumental’ lahir. Kartun yang kuikutkan dengan bangga dalam Pameran Kartun Nasional, ketika aku duduk di kelas 1 SMA. Serasa menjadi ‘ijazah’, bahwa sejak saat iu aku telah diakui sebagai kartunis Indonesia. Juga kartun yang turut dipamerkan dalam ‘Pameran Kartun Nasional’ yang digelar di Taman Ismail Marzuki, beberapa tahun kemudian. Sebuah pameran hasil kerjasama dengan Friederich Nouman Stiftung.

Di sriban itu pula, kartun-kartunku aku buat untuk mengisi rubrik tetap di sebuah majalah di Jakarta. Waktu itu aku masih kelas 2 SMA, dan sudah menjadi koresponden karikatur bertema politik dunia Islam. Dan dari honor kartun tetap itu, aku bisa membiayai sekolah sendiri. Membeli bermacam buku sastra, dan seluruh keperluanku, tanpa meminta lagi pada orang tua.

Di sriban itu juga, kubuat kartun-kartun untuk pameran. Baik pameran tunggal, ataupun pameran bersama seniman Purwokerto lainnya. Termasuk pameran tunggalku yang masih berkesan hingga hari ini. Yaitu pameran kartun yang kuberi tajuk ‘Presidenku Gus Dur Sekali.’ Karena dalam pameran itu, aku sempat diterror untuk menutupnya. Dan dalam persiapan pameran berikutnya, yang kuberi judul ‘Presidenku Makin Gus Dur!’, mendadak Presiden yang Gus itu mendekritkan takhtanya. Pameran pun batal digelar, karena telah kehilangan momentnya.

Maka sadarlah kini, mengapa aku mendadak terkenang dengan kursi panjang di teras rumahku.

Ternyata karena secara tak sengaja, selalu mengingatkan pada sriban kesayanganku di kampung. Sriban yang telah begitu dekat dan akrab denganku. Yang menjadi saksi sejarah perjalanan ‘kesenimananku’ sejak memutuskan ingin menjadi seorang kartunis, sekaligus penulis.

Mata pu kembali kupejamkan. Kubayangkan sriban yang telah sepuluh tahun lebih kutinggalkan. Sriban yang masih teronggok di balai-balai rumahku yang tak ada sedikit pun perubahan.

Sebuah kursi panjang sederhana saja. Dengan tangkai sandaran tangan yang melengkung dan membesar pada salah satu ujungnya. Lalu sandaran berbentuk wajikan saling melintang dengan ukiran kasar khas desa. Juga kaki-kakinya yang kokoh dengan bubutan model botolan biasa.

Aku jadi terkenang, bahwa dulu aku memang sangat menyayangi sriban itu. Sampai-sampai, waktu dipinjam tetangga yang hajatan, dan kembalinya ada sandaran yang patah, aku sempat marah. Sayang sekali, sriban yang sangat antik dan berjasa, menjadi rusak sandarannya.

Sriban kasar dan sederhana itu, pagi ini sangat melekat di hati. Seperti menjadi saksi sejarah pahatan kasar jiwaku, ketika dulu aku tengah mencari dan menemukan diri.

Sriban itu, prasasti sederhana yang sulit terganti.

oleh Nassirun Purwokartun pada 18 Desember 2010 pukul 19:17

Catatan Kaki 2: Membayangkan Bayang-Bayang

Standar


Ketika ngonthel shubuh tadi, secara tak sengaja kuperhatikan roda sepedaku.

Setiap melewati lampu pinggir jalan, bayang-bayang sepedaku datang. Lalu dengan cepat bayang-bayang itu akan berjalan ke belakang, ketika onthelku maju ke depan. Hingga kalau diperhatikan seksama, bayang-bayang itu selalu berjalan menuju belakang, sekalipun ketika dia datang dari arah depan.

