BABAD BANYUMAS 33: Pemaknaan Pantangan

Standar
Apa makna yang terkandung dalam pantangan adipati Wirasaba?

“Pepali itu telah menjadi legenda di kalangan masyarakat Banyumas. Pencarian makna pepali tersebut diharapkan dapat mengubah citra pepali sebagai tugu yang mati. Tanda ada pemahaman makna pepali, maka pepali tersebut menjadi vampire yang menakutkan bagi masyarakat pewarisnya.”

Menarik pandangan yang dipaparkan Prof. Sugeng Priyadi dalam buku “Menuju Keemasan Banyumas” tersebut. Buku yang pernah terbit dengan judul “Banyumas, Antara Jawa dan Suna” pada tahun 2002. Kemudian diterbitkan lagi pada tahun 2015 sebagai penanda ulang tahunnya yang ke-50.

Beliau memaparkan pemaknaan pantangan yang disampaikan oleh Adipati Warga Utama I pada keturunannya. Menurutnya, lima pepali tersebut adalah pepali yang sakral dan bukan pelali yang profan. Kelima pepali itu merupakan satu kesatuan yang saling berinteraksi dan memunculkan makna yang utuh.

Saya kutipkan paparan dari buku itu dengan bahasa saya. Saya tidak mengutip secara utuh. Hanya rangkuman saja biar tidak sepanjang naskah aslinya. Namun, bila pembaca ingin mendapatkan penjelasan yang lengkap bisa langsung baca bukunya. Pesan langsung pada beliau.

Pantangan pertama terkait Toyareka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristriwa. Dalam bahasa Jawa, toya atau banyu, artinya air. Dalam klasifikasi mancapat, air berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula, sebagaimana matahari terbit dari timur.

Awal mula kejadin ditandai dengan huruf Jawa ha-na-ca-ra-ka, yang artinya ada utusan. Yakni utusan dari Sultan Pajang yang memerintahkan hukuman mati. Arah timur juga dilambangkan dengan burung kuntul. Orang Jawa sering memakainya dalam peribahasa kuntul diunekake dandang, dandang diunekake kuntul. Peribahasa yang artinya yang baik dikatakan buruk, yang salah dikatakan benar. Peribahasa tersebut mempunyai makna fitnah.

Jadi Toyareka adalah toya atau banyu yang sudah dikotori oleh fitnah. Hingga menjadi air yang tidak suci lagi, yang harus dihindari oleh keturunan Wirasaba.

Pantangan kedua terkait jaran dhawuk bang. Dalam ajaran Astabrata, jaran atau kuda memiliki makna untuk menjauhi nafsu-nafsu yang buruk. Warna dhawuk yang berarti abu-abu melambangkan malapetaka. Sedangkan warna bang yang berarti merah melambangkan kejahatan, nafsu, ketidakteraturan, kehancuran, dan chaos.

Perpaduan dhawuk dan bang memunculkan desa Bener sebagai tempat kejadian. Maknanya, meskipun Adipati Warga Utama I tidak salah, yaitu benar atau dalam bahasa Jawa, bener, tetapi tetap menjadi korban dari fitnah Toyareka. Namun, sang adipati telah menerima dengan ikhlash sebagai takdirnya. Karena itu, hendaknya keturunannya dapat mengendalikan nafsunya (jaran) seperti mengendalikan kuda agar tidak menjadi malapetaka (dhawuk). Mengendalikan diri dari nafsu kejahatan (bang), termasuk balas dendam terhadap Toyareka.

Pantangan ketiga terkait bale malang. Bale malang dibangun untuk menghubungkan dalem sebagai rumah induk dengan pendapa sebagai ruang publik. Jadi fungsi bale malang adalah sebagai jalan dari rumah menuju pendapa. Bale malang adalah bangunan antara. Melambangkan alam antara hidup dan mati, antara dunia nyata dan maya, antara awal dan akhir, dan lain sebagainya. Masa peralihan adalah masa yang penuh krisis dan konflik.

Pantangan keempat terkait Sabtu Pahing. Hari Sabtu pada Saptawarna adalah hari ketujuh. Hari Sabtu disebtuk Sanaiscara dalam kalender Jawa kuno sebagai hari istirahat. Pepali hari Sabtu muncul karena ada perubahan dari Hindu ke Islam. Hari Jumat menggantikan hari Sabtu sebagai hari suci.

Hari Sabtu menempati arah selatan, pasaran Pahing juga menempati arah selatan. Arah selatan melambangkan darah, keturunan ibu, warna merah, dan huruf Jawa da-ta-sa-wa-la karena saling bertikai. Dari garis Ibu, Adipati Warga Utama I adalah turunan ketujuh dari adipati Pasirluhur.

Huruf Jawa da-ta-sa-wa-la menujuk pada perselisihan antara Warga Utama I dengan Demang Toyareka. Perselisihan itu dilanjutkan oleh kesalahpahaman utusan Pajang yang menyebabkan kematian sang adipati. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Yama sebagai dewa kematian menempati arah selatan. Seperti juga hitungan hari Sabtu dan pasaran Pahing.

Pantangan kelima terkait pindang banyak. Banyak atau angsa, dalam ajaran Hindu adalah lambang Dewa Brahma sebagai dewa pencipta. Banyak juga menjadi totem keluarga Warga Utama I. Angsa telah menjadi simbol bersama masyarakat Banyumas terhadap leluhurnya yang berasal dari Pajajaran, yakni Banyak Catra.

Karena itu, makan angsa, selain tidak menghormati binatang totem, juga mematikan atau melupakan Sang Maha Pencipta. Dengan memberikan pepali itu, Warga Utama I sebagai pengejawantahan kesadaran sejarah leluhurnya. Kesadaran itu merupakan peringatan agar tidak mengalami peristiwa naas yang sama.

Sungguh menarik pemaknaan tersebut. Semoga membuka wawasan masyarakat Banyumas untuk tidak sekadar menelan begitu saja larangan tersebut. Namun memahami makna dan kandungan dari lima pepali yang sebetulnya sarat makna.

BABAD BANYUMAS 32: Lima Larangan Anak Keturunan

Standar

Mengapa Adipati Wirasaba mengeluarkan lima larangan?

Apa saja lima pantangan itu?

Dari panggung ketoprak pula saya kemudian mengetahui pantangan yang menjadi pegangan masyarakat Banyumas. Pantangan yang bermula dari ucapan Adipati Warga Utama sebelum meninggal. Larangan atau pepali yang didasarkan pada kejadian kematian yang menimpanya.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan kejadian tersebut dalam tembang Megatruh. Tembang macapat yang sangat tepat menggambarkan kesedihan dan kematian.

Samana kya adipati ngandika mring wadyanipun, padha seksenana sami, ing mbesuk sapungkuringong, anak putu aja kang ngambil mantu, wong ing Toyareka benjing, lan aja nganggo ing besuk, jaran wulu dhawuk abrit, poma ing wawekasingong, lan ywa nganggo bale bapang anak putu, miwah aja mangan sami, pindhang banyak wekas ingsun, aja lunga dina Paing, poma den angatos atos.”

Pada waktu itu, sang adipati berkata kepada para pengiringnya, “Kalian saksikanlah semua. Bahwa kelak setelah saya tidak ada, seluruh keturunanku jangan pernah mengambil menantu orang dari Toyareka. Juga jangan pernah menaiki kuda berrambut merah kelabu. Ingat-ingatlah pesan saya ini. Juga jangan pernah menggunakan balai malang. Juga jangan kalian makan pindang angsa. Setelah saya meninggal, jangan pernah bepergian pada hari pasaran Paing. Tolong perhatikan pesan ini dengan seksama!”

Setelah berpesan demikian sang adipati kemudian meninggal dunia. Seluruh keluarga menangisinya. Bersujud di kakinya. Suara tangisan terdengar bersahutan.

Jadi dari peristiwa itu, Adipati Wirasaba, Adipati Warga Utama memberikan lima pantangan kepada keturunannya.

Pantangan yang pertama adalah jangan mengambil menantu orang Toyareka. Adik Adipati Wirasaba yang bernama Ki Toyareka dianggap menjadi penyebab kematian sang kakak. Perceraian antar anak mereka sudah diputuskan empat bulan silam.

Namun, walau sudah menikah, tapi putri Wirasaba tersebut masih gadis. Karena tidak cinta, mereka tidak pernah melakukan hubungan. Mestinya, hal itu tidak perlu digugat ke Pajang, karena sudah tidak ada hubungan lagi, sudah bukan suami istri lagi.

Akan tetapi Ki Toyareka justru mendukung anaknya, Raden Sukra, untuk menggugat ke Pajang. Hingga Joko Tingkir sebagai sultan Pajang langsung menerima saja laporan itu. Langsung menjatuhkan hukuman mati para Adipati Wirasaba.

