Tag Archives: #babadbanyumas #balepustaka #nassirunpurwokartun

BABAD BANYUMAS 33: Pemaknaan Pantangan

Standar
Apa makna yang terkandung dalam pantangan adipati Wirasaba?

“Pepali itu telah menjadi legenda di kalangan masyarakat Banyumas. Pencarian makna pepali tersebut diharapkan dapat mengubah citra pepali sebagai tugu yang mati. Tanda ada pemahaman makna pepali, maka pepali tersebut menjadi vampire yang menakutkan bagi masyarakat pewarisnya.”

Menarik pandangan yang dipaparkan Prof. Sugeng Priyadi dalam buku “Menuju Keemasan Banyumas” tersebut. Buku yang pernah terbit dengan judul “Banyumas, Antara Jawa dan Suna” pada tahun 2002. Kemudian diterbitkan lagi pada tahun 2015 sebagai penanda ulang tahunnya yang ke-50.

Beliau memaparkan pemaknaan pantangan yang disampaikan oleh Adipati Warga Utama I pada keturunannya. Menurutnya, lima pepali tersebut adalah pepali yang sakral dan bukan pelali yang profan. Kelima pepali itu merupakan satu kesatuan yang saling berinteraksi dan memunculkan makna yang utuh.

Saya kutipkan paparan dari buku itu dengan bahasa saya. Saya tidak mengutip secara utuh. Hanya rangkuman saja biar tidak sepanjang naskah aslinya. Namun, bila pembaca ingin mendapatkan penjelasan yang lengkap bisa langsung baca bukunya. Pesan langsung pada beliau.

Pantangan pertama terkait Toyareka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristriwa. Dalam bahasa Jawa, toya atau banyu, artinya air. Dalam klasifikasi mancapat, air berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula, sebagaimana matahari terbit dari timur.

Awal mula kejadin ditandai dengan huruf Jawa ha-na-ca-ra-ka, yang artinya ada utusan. Yakni utusan dari Sultan Pajang yang memerintahkan hukuman mati. Arah timur juga dilambangkan dengan burung kuntul. Orang Jawa sering memakainya dalam peribahasa kuntul diunekake dandang, dandang diunekake kuntul. Peribahasa yang artinya yang baik dikatakan buruk, yang salah dikatakan benar. Peribahasa tersebut mempunyai makna fitnah.

Jadi Toyareka adalah toya atau banyu yang sudah dikotori oleh fitnah. Hingga menjadi air yang tidak suci lagi, yang harus dihindari oleh keturunan Wirasaba.

Pantangan kedua terkait jaran dhawuk bang. Dalam ajaran Astabrata, jaran atau kuda memiliki makna untuk menjauhi nafsu-nafsu yang buruk. Warna dhawuk yang berarti abu-abu melambangkan malapetaka. Sedangkan warna bang yang berarti merah melambangkan kejahatan, nafsu, ketidakteraturan, kehancuran, dan chaos.

Perpaduan dhawuk dan bang memunculkan desa Bener sebagai tempat kejadian. Maknanya, meskipun Adipati Warga Utama I tidak salah, yaitu benar atau dalam bahasa Jawa, bener, tetapi tetap menjadi korban dari fitnah Toyareka. Namun, sang adipati telah menerima dengan ikhlash sebagai takdirnya. Karena itu, hendaknya keturunannya dapat mengendalikan nafsunya (jaran) seperti mengendalikan kuda agar tidak menjadi malapetaka (dhawuk). Mengendalikan diri dari nafsu kejahatan (bang), termasuk balas dendam terhadap Toyareka.

Pantangan ketiga terkait bale malang. Bale malang dibangun untuk menghubungkan dalem sebagai rumah induk dengan pendapa sebagai ruang publik. Jadi fungsi bale malang adalah sebagai jalan dari rumah menuju pendapa. Bale malang adalah bangunan antara. Melambangkan alam antara hidup dan mati, antara dunia nyata dan maya, antara awal dan akhir, dan lain sebagainya. Masa peralihan adalah masa yang penuh krisis dan konflik.

Pantangan keempat terkait Sabtu Pahing. Hari Sabtu pada Saptawarna adalah hari ketujuh. Hari Sabtu disebtuk Sanaiscara dalam kalender Jawa kuno sebagai hari istirahat. Pepali hari Sabtu muncul karena ada perubahan dari Hindu ke Islam. Hari Jumat menggantikan hari Sabtu sebagai hari suci.

Hari Sabtu menempati arah selatan, pasaran Pahing juga menempati arah selatan. Arah selatan melambangkan darah, keturunan ibu, warna merah, dan huruf Jawa da-ta-sa-wa-la karena saling bertikai. Dari garis Ibu, Adipati Warga Utama I adalah turunan ketujuh dari adipati Pasirluhur.

Huruf Jawa da-ta-sa-wa-la menujuk pada perselisihan antara Warga Utama I dengan Demang Toyareka. Perselisihan itu dilanjutkan oleh kesalahpahaman utusan Pajang yang menyebabkan kematian sang adipati. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Yama sebagai dewa kematian menempati arah selatan. Seperti juga hitungan hari Sabtu dan pasaran Pahing.

Pantangan kelima terkait pindang banyak. Banyak atau angsa, dalam ajaran Hindu adalah lambang Dewa Brahma sebagai dewa pencipta. Banyak juga menjadi totem keluarga Warga Utama I. Angsa telah menjadi simbol bersama masyarakat Banyumas terhadap leluhurnya yang berasal dari Pajajaran, yakni Banyak Catra.

Karena itu, makan angsa, selain tidak menghormati binatang totem, juga mematikan atau melupakan Sang Maha Pencipta. Dengan memberikan pepali itu, Warga Utama I sebagai pengejawantahan kesadaran sejarah leluhurnya. Kesadaran itu merupakan peringatan agar tidak mengalami peristiwa naas yang sama.

Sungguh menarik pemaknaan tersebut. Semoga membuka wawasan masyarakat Banyumas untuk tidak sekadar menelan begitu saja larangan tersebut. Namun memahami makna dan kandungan dari lima pepali yang sebetulnya sarat makna.

BABAD BANYUMAS 32: Lima Larangan Anak Keturunan

Standar

Mengapa Adipati Wirasaba mengeluarkan lima larangan?

Apa saja lima pantangan itu?

Dari panggung ketoprak pula saya kemudian mengetahui pantangan yang menjadi pegangan masyarakat Banyumas. Pantangan yang bermula dari ucapan Adipati Warga Utama sebelum meninggal. Larangan atau pepali yang didasarkan pada kejadian kematian yang menimpanya.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan kejadian tersebut dalam tembang Megatruh. Tembang macapat yang sangat tepat menggambarkan kesedihan dan kematian.

Samana kya adipati ngandika mring wadyanipun, padha seksenana sami, ing mbesuk sapungkuringong, anak putu aja kang ngambil mantu, wong ing Toyareka benjing, lan aja nganggo ing besuk, jaran wulu dhawuk abrit, poma ing wawekasingong, lan ywa nganggo bale bapang anak putu, miwah aja mangan sami, pindhang banyak wekas ingsun, aja lunga dina Paing, poma den angatos atos.”

Pada waktu itu, sang adipati berkata kepada para pengiringnya, “Kalian saksikanlah semua. Bahwa kelak setelah saya tidak ada, seluruh keturunanku jangan pernah mengambil menantu orang dari Toyareka. Juga jangan pernah menaiki kuda berrambut merah kelabu. Ingat-ingatlah pesan saya ini. Juga jangan pernah menggunakan balai malang. Juga jangan kalian makan pindang angsa. Setelah saya meninggal, jangan pernah bepergian pada hari pasaran Paing. Tolong perhatikan pesan ini dengan seksama!”

Setelah berpesan demikian sang adipati kemudian meninggal dunia. Seluruh keluarga menangisinya. Bersujud di kakinya. Suara tangisan terdengar bersahutan.

Jadi dari peristiwa itu, Adipati Wirasaba, Adipati Warga Utama memberikan lima pantangan kepada keturunannya.

Pantangan yang pertama adalah jangan mengambil menantu orang Toyareka. Adik Adipati Wirasaba yang bernama Ki Toyareka dianggap menjadi penyebab kematian sang kakak. Perceraian antar anak mereka sudah diputuskan empat bulan silam.