Ketika lampu jalan ada di depanku, bayangan itu belum nampak. Begitu masuk area nyala lampu, bayangan pun muncul. Dan saat sepeda melewatinya, bayangan akan bergerak ke belakang. Tentu tepatnya seolah bergerak ke belakang. Karena yang sebenarnya terjadi adalah sepedakulah yang tengah maju ke depan.

Lalu sambil menghirup segarnya hawa pagi, tiba-tiba aku tercenung soal bayang-bayang.

Bahwa mungkin sebaik-sebaik kita adalah jangan pernah mau jadi bayang-bayang. Karena ketika si obyek itu berhenti, bayangan memang akan sama dengan obyeknya. Persis, tiada beda. Tapi ketika si obyek mulai bergerak, bayangan justru akan berubah langkah menuju ke belakang. Dan ketika obyek maju, bayangan akan bergerak mundur. Begitu seterusnya, nasib kita kalau mau hanya sekadar menjadi bayang-bayang.

Maka sambil tersenyum, aku membaca basmallah sejenak. Sambil meniatkan diri, ingin menjadi sepeda yang maju ke depan, bukan bayangan yang terus mundur ke belakang.

Sambil membaca bayang-bayang pepohonan di pinggir jalan pulang, aku benar-benar terpukau dengan pesona bayang-bayang.

Aku jadi teringat beberapa hari lalu, ketika terjadi pemadaman listrik di kampungku

Ketika listrik mati, maka gelaplah seisi rumah. Sebagai penerang, ummi menyalakan sebatang lilin. Lilin diletakkan di tengah ruangan. Aku, ummi, ahya, dan iqo duduk mengelilinginya. Mengitari lilin yang meliuk-liuk nyalanya dihembus angin dari jendela.

Ahya tertawa-tawa ketika melihat ke dinding kamarnya. Di belakangku, ada bayangan yang besar sekali.

“Bayangan hantu,” kata ahya.

Aku pun menoleh ke belakang. Bayangan yang besar sekali, dengan punggung melengkung menyentuh ujung eternit. Dan kepalanya memenuhi seluruh eternit ruangan.

Aku pun tertawa. Melihat bayangan ‘hantu’ itu Karena itulah bayangan tubuhku sendiri.

Aku pun kemudian mengulurkan telapak tanganku ke dekat nyala lilin. Dan ahya kusuruh untuk melihat ke dinding. Dengan genggaman tangan yang dibentuk sedemikian rupa, bayangan di dinding berubah membentuk kepala bebek, kepala ular, kepala harimau, bahkan gurita. Ahya kembali tertawa-tawa. Iqo pun turut tertawa. Melihat bermacam binatang bergerak-gerak di dinding kamarnya.

Lalu Ahya tertarik mencobanya sendiri. Tangannya diulurkan ke dekat nyala lilin. Dan di dinding ia membentuk tangan raksasa, yang gerakannya seperti mau mencengkeram kepalaku. Kakinya pun kemudian diangkat. Di dinding pun tergambar kaki raksasa yang hendak menginjak kepalaku. Besar luar biasa, ujung-ujung jarinya yang luar biasa besar, bergerak-gerak bagai mendesak ke ujung atap.

Dan semua itu hanya bayang-bayang. Sesuatu yang seolah menakutkan, namun bukanlah sesuatu yang sesungguhnya. Bukan yang sebenarnya. Bukan yang senyatanya.

Semua menjadi ada, karena bayangan itu ada dalam pikiran kita.

Ketakutan kita, kecemasan kita, kegelisahan kita, kadang seperti bayang-bayang. Sesuatu yang lebih menakutkan dan mengerikan, dari hal yang sebenarnya.

Yang ada di dinding bukanlah ular, harimau, atau bahkan gurita.. Tapi hanya bayang-bayang telapak tanganku saja.

Yang tergambar di dinding bukanlah tangan atau kaki raksasa yang siap mencengkeram kepala. Tapi hanya sekadar tangan dan kaki ahya.

Maka mestinya kita bisa melihat dengan jernih. Agar ketakutan tak selalu menghantu. Seperti bayang-bayang, bukan sesuatu yang sesungguhnya menakutkan.