Andai saja Ki Toyareka tidak menggugat ke Pajang, kemungkinan besar peristiwa pembunuhan akibat salah paham tersebut tidak akan terjadi. Maka, demi menghindari kejadian yang sama di kemudian hari, sang adipati memberikan pantangan untuk para keturunannya.

Pantangan kedua adalah jangan menaiki kuda dengan rambut merah kehitaman. Karena pada saat berangkat ke Pajang, Adipati Wirasaba menggunakan kuda tersebut. Kuda tunggangan yang dikenal dengan nama Jaran Dawuk Bang.

Saya membaca lanjutan kisah kematian Adipati Wirasaba. Bahwa setelah melihat tuannya meninggal, kuda tunggangan yang setia justru berlari sendiri pulang ke Wirasaba.

Dalam Babad Banyumas dituliskan begini. Ini kembali saya kutip utuh dari terjemahan saya atas tembang Megatruh yang ada.

Kemudian diceritakan kuda sang adipati yang berbulu merah kelabu, mengetahui tuannya meninggal, kemudian memberontak melepaskan tali kekang yang terikat di tambatan hingga lepas.

Kuda tersebut lalu berlari kencang sekali. Pengasuhnya tidak bisa menyusul. Berlari bagaikan seorang manusia, dia bermaksud memberi kabar duka, bahwa tuannya sudah meninggal dunia.

Pengasuhnya tidak dapat mengejarnya. Langkah sang kuda sudah sampai di Wirasaba. Kemudian masuk ke dalam kandangnya sendiri, hingga membuat semua orang kaget melihat kedatangannya yang sendirian.

Melihat kuda tunggangan Adipati Wirasaba pulang sendiri, mereka menduga telah terjadi kecelakaan. Apalagi tak berapa lama kemudian pengasuh kuda menyusulnya. Begitu kencang larinya dalam menyusul.

Setelah ditanyai oleh Nyai Adipati, diceritakan semua yang terjadi. Dari awal hingga akhir. Bahwa kematian sang adipati bermula dari masalah sang putri.

Saya merasa aneh dengan larangan kedua tersebut. Bukankah kuda dhawuk bang adalah kuda yang sangat setia. Bahkan dialah yang pertama memberi kabar kematian tuannya.

Pantangan ketiga adalah jangan membangun rumah dengan bentuk bale malang. Karena kejadian pembunuhan tersebut terjadi di bale malang, ketika sang adipati tengah makan siang.

Pantangan ini sepertinya begitu ditaati. Hingga ketika saya penasaran seperti apa bentuk bale malang  itu, saya tak menemukannya di wilayah Banyumas.

Dari sejarah yang kemudian saya baca, Adipati Banyumas, Yudanegara II pernah melanggar pantangan itu. Entah sengaja atau tidak. Ketika memindah dari ibukota lama ke ibukota baru, ia membuat pendopo Kadipaten Banyumas dengan bentuk bale malang.

Entah ada kaitan atau tidak, sejarah kemudian menuturkan Yudanegara II pernah hampir dibunuh orang ketika sedang tiduran di dalam bale malang pendoponya. Bahkan yang tragis, sang adipati kemudian meninggal mendadak di pendoponya itu. Hingga Yudanegara II pun sampai sekarang dikenal sebagai Yudanegara Seda Pendapa, atau Yudanegara yang meninggal di pendopo.

Pantangan keempat adalah jangan memakan pindang angsa. Karena ketika pembunuhan terjadi, Adipati Wirasaba tengah menikmati masakan itu.

Pantangan ini pun masih ditaati sampai sekarang. Orang banyak yang menikmati pindang, masakan dengan kuah buah klewek itu, namun dagingnya bukan angsa, melainkan ayam.

Hanya kadang saya bertanya, tidak ditemuinya pindang angsa di masyarakat Banyumas itu, karena menaati pantangan leluhur mereka? Atau memang angsa jarang ada yang mau makan dagingnya, dan angsa juga jarang yang memeliharanya?

Pantangan kelima adalah jangan bepergian pada hari Sabtu Pahing. Karena peristiwa pembunuhan itu terjadi pada hari Sabtu Pahing.

Pantangan ini sepertinya sudah banyak yang mengabaikan. Hanya generasi tua saja yang masih mengingatnya. Mungkin pantangan itu melekat sejak kecil, ketika kisah dalam Babad Banyumas masih dipentaskan dalam ketoprak. Atau dikisahkan di rumah-rumah menjadi pengantar tidur bagi anak cucu mereka.

Sekarang pantangan hari Sabtu Pahing seolah memudar. Generasi muda sudah mengabaikannya. Apakah karena menganggap pantangan adalah sesuatu yang tidak rasional? Atau karena tidak membaca Babad Banyumas?

BABAD BANYUMAS 31: Yang Malang Di Bale Malang

Standar
Siapa yang malang di bale malang?

Inilah kisah yang pertama saya dapatkan dari panggung ketoprak terkait Babad Banyumas. Kisah kematian Adipati Wirasaba, Warga Utama, yang terbunuh oleh prajurit utusan Sultan Pajang. Kisah yang kemudian diangkat dengan lakon “Geger Wirasaba”.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan awal mula peristiwa sedih itu dalam tembang Gambuh, “Para bupati sagung, manca praja pinundhutan wau, rara ayu nyawiji malebeng puri, samya nyaosi sadarum, rara ayu pra bupatos.”

Semua adipati mancanegara, semua dimintai gadis-gadisnya untuk masuk istana. Semua memberikan putri-putrinya. Ada yang menyerahkan anaknya. Yang tidak punya anak menyerahkan saudaranya. Ada yang menyerahkan cucunya, hingga keponakannya. Dipilihlah yang paling cantik wajahnya. Yang dianggap pantas masuk dalam istana.

Ketika datang perintah itu, Adipati Wirasaba, Warga Utama, mengirimkan anak keempatnya, yang bernama Rara Sukartiyah. Diantar sendiri ke Pajang. Dipersembahkan pada Joko Tingkir. Diterima oleh sang sultan Pajang, kemudian disuruhnya pulang. Adipati Warga Utama pun kemudian pulang.

Namun, tanpa sepengetahuan Adipati Wirasaba, adiknya, Demang Toyareka, datang menyusulnya ke Pajang. Bersama dengan anaknya, Raden Sukra, mengadukan hal yang terjadi terkait putri kiriman dari Wirasaba. Dilaporkan bahwa sebenarnya sang putri bukanlah seorang gadis. Karena sebelumnya sudah menikah dengan anak Demang Toyareka.

Mendengar laporan itu, murkalah Joko Tingkir. Penguasa Tanah Jawa itu merasa dihinakan. Permintaannya adalah gadis, namun dikirim perempuan yang sudah menikah.

Babad Banyumas Mertadiredjan menulis dengan dramatis kemarahan itu dengan bahasa puitis.

“Sang nata amiyarsa, langkung duka jaja bang malatu-latu, andik kang netra ngarirah, kumedhut padoning lathi.”

Saat sang raja mendengar keterangan itu, marahnya tidak terkirakan. Terlihat dari merah wajahnya. Tergambar dari tajamnya sorot mata. Serta terbaca dari getaran ujung bibirnya.

Untuk kisah selanjutnya, saya tulis langsung sesuai naskah aslinya saja. Naskah asli Babad Banyumas Mertadiredjan yang menceritakan kejadian itu. Teks yang aslinya berbahasa Jawa dalam tembang macapat, namun sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sengaja saya kutipkan teks aslinya, biar pembaca bisa menikmati kisah tersebut sesuai yang tertulis dalam babad. Karena salah satu alasan saya berburu Babad Banyumas adalah ingin mengetahui kisah yang tertulis dalam babad. Semoga pembaca pun lebih menikmati membaca teks asli, daripada penuturan saya sendiri.

Beginilah yang tercatat dalam Babad Banyumas, tidak saya tambahi tidak saya kurangi.

Memang sudah takdir Yang Kuasa, Adipati Warga Utama Akan menemui ajalnya. Dibunuh oleh sang raja karena gelap pikirannya terburu oleh amarah. Hingga tidak teliti lebih dulu kebenarannya. Tentang perempuan yang jadi masalahnya.

Sang sultan keras berkata, “ Para prajurit, susul kepulangannya segera Si keparat yang sudah pulang itu, Adipati Wirasaba. Di manapun bisa terkejar, langsung bunuh saja!”

Tiga orang prajurit memberikan sembah. Kemudian berangkat menunggang kuda

Sang sultan masuk ke dalam istana. Kemudian memanggil  putri persembahan yang dikirim dari Kadipaten Wirasaba.

Setelah sampai di hadapan, bertanyalah sang raja, “Wahai, gadis saya bertanya. Jawablah yang sebenarnya. Apakah kamu sudah punya suami?”