Namun, walau sudah menikah, tapi putri Wirasaba tersebut masih gadis. Karena tidak cinta, mereka tidak pernah melakukan hubungan. Mestinya, hal itu tidak perlu digugat ke Pajang, karena sudah tidak ada hubungan lagi, sudah bukan suami istri lagi.

Akan tetapi Ki Toyareka justru mendukung anaknya, Raden Sukra, untuk menggugat ke Pajang. Hingga Joko Tingkir sebagai sultan Pajang langsung menerima saja laporan itu. Langsung menjatuhkan hukuman mati para Adipati Wirasaba.

Andai saja Ki Toyareka tidak menggugat ke Pajang, kemungkinan besar peristiwa pembunuhan akibat salah paham tersebut tidak akan terjadi. Maka, demi menghindari kejadian yang sama di kemudian hari, sang adipati memberikan pantangan untuk para keturunannya.

Pantangan kedua adalah jangan menaiki kuda dengan rambut merah kehitaman. Karena pada saat berangkat ke Pajang, Adipati Wirasaba menggunakan kuda tersebut. Kuda tunggangan yang dikenal dengan nama Jaran Dawuk Bang.

Saya membaca lanjutan kisah kematian Adipati Wirasaba. Bahwa setelah melihat tuannya meninggal, kuda tunggangan yang setia justru berlari sendiri pulang ke Wirasaba.

Dalam Babad Banyumas dituliskan begini. Ini kembali saya kutip utuh dari terjemahan saya atas tembang Megatruh yang ada.

Kemudian diceritakan kuda sang adipati yang berbulu merah kelabu, mengetahui tuannya meninggal, kemudian memberontak melepaskan tali kekang yang terikat di tambatan hingga lepas.

Kuda tersebut lalu berlari kencang sekali. Pengasuhnya tidak bisa menyusul. Berlari bagaikan seorang manusia, dia bermaksud memberi kabar duka, bahwa tuannya sudah meninggal dunia.

Pengasuhnya tidak dapat mengejarnya. Langkah sang kuda sudah sampai di Wirasaba. Kemudian masuk ke dalam kandangnya sendiri, hingga membuat semua orang kaget melihat kedatangannya yang sendirian.

Melihat kuda tunggangan Adipati Wirasaba pulang sendiri, mereka menduga telah terjadi kecelakaan. Apalagi tak berapa lama kemudian pengasuh kuda menyusulnya. Begitu kencang larinya dalam menyusul.

Setelah ditanyai oleh Nyai Adipati, diceritakan semua yang terjadi. Dari awal hingga akhir. Bahwa kematian sang adipati bermula dari masalah sang putri.

Saya merasa aneh dengan larangan kedua tersebut. Bukankah kuda dhawuk bang adalah kuda yang sangat setia. Bahkan dialah yang pertama memberi kabar kematian tuannya.

Pantangan ketiga adalah jangan membangun rumah dengan bentuk bale malang. Karena kejadian pembunuhan tersebut terjadi di bale malang, ketika sang adipati tengah makan siang.

Pantangan ini sepertinya begitu ditaati. Hingga ketika saya penasaran seperti apa bentuk bale malang  itu, saya tak menemukannya di wilayah Banyumas.

Dari sejarah yang kemudian saya baca, Adipati Banyumas, Yudanegara II pernah melanggar pantangan itu. Entah sengaja atau tidak. Ketika memindah dari ibukota lama ke ibukota baru, ia membuat pendopo Kadipaten Banyumas dengan bentuk bale malang.

Entah ada kaitan atau tidak, sejarah kemudian menuturkan Yudanegara II pernah hampir dibunuh orang ketika sedang tiduran di dalam bale malang pendoponya. Bahkan yang tragis, sang adipati kemudian meninggal mendadak di pendoponya itu. Hingga Yudanegara II pun sampai sekarang dikenal sebagai Yudanegara Seda Pendapa, atau Yudanegara yang meninggal di pendopo.

Pantangan keempat adalah jangan memakan pindang angsa. Karena ketika pembunuhan terjadi, Adipati Wirasaba tengah menikmati masakan itu.

Pantangan ini pun masih ditaati sampai sekarang. Orang banyak yang menikmati pindang, masakan dengan kuah buah klewek itu, namun dagingnya bukan angsa, melainkan ayam.

Hanya kadang saya bertanya, tidak ditemuinya pindang angsa di masyarakat Banyumas itu, karena menaati pantangan leluhur mereka? Atau memang angsa jarang ada yang mau makan dagingnya, dan angsa juga jarang yang memeliharanya?

Pantangan kelima adalah jangan bepergian pada hari Sabtu Pahing. Karena peristiwa pembunuhan itu terjadi pada hari Sabtu Pahing.

Pantangan ini sepertinya sudah banyak yang mengabaikan. Hanya generasi tua saja yang masih mengingatnya. Mungkin pantangan itu melekat sejak kecil, ketika kisah dalam Babad Banyumas masih dipentaskan dalam ketoprak. Atau dikisahkan di rumah-rumah menjadi pengantar tidur bagi anak cucu mereka.

Sekarang pantangan hari Sabtu Pahing seolah memudar. Generasi muda sudah mengabaikannya. Apakah karena menganggap pantangan adalah sesuatu yang tidak rasional? Atau karena tidak membaca Babad Banyumas?

BABAD BANYUMAS 31: Yang Malang Di Bale Malang

Standar
Siapa yang malang di bale malang?

Inilah kisah yang pertama saya dapatkan dari panggung ketoprak terkait Babad Banyumas. Kisah kematian Adipati Wirasaba, Warga Utama, yang terbunuh oleh prajurit utusan Sultan Pajang. Kisah yang kemudian diangkat dengan lakon “Geger Wirasaba”.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan awal mula peristiwa sedih itu dalam tembang Gambuh, “Para bupati sagung, manca praja pinundhutan wau, rara ayu nyawiji malebeng puri, samya nyaosi sadarum, rara ayu pra bupatos.”

Semua adipati mancanegara, semua dimintai gadis-gadisnya untuk masuk istana. Semua memberikan putri-putrinya. Ada yang menyerahkan anaknya. Yang tidak punya anak menyerahkan saudaranya. Ada yang menyerahkan cucunya, hingga keponakannya. Dipilihlah yang paling cantik wajahnya. Yang dianggap pantas masuk dalam istana.

Ketika datang perintah itu, Adipati Wirasaba, Warga Utama, mengirimkan anak keempatnya, yang bernama Rara Sukartiyah. Diantar sendiri ke Pajang. Dipersembahkan pada Joko Tingkir. Diterima oleh sang sultan Pajang, kemudian disuruhnya pulang. Adipati Warga Utama pun kemudian pulang.

Namun, tanpa sepengetahuan Adipati Wirasaba, adiknya, Demang Toyareka, datang menyusulnya ke Pajang. Bersama dengan anaknya, Raden Sukra, mengadukan hal yang terjadi terkait putri kiriman dari Wirasaba. Dilaporkan bahwa sebenarnya sang putri bukanlah seorang gadis. Karena sebelumnya sudah menikah dengan anak Demang Toyareka.

Mendengar laporan itu, murkalah Joko Tingkir. Penguasa Tanah Jawa itu merasa dihinakan. Permintaannya adalah gadis, namun dikirim perempuan yang sudah menikah.

Babad Banyumas Mertadiredjan menulis dengan dramatis kemarahan itu dengan bahasa puitis.

“Sang nata amiyarsa, langkung duka jaja bang malatu-latu, andik kang netra ngarirah, kumedhut padoning lathi.”

Saat sang raja mendengar keterangan itu, marahnya tidak terkirakan. Terlihat dari merah wajahnya. Tergambar dari tajamnya sorot mata. Serta terbaca dari getaran ujung bibirnya.

Untuk kisah selanjutnya, saya tulis langsung sesuai naskah aslinya saja. Naskah asli Babad Banyumas Mertadiredjan yang menceritakan kejadian itu. Teks yang aslinya berbahasa Jawa dalam tembang macapat, namun sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sengaja saya kutipkan teks aslinya, biar pembaca bisa menikmati kisah tersebut sesuai yang tertulis dalam babad. Karena salah satu alasan saya berburu Babad Banyumas adalah ingin mengetahui kisah yang tertulis dalam babad. Semoga pembaca pun lebih menikmati membaca teks asli, daripada penuturan saya sendiri.

