Entah kenapa, aku begitu bangga dengan status alumnus TK Pertiwi.
Mungkin awalnya adalah karena keminderanku sendiri.
Aku sangat minder ketika harus berbicara di depan banyak orang, apalagi di depan mahasiswa. Karena kemiskinanku, menyebabkan tak pernah bisa kuliah. Dan karena itu tak pernah mendapat gelar ‘mahasiswa’, apalagi sarjana.
Hingga setiap duduk dan berbincang-bincang dengan teman-teman aktivis yang mahasiswa, aku selalu menganggap diriku bukan level mereka. Aku selalu takut ditanya: ‘Kang Nass alumnus mana?”
Pendidikan terakhirku, ‘hanya’ sampai STM (Sekolah Teknologi Menengah). Itupun Jurusan Bangunan Gedung. Anggapan orang, Sekolah Kejuruan macam STM adalah sekolah kelas dua. Dan di STM sendiri, Bangunan Gedung dianggap jurusan kelas bawah. Di bawah jurusan Elektronika, Listrik, dan Mesin Industri. Maka apa yang layak kubanggakan dari seorang lulusan STM yang tidak bisa bikin Rancang Bangun?
Sejak lulus, aku tidak pernah bisa PD sebagai lulusan STM Bangunan Gedung. Sebab selama di sekolah, mata pelajaran yang kutekuni malah ‘gambar kartun’ dan ‘menulis puisi’. Bukannya pelajaran sekolah, macam Gambar Bangun dan bermacam konstruksi. Aku lulus tanpa ‘bekas’ ketrampilan seperti yang diajarkan di sekolah.
Hingga ketika ada permintaan dari sekolah untuk kerja pada proyek pembangunan di Kalimantan, dengan senang hati kutolak. Pada waktu itu, sekolahku sudah bekerja sama dengan PT Hutama Karya. Yang setiap siswa 10 besar, begitu lulus langsung bekerja di perusahaan besar itu. Kebetulan (atau kebenaran?) aku masuk 10 besar, ranking 3 di kelas. Namun peluang emas itu kutolak, karena aku merasa, secara pikiran aku mampu memahami pelajaran, tapi tidak secara praktek pekerjaan.
Padahal waktu itu profesi harianku adalah tukang parkir pasar dan penjaga kotak WC terminal. Namun aku merasa tidak yakin bisa kerja di bidang Bangunan Gedung, seperti yang diharapkan perusahaan. Maka kupilih hidup di duniaku saja, menekuni dunia menggambar kartun dan tulis menulis.
Karena tidak PD dengan ke’STM’anku itulah, maka tak pernah kutuliskan dalam daftar pendidikan.
SD dan SMPku juga tak pernah kutulis, karena tidak pernah ‘menyenangkan.’ Kelas 1 SD aku pernah disetrap Kepala Sekolah karena kedapatan menggambar gajah di tembok kantor kepala sekolah. Aku dihukum berdiri di depan pintu ruang guru. Padahal yang menyuruhku menggambar adalah kakakku kelas 6. Aku merasa tidak bersalah karena aku hanya disuruh. Namun si penyuruh, ketika dimintai tanggung jawab menjawab tak pernah menyuruh. Sebagai anak kecil, aku pun mengalah untuk disalahkan.
Begitu pun waktu SMP. Kelas 1 SMP aku pernah ditampar dengan buku paket di depan kelas, karena ketahuan menulis puisi ketika sedang diterangkan. Kelas 2 pernah dikeluarkan dari kelas karena aku asyik menggambar wajah guru matematikaku yang cara menjelaskannya tak pernah masuk ke otakku.
Entah mengapa, sejak itu aku jadi tidak menikmati ‘dunia sekolah’.
Dunia sekolah seakan menjadi dunia yang paling menjemukan. Mendengar orang bicara semaunya, tanpa ada proses memberi dan menerima. Aku lebih menikmati dunia belajar sendiri, tanpa harus bersama-sama dan berkelompok berkelas-kelas.