Sang putri menjawab pertanyaan sang raja, “Sesungguhnya, paduka raja, inilah saya seutuhnya, yang sebenarnya saya tidak punya suami. Bahwa dulu memang pernah menikah. Namun karena perintah ayah saya. Menikah dengan orang Toyareka. Tetapi hamba tidak suka kepadanya. Hingga pernah sampai berhubungan dengan suami saya itu. Sekalipun hamba tak pernah mau.

“Akhirnya saya diceraikan oleh ayah saya dengan suami saya. Suami saya pun menuruti keputusan itu. Sudah tiga bulan yang lalu. Sekarang saya dipersembahkan pada sang raja. Maka sekarang sudah empat bulan lamanya, kalau dihitung sejak perceraian dulu.”

Ketika sang raja mendengar penjelasan sang putri, sangat menyesal dengan keputusan sebelumnya.

Dengan segera dipanggil tiga prajurit menghadap kepadanya. Dan berkatalah sang raja, “Wahai, kalian para prajurit, segeralah susul temanmu yang tadi berangkat. Para prajurit yang saya perintahkan tadi untuk membunuh Adipati Wirasaba. Sampai di mana pun kalian bertemu, kalian saya perintahkan untuk membatalkan. Jangan sampai ia dibunuh, karena sang adipati tidak bersalah.”

Tiga prajurit langsung menyusul prajurit yang sebelumnya berangkat. Jalannya cepat sekali.

Tidak dikisahkan selama perjalanan mereka. Sang Adipati Wirasaba sedang dalam perjalanan pulang. Karena punya saudara, Kyai Angger di desa Bener, disinggahinya.

Ketika itu mereka tengah duduk di bale malang. Kyai Adipati Wirasaba dijamu nasi dengan lauk pindang angsa. Betapa nikmat mereka makan bersama.

Ketika baru makan habis setengah, datanglah tiga orang prajurit yang pertama. Turun dari atas kudanya segera menghadap sang adipati. Para prajurit berdiri di depannya hendak menyampaikan perintah sang sultan. Namun tidak enak hati, karena sang adipati sedang makan. Hingga ditunggu sampai selesai makan.

Kagetlah sang adipati saat melihat ada tiga prajurit menyusulnya. Kemudian sang adipati pun bertanya, “Ada perintah apakah?”

Tiga prajurit itu menjawab, “Silahkan diselesaikan saja dulu makannya. Memang ada perintah yang akan disampaikan. Namun nanti saja kalaus udah selesai makan.”

Sementara itu, para prajurit yang menyusul, yang diperintahkan untuk membatalkan perintah membunuh sang adipati, sudah sampai di Bener. Mereka tidak jauh jaraknya dari tempat itu.

Prajurit yang datang pertama melihat kedatangan prajurit yang datang menyusulnya. Mereka kemudian berdiri di depan Adipati Wirasaba.

Melihat prajurit pertama berdiri, prajurit yang menyusul melambaikan tangannya, “Kalian, para prajurit mundur! Perintah sang raja sudah dibatalkan!”

Tergagap mereka berkata-kata, karena jarak yang cukup jauh. Sementara yang diberi perintah tidak paham menangkap lambaian tangan tersebut.

Prajurit yagng pertama malah terkejut melihat ada prajurit susulan yang datang. Hingga bertanyalah dalam hati, “Mengapa mereka melambaikan tangannya? Apakah maksudnya untuk segera membunuh sang adipati?”

Memang sudah kehendak Yang Maha Besar. Mereka yang diberi pesan tidak menangkapnya. Hingga ketiga prajurit itu kemudian mengepung Adipati Wirasaba. Sambil masing-masing menarik kerisnya. Kemudian dengan bersamaan ditusukkan pada sang adipati. Ditikam tepat di dadanya.

Kagetlah para prajurit yang menyusul melihat itu. Sang adipati telah tertikam keris. Semakin kencang mereka berlari.

Setelah berhadapan, dengan keras mereka bertanya, “Hai, kalian, mengapa bertindak demikian itu? Mengapa kalian membunuh sang adipati? Padahal kedatangan kami ini diperintahkan oleh sang sultan untuk mengurungkan pembunuhan. Kyai Adipati Wirasaba tidak ada kesalahannya. Hanya karena sang sultan tergesa-gesa. Tidak meneliti masalah lebih dulu.

“Itulah mengapa kami tadi melambaikan tangan pada kalian!”

Prajurit yang datang pertama menjawab, “Saya tidak paham maksudnya. Maka saat saya melihat kalian melambaikan tanganmu, saya kira justru untuk segera melakukan pembunuhan pada sang adipati. Maka dengan cepat kami lakukan membunuh sang adipati!”

Para prajurit yang datang belakangan bertanya, “Lalu sekarang bagaimana ini? Semua sudah terlanjur terjadi. Apa yang akan disampaikan pasa sang sultan?”

Pada waktu itu sang adipati belum sampai meninggal. Mendengar para prajurit saling berdebat Dengan pelan ia berkata, “Sudahlah, jangan saling menyalahkan. Para prajurit semua kembalilah bersatu. Jangan saling menyalahkan begitu. Nanti malah celaka semuanya.”

Dengan terputus Kyai Adipati berkata, “Wahai, para prajurit semuanya. Sekarang dimusyawarahkan saja. Jangan lagi bertengkar begitu. Katakanlah bahwa semua sudah terlanjur. Jika bersatu maka akan selamat. Adapun keadaan saya ini, sudah menerima kehendak Yang Maha Besar. Bahwa saya dipanggil menghadap sultan hanya menjadi jalan saja. Tidak bisa berubah bila sudah menjadi ketentuan.”

Adipati Warga Utama begitu ikhlas menerima takdirnya. Ketentuan yang tak bisa dielakkan, kaernas sudah jadi keputusan jalan hidup dari Yang Kuasa.

BABAD BANYUMAS 30: Ki Buwang Yang Terbuang

Standar
Mengapa Ki Buwang sampai terbuang dari Wirasaba?

Ki Ageng Buwara I adalah adik Raden Paguwan, Adipati Wirasaba pertama. Ki Ageng Buwara II adalah mertua Raden Urang, Adipati Wirasaba kedua. Sedangkan Ki Buwang adalah adik Raden Surawin, Adipati Wirasaba ketiga.

Kisah Ki Buwang bermula dari disahkannya Raden Katuhu sebagai Adipati Wirasaba keempat oleh Raja Majapahit.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuturkan, ketika Adipati Wira Hutama II, memerintahkan anak angkatnya, Raden Katuhu, mengirim upeti ke Majapahit. Adipati Wirasaba ketiga itu, menyuruh juga adiknya, Ki Buwang, untuk menemaninya.

Dalam tembang Kinanti dituliskan, “Ki Dipati alon muwus, Thole malbuweng nagari, bulubekti aturena, mring sang Prabu Majapahit, Thole karo pamanira, Ki Buwang gawanen kanthi.”

Sang adipati pelanberkata, “Anakku, menghadaplah kamu ke Majapahit. Upeti persembahan Wirasaba antarkanlah kepada sang Prabu Majapahit. Anakku, berangkatlah bersama pamanmu. Ki Buwang menjadi temanmu.”

Maka berangkatlah ke Majapahit mereka berdua dengan iringan prajurit Wirasaba.

Tidak diduga oleh Ki Buwang, ternyata kedatangan Raden Katuhu justru menjadi ancaman bagi kedudukannya.

Ketika seorang adipati tidak punya anak laki-laki, maka yang akan menggantikan kedudukannya adalah adiknya. Begitulah peraturan turun temurun yang berlaku.

Raden Bagus Surawin dikisahkan tidak punya anak. Karena itu, bila Adipati Wira Hutama II meninggal, seharusnya takhta Wirasaba turun pada Ki Buwang. Namun dengan pengangkatan Raden Katuhu, hilanglah harapan itu.

Karenanya, ketika dalam perjalanan pulang dari Majapahit, Ki Buwang mendahului pulang. Begitu sampai di pegunungan Sumbing, ia mohon diri pulang ke Wirasaba lebih dulu.

Ternyata, kepulangan itu memendam kemarahan dengan keputusan yang diberikan oleh Raja Majapahit. Ia tidak menerima keputusan yang mengecewakan itu. Namun, karena dia tidak punya kedudukan apapun, hingga tak punya kekuasaan untuk menolak. Maka jalan satu-satunya adalah menggagalkan keputusan tersebut.

Ki Buwang pun membuat laporan palsu pada kakaknya, Adipati Wira Hutama II.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan peristiwa itu dalam tembang Kinanthi. Seperti kita tahu, tembang macapat Kinanthi sering ditembangkan untuk melambangkan harapan. Dan, harapan yang lama dibayangkan Ki Buwang mendadak hilang.

Samana datan winuwus, Ki Buwang ingkang winarni, Paguwan gerahe waras, kang putra den anti-anti, samana lagya alenggah, Ki Buwang prapta ing ngarsi.