Beginilah yang tercatat dalam Babad Banyumas, tidak saya tambahi tidak saya kurangi.

Memang sudah takdir Yang Kuasa, Adipati Warga Utama Akan menemui ajalnya. Dibunuh oleh sang raja karena gelap pikirannya terburu oleh amarah. Hingga tidak teliti lebih dulu kebenarannya. Tentang perempuan yang jadi masalahnya.

Sang sultan keras berkata, “ Para prajurit, susul kepulangannya segera Si keparat yang sudah pulang itu, Adipati Wirasaba. Di manapun bisa terkejar, langsung bunuh saja!”

Tiga orang prajurit memberikan sembah. Kemudian berangkat menunggang kuda

Sang sultan masuk ke dalam istana. Kemudian memanggil  putri persembahan yang dikirim dari Kadipaten Wirasaba.

Setelah sampai di hadapan, bertanyalah sang raja, “Wahai, gadis saya bertanya. Jawablah yang sebenarnya. Apakah kamu sudah punya suami?”

Sang putri menjawab pertanyaan sang raja, “Sesungguhnya, paduka raja, inilah saya seutuhnya, yang sebenarnya saya tidak punya suami. Bahwa dulu memang pernah menikah. Namun karena perintah ayah saya. Menikah dengan orang Toyareka. Tetapi hamba tidak suka kepadanya. Hingga pernah sampai berhubungan dengan suami saya itu. Sekalipun hamba tak pernah mau.

“Akhirnya saya diceraikan oleh ayah saya dengan suami saya. Suami saya pun menuruti keputusan itu. Sudah tiga bulan yang lalu. Sekarang saya dipersembahkan pada sang raja. Maka sekarang sudah empat bulan lamanya, kalau dihitung sejak perceraian dulu.”

Ketika sang raja mendengar penjelasan sang putri, sangat menyesal dengan keputusan sebelumnya.

Dengan segera dipanggil tiga prajurit menghadap kepadanya. Dan berkatalah sang raja, “Wahai, kalian para prajurit, segeralah susul temanmu yang tadi berangkat. Para prajurit yang saya perintahkan tadi untuk membunuh Adipati Wirasaba. Sampai di mana pun kalian bertemu, kalian saya perintahkan untuk membatalkan. Jangan sampai ia dibunuh, karena sang adipati tidak bersalah.”

Tiga prajurit langsung menyusul prajurit yang sebelumnya berangkat. Jalannya cepat sekali.

Tidak dikisahkan selama perjalanan mereka. Sang Adipati Wirasaba sedang dalam perjalanan pulang. Karena punya saudara, Kyai Angger di desa Bener, disinggahinya.

Ketika itu mereka tengah duduk di bale malang. Kyai Adipati Wirasaba dijamu nasi dengan lauk pindang angsa. Betapa nikmat mereka makan bersama.

Ketika baru makan habis setengah, datanglah tiga orang prajurit yang pertama. Turun dari atas kudanya segera menghadap sang adipati. Para prajurit berdiri di depannya hendak menyampaikan perintah sang sultan. Namun tidak enak hati, karena sang adipati sedang makan. Hingga ditunggu sampai selesai makan.

Kagetlah sang adipati saat melihat ada tiga prajurit menyusulnya. Kemudian sang adipati pun bertanya, “Ada perintah apakah?”

Tiga prajurit itu menjawab, “Silahkan diselesaikan saja dulu makannya. Memang ada perintah yang akan disampaikan. Namun nanti saja kalaus udah selesai makan.”

Sementara itu, para prajurit yang menyusul, yang diperintahkan untuk membatalkan perintah membunuh sang adipati, sudah sampai di Bener. Mereka tidak jauh jaraknya dari tempat itu.

Prajurit yang datang pertama melihat kedatangan prajurit yang datang menyusulnya. Mereka kemudian berdiri di depan Adipati Wirasaba.

Melihat prajurit pertama berdiri, prajurit yang menyusul melambaikan tangannya, “Kalian, para prajurit mundur! Perintah sang raja sudah dibatalkan!”

Tergagap mereka berkata-kata, karena jarak yang cukup jauh. Sementara yang diberi perintah tidak paham menangkap lambaian tangan tersebut.

Prajurit yagng pertama malah terkejut melihat ada prajurit susulan yang datang. Hingga bertanyalah dalam hati, “Mengapa mereka melambaikan tangannya? Apakah maksudnya untuk segera membunuh sang adipati?”

Memang sudah kehendak Yang Maha Besar. Mereka yang diberi pesan tidak menangkapnya. Hingga ketiga prajurit itu kemudian mengepung Adipati Wirasaba. Sambil masing-masing menarik kerisnya. Kemudian dengan bersamaan ditusukkan pada sang adipati. Ditikam tepat di dadanya.

Kagetlah para prajurit yang menyusul melihat itu. Sang adipati telah tertikam keris. Semakin kencang mereka berlari.

Setelah berhadapan, dengan keras mereka bertanya, “Hai, kalian, mengapa bertindak demikian itu? Mengapa kalian membunuh sang adipati? Padahal kedatangan kami ini diperintahkan oleh sang sultan untuk mengurungkan pembunuhan. Kyai Adipati Wirasaba tidak ada kesalahannya. Hanya karena sang sultan tergesa-gesa. Tidak meneliti masalah lebih dulu.

“Itulah mengapa kami tadi melambaikan tangan pada kalian!”

Prajurit yang datang pertama menjawab, “Saya tidak paham maksudnya. Maka saat saya melihat kalian melambaikan tanganmu, saya kira justru untuk segera melakukan pembunuhan pada sang adipati. Maka dengan cepat kami lakukan membunuh sang adipati!”

Para prajurit yang datang belakangan bertanya, “Lalu sekarang bagaimana ini? Semua sudah terlanjur terjadi. Apa yang akan disampaikan pasa sang sultan?”

Pada waktu itu sang adipati belum sampai meninggal. Mendengar para prajurit saling berdebat Dengan pelan ia berkata, “Sudahlah, jangan saling menyalahkan. Para prajurit semua kembalilah bersatu. Jangan saling menyalahkan begitu. Nanti malah celaka semuanya.”

Dengan terputus Kyai Adipati berkata, “Wahai, para prajurit semuanya. Sekarang dimusyawarahkan saja. Jangan lagi bertengkar begitu. Katakanlah bahwa semua sudah terlanjur. Jika bersatu maka akan selamat. Adapun keadaan saya ini, sudah menerima kehendak Yang Maha Besar. Bahwa saya dipanggil menghadap sultan hanya menjadi jalan saja. Tidak bisa berubah bila sudah menjadi ketentuan.”

Adipati Warga Utama begitu ikhlas menerima takdirnya. Ketentuan yang tak bisa dielakkan, kaernas sudah jadi keputusan jalan hidup dari Yang Kuasa.

BABAD BANYUMAS 30: Ki Buwang Yang Terbuang

Standar
Mengapa Ki Buwang sampai terbuang dari Wirasaba?

Ki Ageng Buwara I adalah adik Raden Paguwan, Adipati Wirasaba pertama. Ki Ageng Buwara II adalah mertua Raden Urang, Adipati Wirasaba kedua. Sedangkan Ki Buwang adalah adik Raden Surawin, Adipati Wirasaba ketiga.

Kisah Ki Buwang bermula dari disahkannya Raden Katuhu sebagai Adipati Wirasaba keempat oleh Raja Majapahit.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuturkan, ketika Adipati Wira Hutama II, memerintahkan anak angkatnya, Raden Katuhu, mengirim upeti ke Majapahit. Adipati Wirasaba ketiga itu, menyuruh juga adiknya, Ki Buwang, untuk menemaninya.

Dalam tembang Kinanti dituliskan, “Ki Dipati alon muwus, Thole malbuweng nagari, bulubekti aturena, mring sang Prabu Majapahit, Thole karo pamanira, Ki Buwang gawanen kanthi.”

