BABAD BANYUMAS 29: Dari Wirasaba Ke Buwara

Standar
Ada apa dengan Buwara?

Ki Ageng Buwara adalah adik bungsu Raden Paguwan, adipati pertama Wirasaba.

Kemungkinan dari nama Ki Ageng Buwara, sebagai pemimpin desa itulah maka desanya disebut dengan Buwara. Karena nama aslinya adalah Kyai Sayid Abu Buwara. Bukan seperti yang lain, karena menetap di desa Buwara kemudian bernama Ki Ageng Buwara.

Saya membayangkan jarak Buwara dan Wirasaba mestinya tidak jauh. Karena anak Ki Ageng Buwara II menjadi menantu adipati Wirasaba, Raden Paguwan. Menantunya tersebut, Raden Urang, kemudian menjadi adipati Wirasaba kedua.

Saya pun mencari keberadaan Wirasaba dan Buwara. Bagi saya ini penting, karena saya butuh meyakinkan diri bahwa semua yang tercatat dalam Babad Banyumas ada faktanya. Bukan sekadar dongengan belaka. Hingga semua nama saya telusuri sejarah dan petilasannya. Semua tempat saya datangi untuk dilacak sejarahnya.

Pencarian yang pertama, tentu saja adalah Wirasaba. Dengan bertanya pada Mbah Gugel, maka saya mencari letak Wirasaba berada.

Setelah yakin bahwa sekarang menjadi sebuah desa di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, saya langsung mencarinya.

Ternyata memang betul di Kecamatan Bukateja terdapat desa bernama Wirasaba. Sebuah desa kecil di tepian sungai Serayu yang mengalir dari arah timur. Di desa tersebut sekarang berdiri Bandara Jenderal Soedirman. Karena letaknya di desa Wirasaba lebih dikenal dengan nama Bandara Wirasaba.

Saya datang dari arah Banyumas, ke timur, lurus, lewat Klampok, Banjarnegara. Kemudian berbelok ke kiri, menyeberangi Sungai Serayu, ke arah Purbalingga. Pada sebuah perempatan, saya belok kiri mengikuti jalan utama ke arah Bandara Wirasaba.

Masuk area bandara, menelusur jalan di sebelah bandara, sampailah di perempatan kecil. Tak ada papan nama besar sebagai tanda bahwa dulu kala, lima abad silam, pernah ada kekuasaan besar di Wirasaba. Saya hampir kebablasan kalau tidak jeli melihat penanda yang hanya kecil saja terpancang di pagar bandara. Penanda menuju arah makam para adipati Wirasaba.

Pada makam yang berada di tepian sungai Serayu itulah saya mendapati semua adipati Wirasaba. Berjajar dari kiri ke kanan seusai urutan. Sebelah kiri adalah makam adipati pertama Wirasaba, Raden Paguwan, atau Adipati Wira Hudaya. Kemudian sebelah kanannya, makam penggantinya, adipati Wirasaba kedua, Raden Urang, atau Adipati Wira Utama I. Lalu makam adipati Wirasaba ketiga, Raden Bagus Surawin, atau Adipati Wira Utama II. Juga makam Raden Katuhu, yang menjadi adipati Wirasaba keempat, atau Adipati Marga Utama.

Pada juru kunci makam saya bertanya, di manakah letak pusat pemerintahan Kadipaten Wirasaba dulunya. Namun juru kunci makam hanya menggelengkan kepala. Katanya sudah tidak jelas bekasnya. Tidak tahu di mana tempatnya. Hanya tinggal menyisakan makam saja. Makam tua yang konon dipugar oleh pihak Bandara Wirasaba.

Setelah menemukan Wirasaba, saya mencari keberadaan Buwara. Wirasaba adalah kadipaten tempat Raden Katuhu pernah menjadi adipatinya. Buwara adalah tempat ketika Raden Katuhu baru datang ke Wirasaba. Dalam bayangan saya, mestinya jaraknya tidak jauh. Masih dalam kecamatan yang sama, Bukateja.

Saya pun mencarinya di google. Dengan mengetik: Desa Buwara, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Ternyata tidak ketemu.

Saya ganti kata kunci: Makam Ki Ageng Buwara. Tidak ketemu juga.