Ketika itu dikisahkan, Ki Buwang yang kemudian diceritakan. Adipati Paguwan, Wira Hutama II, sudah mulai sembuh sakitnya. Sang anak, Raden Katuhu, ditunggu kepulangannya. Waktu itu ia sedang duduk di pendapa. Datanglah Ki Buwang menghadapnya.

Berkata sambil menangis tersedu. Disampaikan bahwa Raden Katuhu telah menyalahi janji. Hingga keluarlah keputusan Raja Majapahit. Bahwa Adipati Paguwan diberhentikan. Raden Katuhu yang menggantikan di Wirasaba. Bahkan telah diberi gelar Adipati Marga Utama. Juga diberi seorang istri dan seekor gajah.

Ki Buwang menakut-nakuti bahwa Adipati Paguwan pun akan dibuang. Semua saudara juga tidak akan diberi kekuasaan apapun.

Setelah melapor pada kakaknya, Ki Buwang langsung bersiap senjata. Empat puluh prajurit jumlahnya.

“Kula begalana ing margi. Tan nedya mundur sanyari.”

Begitu pamitnya pada sang kakak. Ki Buwang akan menghadang kepulangan Raden Katuhu. Tak akan mundur menghadapinya.

Maka, demikianlah yang kemudian terjadi. Ki Buwang mencegat di tengah jalan, ketika rombongan Raden Katuhu sampai di Kali Palet. Prajurit Ki Buwang langsung menyerbu. Bahkan dengan keris kecilnya ia mengamuk membunuh semua prajurit yang mendekat.

Singkat cerita, Ki Buwang berhasil dilumpuhkan. Bahkan terbunuh oleh keris pusaka Raden Katuhu. Juga anaknya, Bagus Kasan. Sama-sama tertikam pada lambung kirinya.

Setelah menguburkan ayah dan anak, Raden Katuhu melanjutkan perjalanan pulang ke Wirasaba.

Sesampai di hadapan ayah angkatnya, Adipati Wira Hutama II, Raden Katuhu menyembah. Hormat. Takzim. Begitupun dengan sang istri, yang merupakan putri pemberian Raja Majapahit. Bersujud menyembah padanya.

Sang ayah pun menangis tersedu melihat penghormatan itu. Merasakan kebohongan yang telah dilaporkan adiknya, Ki Buwang.

“Kang rama asengguk-sengguk, menget tingkahe Ki Buwang.” Begitu Babad Banyumas menuliskan pertemuan ayah dan anak angkatnya.

Adipati Wira Hutama II menerima keputusan Majapahit. Ia memasrahkan takhta kadipaten pada Raden Katuhu. Setelah itu ia memutuskan keluar dari kadipaten. Membuka lahan perkebunan di utara Wirasaba untuk mengisi hari tua.

Suatu saat, pada suatu hari, sang anak, Raden Katuhu bersama istrinya berkunjung menjenguk sang ayah. Menantunya itu membawa banyak pakaian sebagai persembahan. Ikat kepala, kain, jubah, dan sabuk. Semuanya rangkap tiga.

“Ing ngarsa lajeng ngujungi, kang rama kamembeng waspa.”

Bersujudlah mereka di hadapannya. Sang ayah tidak kuasa menahan haru bahagia. Begitu Babad Banyumas Mertadiredjan mencatat peristiwa mengharukan itu. Hingga yakin bahwa semua yang disampaikan Ki Buwang adalah kebohongan belaka.

Raden Katuhu, juga istrinya, sangat menghormatinya. Bahkan mengunjunginya dengan membawa banyak hadiah.

Adipati Wira Utama II mengisi hari tuanya di lahan perkebunan yang dibukanya. Lahan yang kemudian dikenal dengan nama Kecepit, karena letaknya yang terjepit aliran sungai Serayu. Ada juga yang menyebutnya dengan kebun Pakembangan.

Perkebunan itu sekarang menjadi desa Kembangan. Berbatasan langsung dengan desa Wirasaba, di Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Makam Wirahutama II dan makam Raden Katuhu atau Marga Utama, bisa ditemukan di sana.

Sementara makam Ki Buwang, menurut penuturan Babad Banyumas Mertadiredjan, berada di Kali Palet. Kali Palet sekarang masuk wilayah Banjarnegara. Namun saya belum melacaknya ke sana.

BABAD BANYUMAS 29: Dari Wirasaba Ke Buwara

Standar
Ada apa dengan Buwara?

Ki Ageng Buwara adalah adik bungsu Raden Paguwan, adipati pertama Wirasaba.

Kemungkinan dari nama Ki Ageng Buwara, sebagai pemimpin desa itulah maka desanya disebut dengan Buwara. Karena nama aslinya adalah Kyai Sayid Abu Buwara. Bukan seperti yang lain, karena menetap di desa Buwara kemudian bernama Ki Ageng Buwara.

Saya membayangkan jarak Buwara dan Wirasaba mestinya tidak jauh. Karena anak Ki Ageng Buwara II menjadi menantu adipati Wirasaba, Raden Paguwan. Menantunya tersebut, Raden Urang, kemudian menjadi adipati Wirasaba kedua.

Saya pun mencari keberadaan Wirasaba dan Buwara. Bagi saya ini penting, karena saya butuh meyakinkan diri bahwa semua yang tercatat dalam Babad Banyumas ada faktanya. Bukan sekadar dongengan belaka. Hingga semua nama saya telusuri sejarah dan petilasannya. Semua tempat saya datangi untuk dilacak sejarahnya.

Pencarian yang pertama, tentu saja adalah Wirasaba. Dengan bertanya pada Mbah Gugel, maka saya mencari letak Wirasaba berada.

Setelah yakin bahwa sekarang menjadi sebuah desa di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, saya langsung mencarinya.

Ternyata memang betul di Kecamatan Bukateja terdapat desa bernama Wirasaba. Sebuah desa kecil di tepian sungai Serayu yang mengalir dari arah timur. Di desa tersebut sekarang berdiri Bandara Jenderal Soedirman. Karena letaknya di desa Wirasaba lebih dikenal dengan nama Bandara Wirasaba.

Saya datang dari arah Banyumas, ke timur, lurus, lewat Klampok, Banjarnegara. Kemudian berbelok ke kiri, menyeberangi Sungai Serayu, ke arah Purbalingga. Pada sebuah perempatan, saya belok kiri mengikuti jalan utama ke arah Bandara Wirasaba.

Masuk area bandara, menelusur jalan di sebelah bandara, sampailah di perempatan kecil. Tak ada papan nama besar sebagai tanda bahwa dulu kala, lima abad silam, pernah ada kekuasaan besar di Wirasaba. Saya hampir kebablasan kalau tidak jeli melihat penanda yang hanya kecil saja terpancang di pagar bandara. Penanda menuju arah makam para adipati Wirasaba.

Pada makam yang berada di tepian sungai Serayu itulah saya mendapati semua adipati Wirasaba. Berjajar dari kiri ke kanan seusai urutan. Sebelah kiri adalah makam adipati pertama Wirasaba, Raden Paguwan, atau Adipati Wira Hudaya. Kemudian sebelah kanannya, makam penggantinya, adipati Wirasaba kedua, Raden Urang, atau Adipati Wira Utama I. Lalu makam adipati Wirasaba ketiga, Raden Bagus Surawin, atau Adipati Wira Utama II. Juga makam Raden Katuhu, yang menjadi adipati Wirasaba keempat, atau Adipati Marga Utama.

Pada juru kunci makam saya bertanya, di manakah letak pusat pemerintahan Kadipaten Wirasaba dulunya. Namun juru kunci makam hanya menggelengkan kepala. Katanya sudah tidak jelas bekasnya. Tidak tahu di mana tempatnya. Hanya tinggal menyisakan makam saja. Makam tua yang konon dipugar oleh pihak Bandara Wirasaba.

Setelah menemukan Wirasaba, saya mencari keberadaan Buwara. Wirasaba adalah kadipaten tempat Raden Katuhu pernah menjadi adipatinya. Buwara adalah tempat ketika Raden Katuhu baru datang ke Wirasaba. Dalam bayangan saya, mestinya jaraknya tidak jauh. Masih dalam kecamatan yang sama, Bukateja.

Saya pun mencarinya di google. Dengan mengetik: Desa Buwara, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Ternyata tidak ketemu.

Saya ganti kata kunci: Makam Ki Ageng Buwara. Tidak ketemu juga.

Saya ganti kata lag: Petilasan Ki Ageng Buwara. Tak ada juga.

Lama saya tidak melakukan pencarian Buwara, karena tidak terlacak jejaknya di internet. Hanya saja, setiap teman yang asalnya Purbalingga selalu saya tanya.

Sambil mencari Buwara juga, saya berkeliling Purbalingga untuk mencari Toyareka, Senon, Pamerden, dan Pakiringan.