Sang adipati pelanberkata, “Anakku, menghadaplah kamu ke Majapahit. Upeti persembahan Wirasaba antarkanlah kepada sang Prabu Majapahit. Anakku, berangkatlah bersama pamanmu. Ki Buwang menjadi temanmu.”

Maka berangkatlah ke Majapahit mereka berdua dengan iringan prajurit Wirasaba.

Tidak diduga oleh Ki Buwang, ternyata kedatangan Raden Katuhu justru menjadi ancaman bagi kedudukannya.

Ketika seorang adipati tidak punya anak laki-laki, maka yang akan menggantikan kedudukannya adalah adiknya. Begitulah peraturan turun temurun yang berlaku.

Raden Bagus Surawin dikisahkan tidak punya anak. Karena itu, bila Adipati Wira Hutama II meninggal, seharusnya takhta Wirasaba turun pada Ki Buwang. Namun dengan pengangkatan Raden Katuhu, hilanglah harapan itu.

Karenanya, ketika dalam perjalanan pulang dari Majapahit, Ki Buwang mendahului pulang. Begitu sampai di pegunungan Sumbing, ia mohon diri pulang ke Wirasaba lebih dulu.

Ternyata, kepulangan itu memendam kemarahan dengan keputusan yang diberikan oleh Raja Majapahit. Ia tidak menerima keputusan yang mengecewakan itu. Namun, karena dia tidak punya kedudukan apapun, hingga tak punya kekuasaan untuk menolak. Maka jalan satu-satunya adalah menggagalkan keputusan tersebut.

Ki Buwang pun membuat laporan palsu pada kakaknya, Adipati Wira Hutama II.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan peristiwa itu dalam tembang Kinanthi. Seperti kita tahu, tembang macapat Kinanthi sering ditembangkan untuk melambangkan harapan. Dan, harapan yang lama dibayangkan Ki Buwang mendadak hilang.

Samana datan winuwus, Ki Buwang ingkang winarni, Paguwan gerahe waras, kang putra den anti-anti, samana lagya alenggah, Ki Buwang prapta ing ngarsi.

Ketika itu dikisahkan, Ki Buwang yang kemudian diceritakan. Adipati Paguwan, Wira Hutama II, sudah mulai sembuh sakitnya. Sang anak, Raden Katuhu, ditunggu kepulangannya. Waktu itu ia sedang duduk di pendapa. Datanglah Ki Buwang menghadapnya.

Berkata sambil menangis tersedu. Disampaikan bahwa Raden Katuhu telah menyalahi janji. Hingga keluarlah keputusan Raja Majapahit. Bahwa Adipati Paguwan diberhentikan. Raden Katuhu yang menggantikan di Wirasaba. Bahkan telah diberi gelar Adipati Marga Utama. Juga diberi seorang istri dan seekor gajah.

Ki Buwang menakut-nakuti bahwa Adipati Paguwan pun akan dibuang. Semua saudara juga tidak akan diberi kekuasaan apapun.

Setelah melapor pada kakaknya, Ki Buwang langsung bersiap senjata. Empat puluh prajurit jumlahnya.

“Kula begalana ing margi. Tan nedya mundur sanyari.”

Begitu pamitnya pada sang kakak. Ki Buwang akan menghadang kepulangan Raden Katuhu. Tak akan mundur menghadapinya.

Maka, demikianlah yang kemudian terjadi. Ki Buwang mencegat di tengah jalan, ketika rombongan Raden Katuhu sampai di Kali Palet. Prajurit Ki Buwang langsung menyerbu. Bahkan dengan keris kecilnya ia mengamuk membunuh semua prajurit yang mendekat.

Singkat cerita, Ki Buwang berhasil dilumpuhkan. Bahkan terbunuh oleh keris pusaka Raden Katuhu. Juga anaknya, Bagus Kasan. Sama-sama tertikam pada lambung kirinya.

Setelah menguburkan ayah dan anak, Raden Katuhu melanjutkan perjalanan pulang ke Wirasaba.

Sesampai di hadapan ayah angkatnya, Adipati Wira Hutama II, Raden Katuhu menyembah. Hormat. Takzim. Begitupun dengan sang istri, yang merupakan putri pemberian Raja Majapahit. Bersujud menyembah padanya.

Sang ayah pun menangis tersedu melihat penghormatan itu. Merasakan kebohongan yang telah dilaporkan adiknya, Ki Buwang.

“Kang rama asengguk-sengguk, menget tingkahe Ki Buwang.” Begitu Babad Banyumas menuliskan pertemuan ayah dan anak angkatnya.

Adipati Wira Hutama II menerima keputusan Majapahit. Ia memasrahkan takhta kadipaten pada Raden Katuhu. Setelah itu ia memutuskan keluar dari kadipaten. Membuka lahan perkebunan di utara Wirasaba untuk mengisi hari tua.

Suatu saat, pada suatu hari, sang anak, Raden Katuhu bersama istrinya berkunjung menjenguk sang ayah. Menantunya itu membawa banyak pakaian sebagai persembahan. Ikat kepala, kain, jubah, dan sabuk. Semuanya rangkap tiga.

“Ing ngarsa lajeng ngujungi, kang rama kamembeng waspa.”

Bersujudlah mereka di hadapannya. Sang ayah tidak kuasa menahan haru bahagia. Begitu Babad Banyumas Mertadiredjan mencatat peristiwa mengharukan itu. Hingga yakin bahwa semua yang disampaikan Ki Buwang adalah kebohongan belaka.

Raden Katuhu, juga istrinya, sangat menghormatinya. Bahkan mengunjunginya dengan membawa banyak hadiah.

Adipati Wira Utama II mengisi hari tuanya di lahan perkebunan yang dibukanya. Lahan yang kemudian dikenal dengan nama Kecepit, karena letaknya yang terjepit aliran sungai Serayu. Ada juga yang menyebutnya dengan kebun Pakembangan.

Perkebunan itu sekarang menjadi desa Kembangan. Berbatasan langsung dengan desa Wirasaba, di Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Makam Wirahutama II dan makam Raden Katuhu atau Marga Utama, bisa ditemukan di sana.

Sementara makam Ki Buwang, menurut penuturan Babad Banyumas Mertadiredjan, berada di Kali Palet. Kali Palet sekarang masuk wilayah Banjarnegara. Namun saya belum melacaknya ke sana.

BABAD BANYUMAS 29: Dari Wirasaba Ke Buwara

Standar
Ada apa dengan Buwara?

Ki Ageng Buwara adalah adik bungsu Raden Paguwan, adipati pertama Wirasaba.

Kemungkinan dari nama Ki Ageng Buwara, sebagai pemimpin desa itulah maka desanya disebut dengan Buwara. Karena nama aslinya adalah Kyai Sayid Abu Buwara. Bukan seperti yang lain, karena menetap di desa Buwara kemudian bernama Ki Ageng Buwara.

Saya membayangkan jarak Buwara dan Wirasaba mestinya tidak jauh. Karena anak Ki Ageng Buwara II menjadi menantu adipati Wirasaba, Raden Paguwan. Menantunya tersebut, Raden Urang, kemudian menjadi adipati Wirasaba kedua.

Saya pun mencari keberadaan Wirasaba dan Buwara. Bagi saya ini penting, karena saya butuh meyakinkan diri bahwa semua yang tercatat dalam Babad Banyumas ada faktanya. Bukan sekadar dongengan belaka. Hingga semua nama saya telusuri sejarah dan petilasannya. Semua tempat saya datangi untuk dilacak sejarahnya.

Pencarian yang pertama, tentu saja adalah Wirasaba. Dengan bertanya pada Mbah Gugel, maka saya mencari letak Wirasaba berada.

Setelah yakin bahwa sekarang menjadi sebuah desa di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, saya langsung mencarinya.

Ternyata memang betul di Kecamatan Bukateja terdapat desa bernama Wirasaba. Sebuah desa kecil di tepian sungai Serayu yang mengalir dari arah timur. Di desa tersebut sekarang berdiri Bandara Jenderal Soedirman. Karena letaknya di desa Wirasaba lebih dikenal dengan nama Bandara Wirasaba.