Seringkali, ketakutan itu kita bikin sendiri. Dari bayangan-bayangan kita sendiri.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 17 Desember 2010 pukul 22:27

Catatan Kaki 1 : Iqro’ Apa Iqra’?

Standar


Hari ini, tepat 2 tahun lalu anak kami yang ke-2 lahir.

Dan sejak kehamilannya, ummi berkali meminta bahwa ini adalah anak kami yang terakhir.

Karena pada kehamilan pertama, dokter sudah memvonis bahwa ummi tidak akan bisa melahirkan normal. Maka aku mengamini permintaan ummi, yang sudah mempertaruhkan nyawa hingga 2 kali. Meski pun dalam canda, sering kujawab dengan tanya tawa, “anak terakhir dari istri pertama?” Namun itu hanya sebatas just kidding and just for laugh belaka.

Seperti juga orang tua lainnya, jauh hari sebelum kelahiran, kami sudah memersiapkan nama untuknya. Dan kami memilih memberikan nama yang mudah-mudah saja. Tak perlu mikir lama, tinggal comot dari Al-Qur’an. Kami berkeyakinan, ayat Allah adalah kalimat pilihan.

Aku sendiri punya ayat favorit penenang hati, yang dicuplik dari Surat Arrahman. Pengulangan yang sangat puitis melodius itu membuatku terbius. Sejak pertama membacanya, pada 20 tahun silam ketika aku baru bisa terbata. Hingga hari ini, tak berkurang sekerling pun kilau pesonanya. Dalam surat pendek yang hanya 78 ayat, kalimat itu berulang 30 kali dilafal. Seperti rapal mantra yang mudah dihapal. “Fabbiayyi alaairabbikumma tukadzdzibaan.” Sebuah pengingat agar kami selalu berkaca, “maka nikmat Tuhan manakah yang hendak kamu dustakan?”

Namun kemudian, ‘doa pengingat jiwa’ itu tak jadi kami berikan padanya.

Ummi bilang sulit diucapkan, dan terlalu panjang. Maka aku berpikir ulang untuk menggantinya dengan ayat yang mudah saja. Maka ketemulah kalimat indah itu. Ayat yang familiar di bibir setiap orang: “Iqra’ Bismi Rabbika.”

 

“Singkat, hemat, jelas, tegas, bernas.” Begitu alasan yang kusampaikan pada ummi dengan cerdas. Sekadar menutupi rasa seganku untuk mencari ayat lain lagi. Sedikit malas.

Namun sesungguhnya, aku memang terpesona betul dengan ayat yang pertama turun itu.

Karena (menurut ustadz Quraish Shihab) kata iqra’ diambil dari kata qara’a yang pada mulanya berarti ‘menghimpun’. Dalam berbagai kamus dapat ditemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain, ‘menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu’, dan sebagainya.

Sebuah makna yang dalam dan indah. Bahwa perintah membaca, bukan hanya mengeja yang terbaca mata. Tapi mencakup semua yang tertangkap panca indera.

Dan kata iqra’ itu bersambung dengan ‘bismi rabbika’. Yang memerintahkan agar proses ‘menghimpun’ itu selalu berkaitan dengan tindakan ‘demi karena Allah’. Bukan demi yang lainnya. Bukan demi kesombongan keilmuan, atau pun tepuk dada keangkuhan pengetahuan belaka. Tapi menjadi bentuk sujud syukur ibadah terindah untuk membaca nikmat alam raya.

Karena dengan iqra’ yang bismi rabbika, Allah telah menjanjikan, ia akan memeroleh kemurahan anugerah-Nya berupa pengetahuan, pemahaman, dan wawasan baru, walaupun obyek bacaannya sama.