Saya mencari Toyareka karena di tempat itulah Demang Toyareka bermukim. Sosok yang terlibat menjadi penyebab kematian Adipati Warga Hutama I. Saya mencari Senon dan Pamerden karena dua wilayah itu menjadi hak anak-anak Warga Utama I, setelah wilayahnya dibagi empat. Dan, saya mencari Pakiringan karena Adipati Warga Hutama I dimakamkan di tempat itu. Satu-satunya adipati Wirasaba yang makamnya tidak di Wirasaba.

Dengan pencarian yang lama, setelah saya menemukan Toyareka, Senon, Pamerden, dan Pakiringan, barulah saya menemukan Buwara.

Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan, desa Buwara menjadi pembuka masuknya tokoh utama, Raden Katuhu. Sosok yang menjadi penanda perubahan kekuasaan di Wirasaba. Kekuasaan dari trah Raden Paguwan ke trah Majapahit.

Namun untuk mencarinya ternyata sulitnya minta ampun. Butuh satu tahun untuk sekadar menemukan letak Buwara.

Karena ternyata, Buwara bukan berubah menjadi nama desa seperti Wirasaba. Buwara sekarang menjadi sebuah dusun kecil. Masuk dalam wilayah desa Majatengah, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga.

Namun, ketika saya datang ke dusun Buwara, berkeliling bertanya tentang keberadaan makam Ki Ageng Buwara, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Justru setiap saya bertanya, “Di mana makam Buwara?”, selalu dijawab dengan pertanyaan, “Mencari Daryo, ya?”

Saya pun penasaran dengan jawaban itu. Saya menggeleng, saya jawab, “Saya mencari makam Ki Ageng Buwara.”

Semua yang saya tanya tak ada yang mengetahuinya. Seolah jejak pembuka dusun Buwara sudah hilang dari ingatan masyarakatnya.

Akhirnya, daripada tidak menemukan apapun setelah lama dan juah-jauh mencari Buwara, saya bertanya, “Di manakah makam tua Buwara?”

Dalam bayangan saya, makam paling tua di desa tersebut, mestinya makam tempat Ki Ageng Buwara dimakamkan. Bisa jadi makam tua itu tidak lagi dikenali siapa tokoh yang dimakamkan. Namun biasanya makam-makam tua masih dikeramatkan.

Saya pun kemudian datang ke makam dusun Buwara. Berkeliling desa dengan jalan tanah berbatu dan becek habis hujan. Masuk lorong-lorong kampung hingga ke ujung desa. Sampailah di makam tua Buwara.

Saya berkeliling pemakaman, mencari nisan yang paling tua. Ternyata memang tidak ada. Tak ada kuburan tua di makam tersebut.

Yang saya temukan justru sebuah makam yang dihuni oleh orang gila. Terdapat banyak sampah botol yang ditata di atas pusara menjadi tempat tidurnya. Seorang lelaki setengah baya berkaos logo partai, dengan wajah selalu tersenyum, dan rokok menempel di bibirnya. Saya lihat ada empat orang sedang berbincang bersamanya.

Pada mereka saya sampaikan maksud kedatangan saya. Mencari makam Ki Ageng Buwara.

Mereka malah balik bertanya pada saya, “Ki Ageng Buwara apa Ki Ageng Daryo?”

Dari pertanyaan tersebut saya jadi tahu, bahwa laki-laki gila yang menempati kuburan tua itulah yang bernama Daryo. Sosok yang sejak saya masuk desa Majatengah, selalu disebut namanya oleh semua warga yang ditanya.

Ternyata, Daryo dianggap orang pintar oleh orang-orang dari luar desa. Hingga setiap hari banyak orang datang ke makam tua Buwara. Dengan satu tujuan yang sama. Meminta nomor togel!

BABAD BANYUMAS 28: Bangga Bahagia Ki Ageng Buwara

Standar
Mengapa Ki Ageng Buwara bahagia Raden Katuhu jadi Adipati Wirasaba?

Dalam buku “Inti Silsilah dan Sedjrah Banyumas” dicatat, Pangeran Pujangga mempunyai anak sulung bernama Raden Paguwan dan anak bungsu bernama Ki Ageng Buwara.

Raden Paguwan kemudian menjadi Adipati Wirasaba pertama. Sementara Ki Ageng Buwara menetap di desa Buwara, menjadi seorang petani dengan ladang yang luas.

Ki Ageng Buwara mempunyai seorang anak laki-laki yang melanjutkan kepemimpinan di desa Buwara. Namanya mengikuti sang ayah, disebut Ki Ageng Buwara juga.

Ki Ageng Buwara II mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Rara Westi. Menikah dengan anak Raden Paguwan, yakni Raden Urang, yang menjadi Adipati Wirasaba kedua.

Dari pernikahan itu lahirlah Raden Bagus Surawinata. Lebih dikenal dengan nama Raden Surawin, yang menjadi Adipati Wirasaba ketiga. Adipati ketiga inilah yang kemudian mengangkat anak Raden Katuhu, hingga akhirnya menggantikan menjadi Adipati Wirasaba keempat.

Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan dikisahkan awal mula kedatangan Raden Katuhu di Wirasaba. Setelah lama terlunta-lunta kemudian sampailah di desa Buwara, menumpang hidup pada Ki Ageng Buwara.

Dalam tembang Maskumambang ditulis: “Pan kalunta-lunta prapteng talatah ing Nagari Wirasaba, ing Buwara kang den jogi, ngenger Ki Gede Buwara.”

Setiap hari Raden Katuhu diajak ke ladang membantu pekerjaan orang tuanya, menebang kayu di hutan. Setiap sore Raden Katuhu tidak mau diajak pulang bersama ayah angkatnya. Hingga Ki Ageng Buwara penasaran apa yang dilakukan sang anak.

Kejadian pada suatu sore hari, ketika Raden Katuhu masuk dalam api dan keluar dengan wajah bercahaya itulah yang membuat Ki Ageng Buwara melaporkan pada menantunya, Adipati Wira Hutama II, atau Raden Surawin.

Karena kesaktian itu Raden Katuhu diangkat anak juga oleh Adipati Wirasaba. Kemudian diberi kepercayaan mewakilinya datang ke Majapahit untuk mengirimkan upeti. Lalu, mendapat restu dari Raja Majapahit untuk menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Marga Hutama.

Ketika pulang dari Majapahit, Raden Katuhu langsung menghadap dua ayah angkatnya. Menyembah pada Adipati Wira Hutama II dan Ki Ageng Buwara. Ki Ageng Buwara duduk di sebelah anak angkatnya yang sudah menjadi adipati, menggantikan menantunya.

Babad Banyumas Mertadiredjan mencatatnya dalam tembang Asmarandana yang melambangkan kebahagiaan.

“Ki Ageng Buwara linggih, lan Dipati Martahutama, Ki Paguwan pasrah kabeh, sarupane bocah ing wang, kabeh wong Wirasaba, padha ngidhepa sadarum, ing maring anakingwang.”

Ki Ageng Buwara duduk di sebelah Adipati Marga Hutama. Ki Paguwan kemudian menyerahkan semuanya kepada anak angkatnya. Disampaikan pada seluruh rakyat agar tunduk patuh pada sang anak, Raden Katuhu.

“Ki Ageng Buwara linggih, kalawan dipati enggal, sakala lipur galihe.”

Ki Ageng Buwara duduk di sebelah Adipati Marga Hutama. Bahagia dan bangga hatinya.

Ki Ageng Buwara bangga dan bahagia karena ternyata anak angkatnya adalah keturunan Majapahit. Anak Raden Baribin, cucu Prabu Brakumara, raja besar Majapahit.

BABAD BANYUMAS 27: Di Mana Wirasaba?

Standar

Nama Wirasaba sudah saya dengar sejak belia. Sejak pertama menyaksikan ketoprak tobong dengan lakon “Geger Wirasaba” yang dilanjut “Jaka Kaiman Winisuda”.

Dulu, dua lakon itu digelar bergantian di balai desa kampungku. Hari pertama “Geger Wirasaba” yang mengisahkan kematian Adipati Wirasaba, Warga Utama I. Hari kedua “Jaka Kaiman Winisuda” yang mengisahkan Jaka Kaiman diangkat menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Warga Utama II.

Lama mengendap dalam ingatan nama Wirasaba itu. Namun sampai usia dewasa saya tak pernah tahu di mana letaknya. Mungkin karena parahnya kuper saya. Hanya lamat-lamat dengar orang bilang kalau Wirasaba di Kabupaten Purbalingga. Tapi daerah mana, tidak tahu juga.

Padahal Wirasaba adalah asal mula adanya Banyumas. Wilayah penting dalam kekuasaan di Jawa sejak jaman Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram. Maka semua naskah Babad Banyumas memulai kisahnya dengan keberadaan Wirasaba.