Saya datang dari arah Banyumas, ke timur, lurus, lewat Klampok, Banjarnegara. Kemudian berbelok ke kiri, menyeberangi Sungai Serayu, ke arah Purbalingga. Pada sebuah perempatan, saya belok kiri mengikuti jalan utama ke arah Bandara Wirasaba.

Masuk area bandara, menelusur jalan di sebelah bandara, sampailah di perempatan kecil. Tak ada papan nama besar sebagai tanda bahwa dulu kala, lima abad silam, pernah ada kekuasaan besar di Wirasaba. Saya hampir kebablasan kalau tidak jeli melihat penanda yang hanya kecil saja terpancang di pagar bandara. Penanda menuju arah makam para adipati Wirasaba.

Pada makam yang berada di tepian sungai Serayu itulah saya mendapati semua adipati Wirasaba. Berjajar dari kiri ke kanan seusai urutan. Sebelah kiri adalah makam adipati pertama Wirasaba, Raden Paguwan, atau Adipati Wira Hudaya. Kemudian sebelah kanannya, makam penggantinya, adipati Wirasaba kedua, Raden Urang, atau Adipati Wira Utama I. Lalu makam adipati Wirasaba ketiga, Raden Bagus Surawin, atau Adipati Wira Utama II. Juga makam Raden Katuhu, yang menjadi adipati Wirasaba keempat, atau Adipati Marga Utama.

Pada juru kunci makam saya bertanya, di manakah letak pusat pemerintahan Kadipaten Wirasaba dulunya. Namun juru kunci makam hanya menggelengkan kepala. Katanya sudah tidak jelas bekasnya. Tidak tahu di mana tempatnya. Hanya tinggal menyisakan makam saja. Makam tua yang konon dipugar oleh pihak Bandara Wirasaba.

Setelah menemukan Wirasaba, saya mencari keberadaan Buwara. Wirasaba adalah kadipaten tempat Raden Katuhu pernah menjadi adipatinya. Buwara adalah tempat ketika Raden Katuhu baru datang ke Wirasaba. Dalam bayangan saya, mestinya jaraknya tidak jauh. Masih dalam kecamatan yang sama, Bukateja.

Saya pun mencarinya di google. Dengan mengetik: Desa Buwara, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Ternyata tidak ketemu.

Saya ganti kata kunci: Makam Ki Ageng Buwara. Tidak ketemu juga.

Saya ganti kata lag: Petilasan Ki Ageng Buwara. Tak ada juga.

Lama saya tidak melakukan pencarian Buwara, karena tidak terlacak jejaknya di internet. Hanya saja, setiap teman yang asalnya Purbalingga selalu saya tanya.

Sambil mencari Buwara juga, saya berkeliling Purbalingga untuk mencari Toyareka, Senon, Pamerden, dan Pakiringan.

Saya mencari Toyareka karena di tempat itulah Demang Toyareka bermukim. Sosok yang terlibat menjadi penyebab kematian Adipati Warga Hutama I. Saya mencari Senon dan Pamerden karena dua wilayah itu menjadi hak anak-anak Warga Utama I, setelah wilayahnya dibagi empat. Dan, saya mencari Pakiringan karena Adipati Warga Hutama I dimakamkan di tempat itu. Satu-satunya adipati Wirasaba yang makamnya tidak di Wirasaba.

Dengan pencarian yang lama, setelah saya menemukan Toyareka, Senon, Pamerden, dan Pakiringan, barulah saya menemukan Buwara.

Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan, desa Buwara menjadi pembuka masuknya tokoh utama, Raden Katuhu. Sosok yang menjadi penanda perubahan kekuasaan di Wirasaba. Kekuasaan dari trah Raden Paguwan ke trah Majapahit.

Namun untuk mencarinya ternyata sulitnya minta ampun. Butuh satu tahun untuk sekadar menemukan letak Buwara.

Karena ternyata, Buwara bukan berubah menjadi nama desa seperti Wirasaba. Buwara sekarang menjadi sebuah dusun kecil. Masuk dalam wilayah desa Majatengah, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga.

Namun, ketika saya datang ke dusun Buwara, berkeliling bertanya tentang keberadaan makam Ki Ageng Buwara, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Justru setiap saya bertanya, “Di mana makam Buwara?”, selalu dijawab dengan pertanyaan, “Mencari Daryo, ya?”

Saya pun penasaran dengan jawaban itu. Saya menggeleng, saya jawab, “Saya mencari makam Ki Ageng Buwara.”

Semua yang saya tanya tak ada yang mengetahuinya. Seolah jejak pembuka dusun Buwara sudah hilang dari ingatan masyarakatnya.

Akhirnya, daripada tidak menemukan apapun setelah lama dan juah-jauh mencari Buwara, saya bertanya, “Di manakah makam tua Buwara?”

Dalam bayangan saya, makam paling tua di desa tersebut, mestinya makam tempat Ki Ageng Buwara dimakamkan. Bisa jadi makam tua itu tidak lagi dikenali siapa tokoh yang dimakamkan. Namun biasanya makam-makam tua masih dikeramatkan.

Saya pun kemudian datang ke makam dusun Buwara. Berkeliling desa dengan jalan tanah berbatu dan becek habis hujan. Masuk lorong-lorong kampung hingga ke ujung desa. Sampailah di makam tua Buwara.

Saya berkeliling pemakaman, mencari nisan yang paling tua. Ternyata memang tidak ada. Tak ada kuburan tua di makam tersebut.

Yang saya temukan justru sebuah makam yang dihuni oleh orang gila. Terdapat banyak sampah botol yang ditata di atas pusara menjadi tempat tidurnya. Seorang lelaki setengah baya berkaos logo partai, dengan wajah selalu tersenyum, dan rokok menempel di bibirnya. Saya lihat ada empat orang sedang berbincang bersamanya.

Pada mereka saya sampaikan maksud kedatangan saya. Mencari makam Ki Ageng Buwara.

Mereka malah balik bertanya pada saya, “Ki Ageng Buwara apa Ki Ageng Daryo?”

Dari pertanyaan tersebut saya jadi tahu, bahwa laki-laki gila yang menempati kuburan tua itulah yang bernama Daryo. Sosok yang sejak saya masuk desa Majatengah, selalu disebut namanya oleh semua warga yang ditanya.

Ternyata, Daryo dianggap orang pintar oleh orang-orang dari luar desa. Hingga setiap hari banyak orang datang ke makam tua Buwara. Dengan satu tujuan yang sama. Meminta nomor togel!

BABAD BANYUMAS 28: Bangga Bahagia Ki Ageng Buwara

Standar
Mengapa Ki Ageng Buwara bahagia Raden Katuhu jadi Adipati Wirasaba?

Dalam buku “Inti Silsilah dan Sedjrah Banyumas” dicatat, Pangeran Pujangga mempunyai anak sulung bernama Raden Paguwan dan anak bungsu bernama Ki Ageng Buwara.

Raden Paguwan kemudian menjadi Adipati Wirasaba pertama. Sementara Ki Ageng Buwara menetap di desa Buwara, menjadi seorang petani dengan ladang yang luas.

Ki Ageng Buwara mempunyai seorang anak laki-laki yang melanjutkan kepemimpinan di desa Buwara. Namanya mengikuti sang ayah, disebut Ki Ageng Buwara juga.

Ki Ageng Buwara II mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Rara Westi. Menikah dengan anak Raden Paguwan, yakni Raden Urang, yang menjadi Adipati Wirasaba kedua.

Dari pernikahan itu lahirlah Raden Bagus Surawinata. Lebih dikenal dengan nama Raden Surawin, yang menjadi Adipati Wirasaba ketiga. Adipati ketiga inilah yang kemudian mengangkat anak Raden Katuhu, hingga akhirnya menggantikan menjadi Adipati Wirasaba keempat.

Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan dikisahkan awal mula kedatangan Raden Katuhu di Wirasaba. Setelah lama terlunta-lunta kemudian sampailah di desa Buwara, menumpang hidup pada Ki Ageng Buwara.

Dalam tembang Maskumambang ditulis: “Pan kalunta-lunta prapteng talatah ing Nagari Wirasaba, ing Buwara kang den jogi, ngenger Ki Gede Buwara.”