Aku pun masih mengidakt minder dengan kondisi kemiskinanku, di antara teman-teman yang rata-rata ekonominya lebih lumayan. Ketika SMP, teman yang lain berangkat sekolah dengan sepeda baru mereka, aku cukup dengan jalan kaki saja. Dan ketika bisa membeli sepeda, itu pun sepeda bekas yang telah diganti catnya.
Maka puncaknya, ketika sekolah di STM, sungguh tak kunikmati kebahagiaan bersekolah sedikitpun. Dan ketika lulus, aku pun tak merasa sebagai lulusan yang siap kerja dari STM.
Aku minder sebagai lulusan STM yang tak bisa apa-apa. Lebih minder lagi, ketika banyak temanku yang bisa melanjutkan kuliah. Betapa bahagianya menjadi seorang mahasiswa, yang pasti daya pikirnya akan terus berkembang dan berbuah. Begitu pikirku selalu waktu itu.
Kemudian karena seringnya diundang dalam forum-forum yang diadakan mahasiswa, makin sering pula minderku menghantu. Hingga aku pernah mengambil kuliah di Universitas Terbuka, untuk mengobati minder. Tapi ternyata tak bisa kulanjutkan, karena setelah tak betah jadi tukang parkir dan WC, aku menganggur dan tak punya uang. Sementara honor kartun dan puisiku selalu habis kubelikan buku-buku sastra dan budaya.
Karena ‘dendam’ tak bisa kuliah, maka bermacam buku semakin rakus kulahap. Segala buku dengan bermacam ilmu kubaca tandas. Aku sungguh iri pada mereka yang bisa kuliah. Keirianku itu, kulampiaskan dengan membaca sebanyak mungkin buku.
Semakin banyak buku, semakin banyak ilmu, begitu pikirku. Aku bertekad, meski bukan mahasiswa, aku harus bisa pintar. Mungkin benar kata Eko Prasetyo, orang miskin dilarang kuliah. Tapi bagiku, orang miskin tetap punya hak untuk pintar. Maka aku ingin pintar, meski tak pernah mengenyam bangku kuliah.
Hingga yakinku, buku-buku itulah yang sebetulnya mengobati minderku sebagai remaja yang bukan mahasiswa. Buku-buku yang menggunung di kamarkulah yang kemudian menjadikan aku bangga sebagai Lulusan TK.
Hingga sekarang aku benar-benar bangga dengan status Lulusan TK Pertiwi saja.
Karena di TK Pertiwilah, aku pertama kali mengenal puisi. Bahkan dengan gembira aku berani maju ke depan kelas untuk berdeklamasi. Apalagi ketika Bu Guru bertepuk tangan yang kemudian diikuti oleh teman-teman sekelas. Aku bangga sekali. Aku merasa potensiku sangat diakui dan dihargai. Kebahagiaan yang tak pernah kutemukan lagi, setelah lulus TK Pertiwi.
Aku sungguh terharu bahwa keberadaanku yang hanya ‘lulusan TK Pertiwi’ ternyata diakui oleh seorang Izzatul Jannah.
Bahkan di setiap kesempatan di mana aku satu forum dengan Izzatul Jannah, beliau dengan bangga selalu mengenalkanku sebagai ‘Pembicara Lulusan TK Pertiwi’.
Ini bukan untuk meledekku. Namun katanya, untuk menyindir para mahasiswa yang masih saja kurang suka membaca, hingga tak tahu arah hidup mereka sendiri akan ke mana.
Jujur aku malu.
Bukan malu karena aku hanya lulus TK. Tapi karena itu diucapkan dengan lantang di depan makhluk yang bernama ‘mahasiswa’, yang telah membuatku minder sekian lama. Apa pantas kalau sekarang mereka justru ramai-ramai diajak untuk punya rasa minder, hanya karena ke’TK’anku itu?
Akupun sebenarnya sering berpikir, apa aku juga pantas bangga karena ke’TK’anku?
Tapi setelah direnungkan, bukankah ketika aku diundang mahasiswapun, hanya untuk bicara tentang puisi, sesuatu yang kudapatkan di bangku TK Pertiwi?
oleh Nassirun Purwokartun pada 24 Desember 2010 pukul 11:46