Ing Wirasaba ngriku wonten bupatinipun ajejuluk Adipati Paguwan utawi Wira Utama. Di Wirasaba adipatinya bernama Adipati Paguwan dengan gelarnya Adipati Wira Hutama.

Begitulah Wirasaba pertama disebut dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan.

Urutan adipatinya berbeda dengan yang tertulis dalam Babad Banyumas Mertadiredjan. Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan, Raden Katuhu diangkat anak oleh Adipati Wirasaba yang bernama Adipati Wira Hutama II, yakni Raden Surawin. Sementara dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan, yang mengangkat anak adalah Adipati Wirasaba pertama, yakni Raden Paguwan atau Adipati Wira Hudaya.

Karena kesaktiannya Raden Katuhu diangkat anak oleh Adipati Wira Hutama II. Karena kesetiaannya lalu diambil menantu, dinikahkan dengan putri tunggalnya, Rara Mukatimah. Akhirnya, menjadi penggantinya sebagai Adipati Wirasaba dengan gelar Marga Utama.

Babad Banyumas Wirjaatmadjan menceritakan secara berturut-turut yang menjadi adipati Wirasaba adalah keturunan Katuhu. Setelah Raden Katuhu meninggal, yang menggantikan adalah anaknya, Raden Urang, bergelar Wira Utama II. Setelah Raden Urang meninggal, digantikan oleh anaknya, Raden Surawin, bergelar Wira Utama III.

Setelah Raden Surawin meninggal yang menggantikan adalah anaknya, Raden Tambangan, bergelar Sura Utama. Setelah Raden Tambangan meninggal digantikan anaknya, Raden Suwarga, dengan gelar Warga Utama.

Adipati Warga Utama inilah yang kisah kematiannya diangkat dalam lakon ketoprak “Geger Wirasaba”. Kisah salah paham dalam keputusan Joko Tingkir hingga Adipati Warga Utama harus mati terbunuh tanpa kesalahan.

Setelah Warga Utama meninggal, yang menggantikan bukan anaknya, melainkan menantunya, yakni Raden Jaka Kaiman. Demi menghormati mertuanya, gelarnya sama, Warga Utama II. Peristiwa inilah yang diangkat dalam lakon ketoprak “Jaka Kaiman Winisuda”.

Gelar yang sama untuk melanjutkan dalam khazanah Jawa disebut dengan nunggak semi. Sebuah lambang dari akar yang sudah ditebang pohonnya, bersemi kembali bagian batangnya. Semacam menghidupkan kembali atau penerusan generasi. Jaka Kaiman memakai gelar yang sama dengan mertuanya sebagai usaha bahwa dia berhak atas takhta Wirasaba. Bahwa pada hakikatnya meski hanya menantu, namun tidak ada perbedaan, karena memakai gelar yang sama.

Hanya saja, setelah dilantik menjadi Adipati Wirasaba, Jaka Kaiman tidak berkenan menempati Wirasaba. Alasan klasik Jawa adalah karena adipati sebelumnya sudah terbunuh, maka agar Wirasaba terus jaya kadipaten harus dipindah.

Sementara bekas Kadipaten Wirasaba diberikan pada iparnya. Adik istrinya, yang bernama Raden Warga Wijaya. Anak laki-laki yang memang sejak semula disiapkan sang ayah menjadi penggantinya. Namun hal itu tidak terjadi, karena tidak berani datang ke Pajang setelah kematian ayahnya.

Sementara Jaka Kaiman, yang hanya menantu, justru berani menghadap pada Joko Tingkir. Karena keberaniannya itulah Jaka Kaiman dilantik menjadi Adipati Wirasaba.

Pada masanya, dulu kala, 500-an tahun lalu Wirasaba adalah sebuah kadipaten besar, membentang luas wilayahnya. Dalam Babad Banyumas Meradiredjan tertulis batas sebelah timur adalah Gunung Sumbing dan batas sebelah barat adalah Karawang. Mangetane ardi Sumbing, kang kulon wangkid Karawang.

Batas timur Gunung Sumbing adalah wilayah yang sekarang membentang mencakup Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Sementara batas baratnya adalah Karawang yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang di Jawa Barat. Wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Bekasi, Subang, Purwakarta, dan Cianjur.

Betapa luas wilayah Wirasaba sebagai kadipaten paling barat dari kekuasaan Majapahit pada masanya.

Namun, setelah pemerintahan pindah ke Kejawar, mereduplah nama Wirasaba. Bahkan, ketika Kadipaten Banyumas semakin maju, Wirasaba justru tenggelam.

Hingga Babad Banyumas Wirjaatmadjan menuturkan, Wirasaba sampun boten kacariyos malih awit lajeng namung dados padusunan kewamon. Sementara nama Kadipaten Wirasaba sudah tidak dikenal lagi. Karena hanya menjadi sebuah desa kecil saja.

Sebuah kekuasaan yang besar, yang telah berkuasa selama 105 tahun (1466-1571) dengan kepemimpinan 6 adipati, akhirnya lenyap dari sejarah.

Karena saya sedang belajar Babad Banyumas maka saya melacak keberadaannya.

Dari hasil pencarian di Google saya dapatkan kunci bahwa desa Wirasaba berada di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Saya pun segera meluncur ke sana. Tidak sulit dicari. Tak jauh dari Klampok, Banjarnegara, letaknya.

Saya pun berkeliling ke seluruh desa Wirasaba. Mencari tokoh yang bisa di tanya, di manakan letak bekas Kadipaten Wirasaba. Namun tidak satupun yang bisa menjawab. Juga juru kunci makam para adipati Wirasaba.

Juru kunci itu kemudian memberitahu saya tentang tokoh Wirasaba yang memiliki Babad Wirasaba, yakni Mad Marta. Babad yang disalin oleh pamannya, yaitu Mulyareja, pada tahun 1956. Menurut penelitian Prof. Sugeng Priyadi, dalam buku “Banyumas, Antara Jawa dan Sunda”, babad itu menuliskan tentang silsilah Raden Katuhu sampai Tumenggung Yudanegara. Beliau bertemu Mad Marta pada tahun 1990. Berhasil mengkopi dan mengoleksinya. Menurut beliau, naskahnya berjudul ‘Sejarah Wirasaba’ bukan Babad Wirasaba seperti yang dikatakan juru kunci makam.

Saya datang dan bertemu dengan Mad Marta pada tahun 2020. Kondisinya sudah pikun, dan setiap saat berbicara sendiri. Hingga ketika saya ketuk pintu rumahnya, saya mendengar orang sedang mengobrol. Saya kira di dalam ada dua orang yang tengah saling berbincang. Lama saya tunggu, tak ada yang membukakan pintu.

Sampai tiga kali saya ketuk, tidak juga dibukakan. Sementara orang di dalam masih terdengar asyik berbincang. Saya sudah hampir pulang, karena tidak ada jawaban. Saat hendak membalik badan, pintu dibuka oleh seorang perempuan. Ternyata cucunya Mad Marta. Kemudian dipanggilkan ibunya, anak perempuan Mad Marta. Kami pun berbincang di ruang tamu.

Dari sang anak lah saya tahu keadaan Mad Marta sekarang. Yang setiap hari berbicara sendiri, seperti tengah ngobrol. Hingga tidak mungkin saya tanya tentang apapun, baik tentang babad maupun tentang letak Kadipaten Wirasaba. Karena ingatannya sudah lemah, bahkan hilang.

Menurut Prof. Sugeng Priyadi, dalam bukunya, “Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara”, Mad Marta menyimpan naskah Sejarah Wirasaba salinan Mulyareja, sebagai trah Wirasaba. Mulyareja adalah keturunan keenam Ngabehi Wirasaba. Ayah Mulyareja bernama Mulyadikrama. Mulyadikrama anak dari Wiratirtani. Wiratirtani adak dari Wiracandra. Wiracandra anak dari Wirapada. Wirapada anak dari Wiramantri. Wiramantri adalah Ngabehi Wirasaba, karena menikah dengan anak perempuan Bupati Banyumas, Yudanegara II.

Ketika saya tanya tentang naskah Sejarah Wirasaba tersebut, anak Mad Marta mengatakan bukunya sudah lama dipinjam oleh Dinas Arpusda Kabupaten Purbalingga, namun belum kembali. Jadi walaupun saya bisa bertemu Mad Marta, namun tidak bisa melihat naskah aslinya.

Akan tetapi, pada waktu Pameran Arpusda se Jawa Tengah, kebetulan saya jadi pembicara, saya sempatkan mampir ke stand Arpusda Kabupaten Purbalingga. Atas kebaikan mereka, saya bisa mendapatkan bukunya. Buku Sejarah Wirasaba yang sudah dicetak. Hasil dari pelatinan naskah yang aslinya berhuruf Jawa. Judulnya “Turunan Sejarah Wirasaba”. Sayang, nama sang penyalin dan penyimpannya, yakni Mulyareja dan Mad Marta, sama sekali tak disebut dalam buku.