Setiap hari Raden Katuhu diajak ke ladang membantu pekerjaan orang tuanya, menebang kayu di hutan. Setiap sore Raden Katuhu tidak mau diajak pulang bersama ayah angkatnya. Hingga Ki Ageng Buwara penasaran apa yang dilakukan sang anak.

Kejadian pada suatu sore hari, ketika Raden Katuhu masuk dalam api dan keluar dengan wajah bercahaya itulah yang membuat Ki Ageng Buwara melaporkan pada menantunya, Adipati Wira Hutama II, atau Raden Surawin.

Karena kesaktian itu Raden Katuhu diangkat anak juga oleh Adipati Wirasaba. Kemudian diberi kepercayaan mewakilinya datang ke Majapahit untuk mengirimkan upeti. Lalu, mendapat restu dari Raja Majapahit untuk menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Marga Hutama.

Ketika pulang dari Majapahit, Raden Katuhu langsung menghadap dua ayah angkatnya. Menyembah pada Adipati Wira Hutama II dan Ki Ageng Buwara. Ki Ageng Buwara duduk di sebelah anak angkatnya yang sudah menjadi adipati, menggantikan menantunya.

Babad Banyumas Mertadiredjan mencatatnya dalam tembang Asmarandana yang melambangkan kebahagiaan.

“Ki Ageng Buwara linggih, lan Dipati Martahutama, Ki Paguwan pasrah kabeh, sarupane bocah ing wang, kabeh wong Wirasaba, padha ngidhepa sadarum, ing maring anakingwang.”

Ki Ageng Buwara duduk di sebelah Adipati Marga Hutama. Ki Paguwan kemudian menyerahkan semuanya kepada anak angkatnya. Disampaikan pada seluruh rakyat agar tunduk patuh pada sang anak, Raden Katuhu.

“Ki Ageng Buwara linggih, kalawan dipati enggal, sakala lipur galihe.”

Ki Ageng Buwara duduk di sebelah Adipati Marga Hutama. Bahagia dan bangga hatinya.

Ki Ageng Buwara bangga dan bahagia karena ternyata anak angkatnya adalah keturunan Majapahit. Anak Raden Baribin, cucu Prabu Brakumara, raja besar Majapahit.

BABAD BANYUMAS 20: Dua Makam Raden Baribin

Standar
Babad Banyumas
Nassirun Purwokartun
Bale Pustaka

Sunan Bonang punya empat tempat yang diyakini orang sebagai makamnya. Makam pertama, yang paling terkenal, berada di belakang masjid agung Tuban. Makam kedua di desa Mbonang, di pesisir utara, antara Lasem dan Rembang. Dua makam lainnya berada di Tambak Kramat, Pulau Bawean.

Konon, dulunya Sunan Bonang tengah berdakwah di Pulau Bawewan. Kemudian meninggal di pulau terpencil tersebut. Oleh para muridnya, sang guru dimakamkan di Pulau Bawean. Dengan pertimbangan kalau diantar pulang ke Tuban terlalu jauh dan makan waktu lama.

Namun, para murid dari Tuban tidak terima dengan pemakaman itu. Alasannya, karena kampung halaman Sunan Bonang adalah Tuban, maka sang sunan harus dipulangkan dan dimakamkan di Tuban.

Akhirnya terjadilah pertentangan pendapat antar para murid sang sunan. Pertentangan yang sangat runcing, dengan alasan yang sama-sama ingin menghormati gurunya. Namun kedua kelompk sama-sama tidak bisa saling menerima. Semua merasa bernar, tidak ada yang mau mengalah. Hingga diculiklah jenazah sang ulama dari pulau kecil di antara Pulau Madura dan Pulau Kalimantan itu. Kemudian dimakamkan di belakang masjid Tuban.

Ternyata, kisah para murid yang berebut memakamkan gurunya terjadi pula dengan Raden Baribin.

Demikianlah yang saya dapatkan dari pembicaraan dengan juru kunci makam Grenggeng, Kebumen. Maka, sepertinya memang benar, bangsawan Majapahit yang ketika di Pajajaran dikenal dengan nama Pandita Putra pada akhir hidupnya menjadi penyebar Islam. Terbukti wilayah makamnya sekarang menjadi kampung yang religius, baik yang di Grenggeng, Kebumen, maupun yang di Sikanco, Cilacap.

Setelah pulang dari Grenggeng, Kebumen, saya langsung menuju Kroya, Cilacap. Pada sebuah pemakaman yang dibangun oleh Pemda Kabupaten Cilacap saya mendapati makam sang syekh berada di belakang masjid yang masuk dalam wilayah sekolah diniyah. Mungkin itulah salah satu jejak dari dakwah Syekh Baribin yang masih bisa dikenali sampai sekarang.

Raden Baribin yang pada awal perjalanan ke Pajajaran mengalami peristiwa hidup dan mati di tempat itu, ketika tua mendatangi lagi tempat itu. Tempat yang pada masa pelarian menjadi tempat bersejarah dalam hidupnya. Karena hampir tertangkap oleh prajurit Majapahit. Sebagai penanda, tempat di mana dia selamat, bisa hidup, karena pertolongan ayam hutan kemudian diberi nama Desa Ayamalas.

Dan ternyata di wilayah itu pula, pada akhir periode hidupnya, menjadi tempat dia mati. Karena sang guru meninggal di tempat itu, maka para murid memakamkannya di tempat tersebut. Tempat di mana Raden Baribin dimakamkan kemudian dikenal dengan nama Dusun Sikanco.

Sementara para murid dari Kebumen sudah mendapat firasat bahwa sang guru telah meninggal di jalan, sebelum bisa pulang ke Kebumen. Mereka mendengar gumaman gurunya yang meminta pada para muridnya untuk membawanya pulang. Pesan berikutnya adalah meminta agar dimakamkan di Bukit Sentana.

Dari gumaman meminta dijemput dan dimakamkan di Kebumen itulah, perbukitan batu cadas yang sebelumnya bernama Bukit Sentana kemudian jadi Gunung Grenggeng. Gumaman dalam bahasa Jawa adalah grenggengan. Dari gumaman yang terus menerus menjadi gumrenggeng.

Maka, karena merasa mendapat wasiat untuk menjemput jasad sang guru, murid Kebumen merasa harus membawa mayat Raden Baribin. Mereka menganggap murid Cilacap tidak punya hak memakamkan di tempat itu. Karena kampung halaman terakhir Raden Baribin adalah Kebumen, maka harus dimakamkan di Kebumen. Apalagi mereka sudah mendapat wasiat lewat gumaman untuk dimakamkan di Bukit Sentana. Mereka merasa harus menjalankan wasiat terakhir gurunya itu.

Namun, karena Raden Baribin sudah dimakamkan, murid Cilacap merasa tidak perlu melaksanakan wasiat tersebut. Biarlah sang guru tenang dimakamkan di tempat terakhir dia berdakwah. Sebagai tanda akhir perjalanannya sebagai seorang penyebar agama.

Seperti yang terjadi dengan Sunan Bonang, demikianlah kejadian pada Raden Baribin. Tidak ada perdamaian antar para murid, semua merasa berhak, semua merasa harus menghormati gurunya dengan pemikiran mereka masing-masing.

Akhirnya, jasad yang sudah dimakamkan kemudian dibongkar oleh murid dari Kebumen.

Ketika dibongkar ternyata jenazah Raden Baribin mengeluarkan bau harum. Maka, sampai sekarang, masyarakat sekitar wilayah Gunung Grenggeng menyebut Syekh Baribin dengan sebutan mayit ganda arum, atau mayat yang jenazahnya berbau harum.

Sementara di makam Sikanco, sebagai makam pertama sebelum jasad Raden Baribin dipindah, konon temboknya masih dibiarkan terbuka berlubang sampai sekarang. Hal itu pun sebagai bukti dan penghormatan bahwa jasad guru mereka sudah dibawa pulang oleh murid dari Kebumen.

Sayang, saya sampai ke makam Sikanco sudah menjelang maghrib. Hingga tidak sempat bertemu juru kunci. Juga tak bisa masuk ke dalam makam.

Namun, dari penuturan warga sekitar, nama desa Sikanco, diambil dari nama Sykeh Baribin. Nama samaran ketika berdakwah di wilayah Cilacap.