Maka benarlah, bahwa perintah membaca merupakan perintah paling berharga yang pernah dan yagn dapat diberikan pada ummat manusia.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ‘membaca’ adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin mantap bacaan, semakin tinggi pula peradaban. Dan demikian pula sebaliknya. Tidak mustahil suatu ketika, ‘manusia’ akan didefinisikan sebagai ‘makhluk membaca’. Suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi lainnya, semacam ‘makhluk sosial’ atau ‘makhluk berpikir’.

Dan itulah doa yang kami sematkan pada anakku. Seperti juga orang tua lainnya, kami meyakini bahwa anak adalah harta yang sangat berharga. Kami menyebutnya, investasi dunia akhirat. Maka bagi kami, nama adalah sebenar doa. Pengharapan segala keinginan. Kebetulan kami bukan penganut Shakespearian yang sering mencibir, “apalah arti sebuah nama?”

“Yakin ga diganti lagi? Mantap?” tanyaku pada ummi sebelum mengetuk palu keputusan.

Bismillah. Insya Allah,” jawab ummi kemudian. Sambil memberikan alasan, bahwa nama Iqro’ juga punya kenangan tersendiri padanya. Karena konon, ummi pertama mengenalku adalah sebagai pengajar TPA yang waktu itu menggunakan metode iqro’.

Aku cuma tersenyum mendengar pengakuannya. Dengan sedikit tersanjung. Bangga juga dikenal sebagai orang baik oleh calon istri, meski hanya pengajar iqro’ di masjid kampung.

Maka sehari setelah kelahirannya, kemudian didaftarkanlah nama itu pada catatan sipil.

Iqra’ Bismi Rabbika.” Tulisku di blangko yang diberikan petugas dengan sederet keterangan.

Petugaspun membaca ulang, untuk meneliti data yang kami berikan.

Namun kemudian ia bertanya, “Ini yang benar Iqra’ Bismi Rabbika atau Iqro’ Bismi Robbika?”

Iqra’ Bismi Rabbika, pak!” jawabku mantap sambil menjelaskan, bahwa tulisan di Akta adalahIqra’ Bismi Rabbika. Namun kami membaca dan memanggilnya menjadi Iqro’ Bismi Robbika.

Petugas pun mengangguk. Lalu menyalami kami, sambil tersenyum ramah setelah menerima amplop dari ummi. Dia menjanjikan 2 pekan lagi jadi. Dab bisa diambil di rumahnya.

Namun dalam perjalanan pulang istri bilang, “Kok bukan Iqro’Bismi Robbika saja to Bi?”

“Emang kenapa?”

“Nanti kalau di sekolahan tulisannya gitu, temen-teman pasti manggilnya Iqra’. Bukan Iqro’ lho bi. Kan sesuai yang tertulis di daftar absen. Bisa-bisa dipanggil Rabbika!”

Sampai rumah kami ingin mengubah lagi. Akan aku hubungi kembali petugasnya, untuk diubah menjadi Iqro’ Bismi Robbika saja. Namun ketika aku ke tempatnya, tak ketemu langsung dengan orangnya. Berkali-kali dihubungi, juga sulit tersambung dengan HPnya. Dari pada repot, kami mantapkan lagi ke nama semula. Toh untuk sebutan, bisa kita biasakan dalam pergaulan.

Dua pekan kemudian Akta Kelahiran kami ambil. Kami baca dengan teliti dan hati sedikit berdebar. Takut kalau terjadi kesalahan tulis lagi. Seperti pada anak kami yang pertama.

“Pencatatan Sipil. Kutipan Akta Kelahiran. Berdasarkan Akta Kelahiran Nomor 008/2009, menurut stbld, bahwa di Surakarta pada tanggal enam belas Desember dua ribu delapan telah lahir IQRA’ BISMI RABBIKA. Anak kedua, jenis kelamin perempuan….”

“Perempuan?” tanya kami berdua pada si petugas, “anak kami ini laki-laki, pak!”

Petugas pun turut kaget. Dan dia memberikan alasan, “Namanya Rabbika, sih mas, mirip nama perempuan….”

by Nassirun Purwokartun on Thursday, 16 December 2010 at 08:47