Setelah tiga kali datang dan tidak menemukan Kadipaten Wirasaba, saya cukupkan pencarian. Saya cukupkan dengan memiliki buku Sejarah Wirasaba saja.

BABAD BANYUMAS 26: Adipati Wirasaba Trah Paguwan

Standar

Sama seperti Raden Baribin, bangsawan Majapahit yang kemudian menikah dengan putri Pajajaran, Ratna Pamekas, ternyata demikian juga dengan Raden Paguwan.

Adipati Wirasaba pertama tersebut menikah dengan putri Pakuwan Parahyangan juga. Istrinya adalah putri dari Prabu Mundingkawati dari Kerajaan Cirindangbarang Sidamar.

Konon, sebagai menantu kesayangan, Raden Paguwan kemudian mendapat pusaka seperangkat gamelan “Gongso Sledro” yang kemudian menjadi pusaka Kadipaten Wirasaba. Setelah kekuasaan pindah ke Banyumas, gamelan tersebut menjadi pusaka Kadipaten Banyumas. Pada masa Adipati Banyumas, Yudanegara III, menjadi Patih Kesultanan Jogjakarta, gamelan tersebut turut diboyong ke Mataram kemudian diberi nama Kyai Surakwaja.

Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan tidak banyak mengisahkan tentang Raden Paguwan atau yang bergelar Adipati Wira Hudaya. Sebagai Adipati Wirasaba hanya dicatat pada masa akhir kepemimpinannya saja.

Dikisahkan karena sudah merasa tua, ketika mengirimkan upeti ke Majapahit, membawa serta anaknya, Raden Urang.

Pada Patih Majapahit, Raden Paguwan melapor, “Ki Patih, tolong sampaikan penghormatan hamba pada sang raja. Juga upeti hamba tolong sampaikan. Seluruh hasil bumi Wirasaba. Karena hamba sudah tua, bila raja mengijinkan, hamba mengajukan anak hamba, Raden Urang, untuk menggantikan bertakhta di Wirasaba. Hamba ingin turun taktha.”

Keinginan tersebut kemudian dikabulkan Raja Majapahit. Sang raja berkata pada patihnya, “Baiklah, saya terima keinginan Adipati Wirasaba. Saya kabulkan permohonannya. Saya akan angkat anaknya menjadi adipati bergelar Adipati Kaurang. Bertaktha di Wirasaba.”

Sesampai di Wirasaba, keputusan dari Majapahit disampaikan kepada seluruh kerabatnya.

Raden Paguwan berkata, “Wahai seluruh saudara saya, seluruh keluarga besar saya. Saksikanlah oleh kalian semua. Bahwa anak saya yang bernama Raden Urang, atas perintah dari sang Prabu Brawijaya telah diangkat menjadi Adipati di Wirasaba. Gelarnya adalah Adipati Kaurang.”

Dicatat dalam Babad Banyumas, semua keluarga menyambut pelantikan itu. Semua serempak menjawab setuju. Semua senang mendengarnya. Kemudian digelar perayaan semalam suntuk lamanya. Rakyat Wirasaba menyambutnya. Menaati penuh penghormatan.

Dikisahkan  kesejahteraan rakyat Kadipaten Wirasaba terjamin selama kepemimpinan Adipati Kaurang. Sampai akhirnya Raden Paguwan meninggal dan dimakamkan di Wirasaba.

Babad Banyumas melanjukan catatannya. Bahwa Adipati Kaurang mempunyai dua orang anak. Anak pertama adalah Raden Bagus Surawin, dari permaisuri. Sedangkan dari selir adalah Raden Bagus Buwang.

Setelah lama berkuasa menjadi Adipati Wirasaba kemudian Adipati Kaurang meninggal. Dimakamkan di Wirasaba. Sang anak, Raden Bagus Surawin menghadap ke Majapahit mengantarkan upeti.

Sesampai di Majapahit yang dituju adalah kediaman Ki Patih.

Bagus Surawin menyembah, “Hamba membawa kabar bahwa ayahanda sudah meninggal. Juga mengantarkan upeti, semoga sudi menerima seluruh hasil bumi Wirasaba.”

Seperti penggantian kekuasaan sebelumnya, Raja Majapahit memberikan restunya. Raden Bagus Surawin menjadi Adipati Wirasaba. Bergelar sama dengan ayahnya, Wira Hutama II.

Dicatat dalam Babad Banyumas, Raja Majapahit yang melantik Raden Bagus Surawin pada waktu itu adalah Prabu Ardiwijaya. Karena Prabu Brakumara sudah meninggal dunia karena tua.

Prabu Brakumara adalah ayah dari Prabu Ardiwijaya dan Raden Baribin.

Raden Bagus Surawin atau Adipati Wira Hutama II inilah yang kemudian mengangkat anak Raden Katuhu, putra Raden Baribin.

Dalam Babad Banyumas semua adipati Wirasaba ditulis dengan sebutan Ki Paguwan. Baik Raden Paguwan sabagai Adipati Wirasaba I, Raden Urang sebagai Adipati Wirasaba II, maupun Raden Surawin sebagai Adipati Wirasaba III. Karena mereka memang trah Paguwan yang dimungkinkan dari Bhre Paguhan.

Raden Katuhu lah yang memotong trah Paguwan tersebut. Ia menjadi Adipati Wirasaba bukan karena keturunan Raden Paguwan. Melainkan sebagai bangsawan Majapahit yang mendapat restu dari kerajaan langsung. Sebagai anak Raden Baribin, keponakan Raja Majapahit, Prabu Ardiwijaya.

Setelah Raden Katuhu menjadi Adipati Wirasaba IV, Raden Surawin atau Wira Hutama II menyingkir dari kadipaten. Menetap di utara kadipaten, pada sebuah dusun bernama Kecepit.

Setelah meninggal, mengikuti ayah dan kakeknya, dimakamkan juga di Pekuncen, Wirasaba.

BABAD BANYUMAS 25: Paguhan Paguwan

Standar
Apakah Paguwan dari Paguhan?

Konon, Paguwan berasal dari kata Paguhan. Sebuah wilayah yang tercatat sebagai bawahan Majapahit dengan penguasanya bernama Bhre Paguhan.

Menurut Kitab Pararaton, daerah jabatan pada masa Majapahit tersebut adalah Bhre Paguhan, Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Pamotan, Bhre Pajang, Bhre Tumapel, Bhre Kabalan, Bhre Daha, dan Bhre Kahuripan.

Dari naskah kopian yang pernah saya baca, naskah berjudul “Babad Nagari Banyumas Wiwit Saking Pandhita Putra ing Pajajaran” menuliskan bahwa kota Purwokerto berasal dari desa bernama Paguwan.

Dalam Babad Banyumas dikisahkan bahwa Adipati Wirasaba pertama bernama Raden Paguwan. Namun hanya dikisahkan begitu saja, tanpa keterangan silsilahnya. Maka, setelah membaca Babad Banyumas saya kemudian menelisik semua tokoh yang tertulis di dalamnya. Tentu saja termasuk Raden Paguwan.

Saya menemukan siapa sebenarnya tokoh Raden Paguwan pada buku “Inti Silsilah dan Sedjarah Banyumas” susunan Brotodiredjo dan Ngatidjo. Dalam buku terbitan tahun 1969 itu dituturkan bahwa Raden Paguwan bernama asli Sayid Abu Ismanapi. Nama Raden Paguwan diambil dari tempat bermukimnya, yakni desa Paguwan.

Pada buku tua itu dituliskan juga silsilah leluhur Raden Paguwan. Konon, Raden Paguwan adalah anak dari Pangeran Pujangga yang benama asli Sayid Ismanapi Attas bin Jamnga.

Dikisahkan Sayid Ismanapi bin Jamnga sepulang dari Makkah kemudian menetap di Cirebon. Menjadi menantu Sultan Lusmanakit Jadil Attas Al Akbar dari negeri Modang Parahyangan atau Medang Kamulan. Setelah sang mertua wafat, kemudian menggantikan menjadi raja dengan gelar Sultan Modang.

Sayid Ismanapi mempunyai 8 orang anak. Sayid Abu Ismanapi atau Raden Paguwan adalah anak pertama. Tokoh yang kemudian menjadi Adipati Wirasaba pertama. Sedangkan adiknya adalah Sayid Abu Ismanapi Attas, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Ronggo Sidayu karena bermukm di Sidayu. Adiknya lagi perempuan, Syarifah Nyai Magora, Syarifah Nyai Banyupakis, Syarifah Nyai Ageng Donan, Syarifah Nyai Ageng Awu-awu, dan Syarifah Nyai Ageng Tinebah. Adik bungsunya bernama Sayid Abu Buwara yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Ageng Buwaran karena bermukim di desa Buwara.