BABAD BANYUMAS 19: Pandita Putra Syekh Baribin

Standar

Di wilayah Karanganyar, Kebumen, bangsawan Majapahit yang terusir itu dikenal sebagai Syekh Baribin. Kalau dicari di gogle, makamnya berada di puncak bukit Grenggeng.

Karena penasaran, saya niatkan ziarah ke makamnya. Dengan penuh penasaran saya menempuh perjalanan 75 kilo meter hanya untuk meyakinkan bahwa Syekh Baribin adalah Pandita Putra, nama tua dari Raden Baribin.

Sang leluhur Banyumas itu setelah meninggalkan kebangsawanannya kemudian menjadi pertapa di Pajajaran. Ternyata setelah tua, pada akhir hidupnya, dikenal sebagai penyebar Islam. Salah satu buktinya adalah keberadaan dua makam yang berada di perkampungan religius.

Karena jarak yang cukup jauh, saya sampai di bukit Grenggeng sudah tengah hari, selepas dhuhur. Saya sholat dulu di masjid di kaki bukit, yang konon merupakan peninggalan kepala desa pertama desa Grenggeng. Kepala desa yang kemudian merawat keberadaan makam Syekh Baribin.

Jarak yang harus ditempuh dari kaki bukit hingga ke makam ternyata cukup jauh. Kisaran 1 kilometer. Hanya saja saya tidak membayangkan bahwa jalannya begitu terjal dan sangat menanjak. Saya pikir meski berada di puncak bukit namun jalannya melingkar dan tidak begitu terjal. Padahal sebelumnya sudah saya tolak tawaran tukang ojek yang akan mengantar saya ke puncak. Sungguh, kalau tahu jalannya begitu terjal, panas terik selepas tengah hari, dengan jalan cor beton, saya memilih naik ojek saja.

Saya jalan kaki di bawah terik matahari yang tengah memuncak panasnya. Dengan jalan yang tajam menanjak saya benar-benar dipompa jantungnya. Berkali harus istirahat, menarik nafa, melemaskan kaki yang jarang dipakai jalan kaki jarak jauh. Sekalinya dipakai langsung dengan medan terjal yang curam. Keringat langsung membanjir seluruh baju. Sementara saya lupa bawa air minum.

Dengan penuh perjuangan, setelah berkali istirahat, sampailah saya di gerbang makam. Dari gerbang makam sampai ke makam ternyata masih ada satu tahap perjalanan lagi. Yakni harus meniti trap anak tangga yang sepertinya lebih dari seratus undakan.

Makamnya benar-benar di puncak gunung. Dari puncak itu saya bisa melihat wilayah Kebumen di kaki bukit, pada hamparan sawah, ladang, jalan raya, dan perkampungan.

Beberapa makam tua tersebar di sekeliling makam utama. Bahkan ditulis juga, pada tempat yang tidak begitu jauh ada petilasan Angling Darma. Entah bagaimana ceritanya, sampai Prabu Anglingdarma bisa berada di puncak bukit Grenggeng.

Begitupun dengan keberadaan makam yang ditulis sebagai Makam Kajoran. Sepengetahuan saya, Panembahan Kajoran dan Pangeran Kajoran adalah tokoh beda masa, meski sama-sama berasal dari Klaten. Panembahan Kajoran adalah tokoh yang turut terlibat dalam perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang pada masa Joko Tingkir. Sementara Pangeran Kajoran adalah tokoh yang terlibat dalam perebutan takhta Mataram, antara Amangkurat dengan Trunojoyo. Pangeran Kajoran adalah tokoh yang disegani di Mataram, sekaligus mertua Trunojoyo.

Namun, karena saya hanya penasaran dengan keberadaan makam Raden Baribin, saya abaian keberadaan dua makam yang sebenarnya menarik penasaran saya. Saya belum tertarik menggalinya, karena fokus saya hanya pada sang bangsawan pelarian Majapahit itu.

Di luar makam utama, yang diyakini sebagai makam Syekh Baribin, tertulis dua makam kuno. Makam yang pertama adalah makam Raden Joko Panular, seorang bangsawan Majapahit juga, yang dipercaya sebagai penerus Syekh Baribin setelah meninggal dunia. Maka yang kedua adalam makam Kyai Jono, yang disebut sebagai murid kepercayaan Syekh Baribin.

Cukup lama saya berada di sekitar makam. Suasananya betul-betul indah, walau di atas puncak bukit cadas. Selain karena betah setelah menyerap hawa puncak gunung yang menyegarkan, juga sambil membayangkan masa lalu. Bagaimana sulitnya perjalanan memanggul jenazah mereka ketika mau menguburkan. Sementara hari ini saja, dengan jeda masa kisaran 500 tahun perjalananya masih sangat sulit ditempuh. Sekarang, walau menanjak namun sudah dibuatkan jalan setapak yang dicor semen.

Salah satu tradisi peninggalan Syekh Baribin adalah budaya menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan membagikan gunungan. Maka setiap tahun, makamnya menjadi tujuan ziarah utama di sekitar wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, Gombong, dan Banjarnegara.

Bahkan konon pada bulan Ruwah tahun lalu (2019) menjadi ziarah dengan jumlah peziarah paling banyak. Menurut juru kunci, jumlah yang datang lebih dari 12.000 orang. Hingga uang parkir yang didapat bisa untuk membangun saluran air dari masjid di kaki bukit ke makam yang berada di puncak bukit.

Setiap perayaan itu selalu didatangi perwakilan dari Keraton Jogja dan Solo. Karena meyakini bahwa sang syekh yang dimakamkan adalah bangsawan Majapahit yang harus mereka hormati. Keraton Jogja dan Solo adalah pelanjut dari Keraton Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati, sebagai trah Majapahit lewat jalur Bondan Kejawen.

Saya pun diundang datang oleh sang juru kunci. Katanya, biar bisa ziarah bersama bupati. Saya tersenyum menerima tawaran itu. Karena tujuan ziarah saya murni untuk menelusuri jejak sejarahnya. Tak ada maksud lain yang mungkin dilakukan para peziarah lain selama ini, yang sering datang ke makam-makam yang dianggap keramat.

Jadi, saya kurang tertarik dengan upacara Ruwahan yang katanya sudah menjadi ritual Kabupaten Kebumen. Saya justru masih terus penasaran dengan perjalanan akhir hidup Raden Baribin. Seseorang yang dalam Babad Banyumas ditulis sebagai seorang pertapa, seorang ajar, seorang pandita, namun setelah meninggal dikenal sebagai seorang syaikh.

Namun, sepanjang berbincang dengan juru kunci, saya tak mendapatkan jawaban sama sekali.

BABAD BANYUMAS 18: Mencari Makam Raden Baribin

Standar
Babad Banyumas

Dalam Babad Banyumas dikisahkan Raden Baribin punya empat anak.

Anak pertama, Raden Katuhu, setelah remaja mengembara ke timur, menetap di wilayah Kadipaten Wirasaba. Diangkat anak oleh Ki Ageng Buwara, seorang petani yang luas sawah ladangnya. Karena kesaktiannya kemudian diangkat anak oleh Adipati Wirasaba. Karena ketampanan dan kebaikannya, kemudian dijadikan menantu. Pada akhirnya kemudian diangkat menjadi Adipati Wirasaba, menggantikan sang mertua.

Setelah Raden Katuhu pergi, ketiga adiknya mengikuti langkahnya. Sesuai pesan ayahnya, Raden Baribin, mereka menetap di tempat yang dulu pernah disinggahi sang ayah ketika melarikan diri ke Pajajaran. Anak kedua, Raden Banyak Sosro, diperintahkan menetap di Pasirluhur. Tempat dulu Raden Baribin pernah menetap selama lima bulan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Pajajaran. Anak ketiga, Raden Banyak Kumoro, diperintahkan menetap di Kaleng. Kemudian anak keempat, Rara Ngaisah, menetap di Kejawar.