Saya ganti kata lag: Petilasan Ki Ageng Buwara. Tak ada juga.

Lama saya tidak melakukan pencarian Buwara, karena tidak terlacak jejaknya di internet. Hanya saja, setiap teman yang asalnya Purbalingga selalu saya tanya.

Sambil mencari Buwara juga, saya berkeliling Purbalingga untuk mencari Toyareka, Senon, Pamerden, dan Pakiringan.

Saya mencari Toyareka karena di tempat itulah Demang Toyareka bermukim. Sosok yang terlibat menjadi penyebab kematian Adipati Warga Hutama I. Saya mencari Senon dan Pamerden karena dua wilayah itu menjadi hak anak-anak Warga Utama I, setelah wilayahnya dibagi empat. Dan, saya mencari Pakiringan karena Adipati Warga Hutama I dimakamkan di tempat itu. Satu-satunya adipati Wirasaba yang makamnya tidak di Wirasaba.

Dengan pencarian yang lama, setelah saya menemukan Toyareka, Senon, Pamerden, dan Pakiringan, barulah saya menemukan Buwara.

Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan, desa Buwara menjadi pembuka masuknya tokoh utama, Raden Katuhu. Sosok yang menjadi penanda perubahan kekuasaan di Wirasaba. Kekuasaan dari trah Raden Paguwan ke trah Majapahit.

Namun untuk mencarinya ternyata sulitnya minta ampun. Butuh satu tahun untuk sekadar menemukan letak Buwara.

Karena ternyata, Buwara bukan berubah menjadi nama desa seperti Wirasaba. Buwara sekarang menjadi sebuah dusun kecil. Masuk dalam wilayah desa Majatengah, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga.

Namun, ketika saya datang ke dusun Buwara, berkeliling bertanya tentang keberadaan makam Ki Ageng Buwara, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Justru setiap saya bertanya, “Di mana makam Buwara?”, selalu dijawab dengan pertanyaan, “Mencari Daryo, ya?”

Saya pun penasaran dengan jawaban itu. Saya menggeleng, saya jawab, “Saya mencari makam Ki Ageng Buwara.”

Semua yang saya tanya tak ada yang mengetahuinya. Seolah jejak pembuka dusun Buwara sudah hilang dari ingatan masyarakatnya.

Akhirnya, daripada tidak menemukan apapun setelah lama dan juah-jauh mencari Buwara, saya bertanya, “Di manakah makam tua Buwara?”

Dalam bayangan saya, makam paling tua di desa tersebut, mestinya makam tempat Ki Ageng Buwara dimakamkan. Bisa jadi makam tua itu tidak lagi dikenali siapa tokoh yang dimakamkan. Namun biasanya makam-makam tua masih dikeramatkan.

Saya pun kemudian datang ke makam dusun Buwara. Berkeliling desa dengan jalan tanah berbatu dan becek habis hujan. Masuk lorong-lorong kampung hingga ke ujung desa. Sampailah di makam tua Buwara.

Saya berkeliling pemakaman, mencari nisan yang paling tua. Ternyata memang tidak ada. Tak ada kuburan tua di makam tersebut.

Yang saya temukan justru sebuah makam yang dihuni oleh orang gila. Terdapat banyak sampah botol yang ditata di atas pusara menjadi tempat tidurnya. Seorang lelaki setengah baya berkaos logo partai, dengan wajah selalu tersenyum, dan rokok menempel di bibirnya. Saya lihat ada empat orang sedang berbincang bersamanya.

Pada mereka saya sampaikan maksud kedatangan saya. Mencari makam Ki Ageng Buwara.

Mereka malah balik bertanya pada saya, “Ki Ageng Buwara apa Ki Ageng Daryo?”

Dari pertanyaan tersebut saya jadi tahu, bahwa laki-laki gila yang menempati kuburan tua itulah yang bernama Daryo. Sosok yang sejak saya masuk desa Majatengah, selalu disebut namanya oleh semua warga yang ditanya.

Ternyata, Daryo dianggap orang pintar oleh orang-orang dari luar desa. Hingga setiap hari banyak orang datang ke makam tua Buwara. Dengan satu tujuan yang sama. Meminta nomor togel!

Tinggalkan komentar