Buku itu juga menuturkan tentang kakek Raden Paguwan yang ternyata adalah Sunan Ampel. Jadi Adipati Wirasaba pertama adalah cucu dari ulama besar Tanah Jawa yang termasuk Walisongo.

Selain menikah dengan Nyai Ageng Manila, Sunan Ampel juga menikah dengan putri Sunan Atas Angin II, yang sebelumnya bernama Raden Haryo Hiang Margana, putra dari Sri Prabu Harja Kusuma.

Dari pernikahan tersebut Sunan Ampel mempunyai 4 anak. Ayah Raden Paguwan, yakni Sayid Ismanapi Attas adalah anak nomor dua. Jadi ayah Raden Paguwan adalah adik dari  Sayid Makdum Attas yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang karena berdiam di desa Bonang. Ayah Raden Paguwan adalah kakak dari Sayid Dahrunapi Attas yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Drajat karena bermukim di desa Drajat.

Saya beruntung setelah membaca Babad Banyumas menemukan buku tua itu di loakan. Buku bersampul hijau muda yang disusun oleh buyut pemilik Babad Banyumas. Ya, salah satu penyusun buku “Inti Silsilah dan Sedjarah Banyumas” adalah Raden Brotodirejo, buyut Mertadiredja III.

Lebih berkesan lagi ketika saya membuka halaman pertama buku bekas itu. Ttertulis nama pemilik buku yang juga masih trah Adipati Banyumas. Yakni Raden Soejadi Amoedikoesomo. Dalam catatannya yang ditulis tangan sebagai coretan dalam buku tersebut, ternyata beliau masih keturunan Adipati Banyumas, Tumenggung Yudanegara III.

Dari buku itulah saya jadi tahu, ternyata leluhur Banyumas adalah cucu Sunan Ampel. Sekaligus seorang bangsawan Majapahit, karena Paguwan atau Paguhan adalah salah satu bawahan Majapahit.

BABAD BANYUMAS 24: Raden Katuhu Marga Utama

Standar
Mengapa Raden Katuhu bergelar Marga Utama?

Mengapa Ki Buwang menghadang kepulangan Raden Katuhu ke Wirasaba?

Karena Adipati Wirasaba sakit, maka mewakilkan anak angkatnya, Raden Katuhu, untuk mengirim upeti ke Majapahit. Tidak disangka, kedatangannya ke Majapahit menjadi jalan pertemuan dengan Raja Mapapahit, yang tak lain adalah kakak ayahnya. Maka, peristiwa itu adalah sebuah pertemuan yang membahagiakan.

Dalam bahasa Jawa, marga berarti jalan, dan membahagiakan merupakan hal yang utama. Karena itu Raden Katuhu diangkat menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Marga Utama.

Kadipaten Wirasaba didirikan oleh Raden Paguwan. Ia menjadi adipati Wirasaba pertama bergelar Wira Hudaya. Dalam Babad Banyumas kisah pergantian kepemimpian selalu dikaitkan dengan pengiriman upeti ke Majapahit.

Sama seperti kedatangan Raden Katuhu yang mewakili ayah angkatnya ke Majapahit. Begitupun dengan pengganti Adipati Wira Hudaya pada masa sebelumnya. Kala itu sang adipati Wirasaba, Raden Paguwan atau Adipati Wira Hudaya, datang mengirim upeti ke Majapahit. Sang anak, Raden Urang dibawa serta.

Karena usia yang sudah tua, Adipati Wira Hudaya berniat mengundurkan diri sebagai Adipati Wirasaba. Kedudukannya akan digantikan oleh anaknya. Hal tersebut dilaporkan para Raja Majapahit. Agar mendapatkan pengesahan serta gelar.

Maka demikianlah yang terjadi. Raden Urang menggantikan sang ayah menjadi Adipati Wirasaba kedua dengan gelar Adipati Kaurang. Dalam buku “Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas” karya Brotodiredjo dan Ngatidjo Darmosuwondo, dituliskan bahwa Adipati Kaurang bergelar Wira Hutama.

Adipati Wira Hutama mempunyai dua orang anak. Dari permaisuri mempunyai anak bernama Raden Surawin. Sedangkan dari istri selir bernama Raden Bagus Buwang.

Setelah lama berkuasa menjadi Adipati Wirasaba, Raden Kaurang atau Adipati Wira Hutama, meninggal dunia. Akhirnya yang mengantarkan upeti ke Majapahit adalah anaknya, Raden Surawin. Sekalian meminta ijin menggantikan sang ayah menjadi Adipati Wirasaba ketiga. Raden Surawin kemudian dilantik oleh Raja Majapahit dengan gelar yang sama dengan sang ayah, Adipati Wira Hutama II.

Adipati Wira Hutama II inilah yang kemudian digantikan oleh Raden Katuhu sebagai Adipati Wirasaba. Namun, pengangkatan yang dilakukan Raja Majapahit ternyata menimbulkan perasaan iri dari adik Wira Hutama II. Yaitu adik dari istri selir yang bernama Raden Bagus Buwang atau yang kemudian dalam Babad Banyumas disebut dengan nama Ki Buwang.

Dengan pengangkatan Raden Katuhu, yang bukan keturunan Raden Paguwan, dianggap akan menghapus trah Paguwan sebagai penguasa Wirasaba. Raden Katuhu adalah orang luar, pendatang, yang kemudian diangkat anak oleh Adipati Wirasaba.

Sebagai anak dari istri selir, Ki Buwang merasa hendak kehilangan haknya sebagai keturunan trah Paguwan. Karena itu, dalam Babad Banyumas dikisahkan, sepulang dari Majapahit, ketika sampai di Pegunungan Sumbing, Ki Buwang meminta ijin pada Raden Katuhu untuk pulang mendahului ke Wirasaba.

Ternyata, kepulangan lebih dulu itu untuk menyampaikan kabar bohong pada kakaknya, Adipati Wira Hutama II. Dikatakan bahwa Raden Katuhu telah menyalahi janji dan kepercayaannya. Tidak sekadar mengirimkan upeti, namun meminta kedudukan pada Raja Majapahit. Hingga Adipati Wira Hutama II diberhentikan sebagai Adipati Wirasaba. Digantikan oleh Raden Katuhu dengan gelar Adipati Marga Utama.

Bahkan, Ki Buwang menakut-nakuti sang kakak, dengan keputusan tersebut, maka Adipati Wira Hutama II akan dibuang dari Wirasaba.

Terbujuk oleh perkataan adiknya, Adipati Wira Hutama II kemudian menyetujui usul Ki Buwang. Segera mengumpulkan prajurit untuk menghadang kedatangan Raden Katuhu. Sebelum sampai di Wirasaba, rombongan dari Majapahit itu akan diserang.

Akhirnya terjadilah peperangan di Palet. Ki Buwang memimpin pasukan menyerang rombongan Raden Katuhu. Ki Buwang mengamuk dalam peperangan itu. Dengan keris kecilnya membabi buta membantai rombongan yang datang.

Raden Katuhu kaget dengan tindakan Ki Buwang yang terus membunuh siapa saja yang mendekatinya. Akhirnya, Raden Katuhu atau Adipati Marga Utama, mengeluarkan pusaka Kyai Jimat. Pusaka warisan ayahnya, Raden Baribin, yang sama persis dengan keris milik Raja Majapahit.

Dengan keris itu Ki Buwang berhasil dilumpuhkan. Ki Buwang tertikam keris pada lambung kirinya. Melihat ayahnya mati, Bagus Kasan, anak Ki Buwang, menyabet Raden Katuhu dengan pedang. Namun dibalas dengan tusukan keris lagi oleh Raden Katuhu. Terkena juga pada lambung kirinya. Mati seketika seperti ayahnya. Ayah dan anak dikuburkan bersamaan.

Raden Katuhu melanjutkan perjalanan pulang ke Wirasaba. Adipati Wira Hutama II sudah agak sembuh dari sakitnya. Diceritakanlah kejadian yang sesungguhnya. Hingga Adipati Wirasaba ketiga itu pun menerima keputusan dari Majapahit.

Raden Katuhu kemudian menjadi Adipati Wirasaba keempat. Adipati Wira Hutama II dikisahkan pamitan keluar dari kadipaten, membuka lahan di luar wilayah dengan bertani. Bertempat di utara Wirasaba, di dukuh Pakembangan. Berdiam dan berkebun di sana. Sampai kemudian meninggal dan dimakamkan di tempat tersebut.

Saya pun berziarah ke makam tersebut. Makam yang dulunya merupakan kebun tempat Adipati Wira Hutama II bercocok tanam mengisi hari tua. Pada makam bernama Kecepit itu, saya mendapati ayah dan anak angkatnya berdampingan. Makam Wira Hutama II dan makam Marga Utama alias Raden Katuhu.