Kisah selanjutnya menuturkan Raden Banyak Sosro kemudian menjadi menantu Adipati Pasirluhur. Mempunyai anak Raden Jaka Kaiman. Namun kemudian sang ayah mati muda. Hingga anaknya diasuh oleh adiknya, Rara Ngaisah, di Kejawar. Sementara Raden Banyak Kumoro menetap di Kaleng, kemudian menjadi Adipati Kaleng. Sedangkan Rara Ngaisah dinikahkan oleh Raden Banyak Sosro, ketika baru datang di Pasirluhur, dengan Jaka Kejawar, putra Kyai Mranggi Sepuh. Setelah sang ayah meninggal, Jaka Kejawar dikenal dengan nama Kyai Mranggi Semu, dan Rara Ngaisah dikenal sebagai Nyai Mranggi.

Raden Katuhu, anak pertama Raden Baribin, menjadi Adipati Wirasaba. Setelah itu, dalam perjalanan sejarah, anak Raden Banyaksosro, yang bernama Jaka Kaiman, juga menjadi Adipati Wirasaba. Raden Jaka Kaiman lah yang kemudian memindah Kadipaten Wirasaba ke Kejawar, hingga menjadi cikal bakal Banyumas.

Sejak kecil saya sudah tahu bahwa makam Raden Jaka Kaiman, yang dikenal dengan nama Adipati Mrapat, berada di Dawuhan. Jaman saya kecil, kisaran kelas TK atau kelas 1 SD, saya pernah minta diantar ayah dibonceng sepeda ke makam Dawuhan.

Kenangan itu lekat sampai tua, hingga ketika saya tertarik menelusuri jejak Babad Banyumas, ziarah sejarah pertama saya adalah ke makam Dawuhan. Saya mendapatkan makam pendiri Banyumas yang sangat megah, sudah direhab berkali-kali oleh pemerintah. Hingga saya tidak menemukan kekunoan lagi pada makam tersebut. Apalagi, seperti yang tertulis dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan, yang mengisahkan adanya tulisan pada nisan sang adipati. Tulisan yang kemudian dibawa ke Jakarta untuk ditanyakan bunyinya pada Profesor Purbatjaraka.

Karena ingin melanjutkan penelusuran, saya bertanya makam leluhur Banyumas lainnya pada juru kunci.

Raden Jaka Kaiman adalah anak Raden Banyak Sosro, yang dulu menetap di Pasirluhur. Saya bertanya, di manakah makamnya? Apakah berada bersama di makam Pasirluhur, bersama Senopati Mangkubumi dan Syekh Makdum Wali? Karena sebagai menantu adipati, sangat mungkin makamnya berada dalam makam para adipati Pasirluhur.

Namun juru kunci makam hanya menggeleng, menyatakan tidak tahu.

Raden Jaka Kaiman adalah cucu dari Raden Baribin. Bahkan dalam Babad Banyumas dikisahkan, yang membawa Jaka Kaiman ketika bocah dari Pasirluhur ke Kejawar adalah Raden Baribin sendiri. Karena waktu itu merasa tersinggung, cucunya yang sudah yatim itu dipelihara oleh saudara ibunya, namun dijadikan penggembala kerbau.

Saya pun bertanya lagi, di manakah makam Raden Baribin.

Juru kunci kembali menggeleng.

Maka, saya merasak kehilangan jejak tentang keberadaan makam Raden Baribin. Karena setelah saya datang ke makam Pasirluhur, saya tanyakan ke juru kunci, memang tidak ada makam Raden Banyaksosro di sana. Ketika saya tanyakan tentang makam Raden Baribin, juru kunci malah tidak mengenalinya. Sepertinya memang belum baca Babad Banyumas.

Saya kemudian mencarinya di google. Dengan mengetik kata: Makam Raden Baribin.

Dari internet kemudian saya dapatkan info soal itu. Hanya mengapa tertulis ada dua makam dari Raden Baribin? Yang satu menyatakan makamnya ada di Grenggeng, Karanganyar, Kebumen. Satunya lagi ada di Sikanco, Danasri, Kroya, Cilacap.

Saya berpikir keras, di mana makam yang benar?

Selintasan saya mengingat kisah dalam Babad Banyumas tentang kejadian pertolongan ayam hutan pada Raden Baribin. Sekarang, petilasannya menjadi nama desa Ayamalas, di Kroya, Cilacap. Bila makamnya berada di Danasri, Kroya, berarti sangat mungkin.

Karena, dalam kisah Babad Banyumas, Raden Baribin muncul ketika mengantar cucunya, Raden Jaka Kaiman, dari Pasirluhur ke Kejawar. Setelah itu, sang cucu ditinggalkan di tepi sungai. Setelah itu Raden Baribin pergi. Entah kemana. Setelah itu tidak dikisahkan lagi.

Maka, sangat mungkin setelah itu Raden Baribin pergi ke tempat pertama dulu dia sempat hampir tertanggap prajurit Majapahit. Sebuah hutan tempat ayam hutan pernah menyelamatkannya. Karena sepertinya Raden Baribin sangat terkenang dengan semua tempat yang pernah disinggahinya ketika menjadi pelarian. Ketiga anaknya disuruh berdiam di semua tempat itu.

Sangat mungkin demi menjemput hari tuanya, Raden Baribin kembali ke Ayamalas, yang sekarang letaknya di Kroya. Ketika internet mengabarkan makam Raden Baribin berada di Kroya, saya pun mengaitkannya begitu.

Namun, saya justru dibuat penasaran dengan keberadaan makam di Grenggeng, Kebumen. Saya tidak menemukan kisah itu dalam Babad Banyumas. Penasaran berikutnya adalah penyebutan nama Baribin, yang dalam foto di internet ditulis: Makam Syekh Baribin.

Padahal setahu saya, penyebutan Syekh adalah untuk nama ulama penyebar agama Islam. Sementara dalam Babad Banyumas saya justru menemukannya Raden Baribin pada usia tua dikenal sebagai Pandita Putra. Karena konon menjadi Ajar di sebuah gunung, dengan menekuni dan mengajarkan agama Syiwa-Buddha.

BABAD BANYUMAS 17: Raden Baribin Ayam Alas

Standar

Dalam Babad Banyumas, nama pelarian dari Majapahit itu bernama Raden Baribin. Kadang disebut juga dengan nama Raden Putra. Di akhir kisah disebut sebagai Pandita Putra.

Menurut buku “Sejarah Mentalitas Banyumas” karya Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum., nama-nama itu bukan nama sebenarnya. Melainkan nama yang disematkan sebagai penanda. Disebut Raden Baribin untuk menyebut perjalanannya sepanjang pelarian dari Majapahit ke Pajajaran. Disebut Raden Putra untuk menyebut kedudukannya dalam istana Majapahit. Sementara disebut Pandita Putra untuk menyebut perjalanan spiritualnya sebagai seorang pemeluk agama Siwa-Buddha pada masa tuanya.

Dalam kisah Babad Banyumas, Raden Putra adalah adik Raja Majapahit, Prabu Ardiwijaya. Penyebutan nama Raden Putra berasal dari kata Raja Putra, yaitu tingkatan putra-putra raja di Kerajaan Majapahit. Kedudukan seorang Raden Putra adalah anak raja tingkatan keempat yang berhak atas takhta kerajaan. Bahkan dengan kepemilikan keris yang sama dengan sang raja, menandakan kedudukannya yang sangat dekat dengan raja.

Kedudukannya sebagai Raja Putra membuatnya dihormati para adipati bawahan, bagaikan raja kedua. Bahkan digambarkan dalam babad, mereka menghadap kepada raja di pagi hari, sedngkan sore hari menghadap pada Raden Putra. Seolah Raden Putra memang berkedudukan seorang raja muda kedua, atau disebut Pratiyuvaraja.

Karena itulah sang kakak khawatir adiknya akan memberontak. Maka diusirlah Raden Putra dari Majapahit. Pengusiran yang diiringi penyebaran pengumuman pada seluruh adipati bawahan untuk tidak memberikan bantuan padanya. Bila ada adipati yang memberi pertolongan akan dijatuhi hukuman mati. Maka, perjalanan Raden Putra meninggalkan Majapahit menjadi sebuah perjalanan penuh duka.

Dalam bahasa Jawa Kuno, kata Baribin berarti susah, sedih, bersusah payah, prihatin, dan kelaparan. Ternyata begitulah perjalanan yang dirasakan Raden Putra setelah diusir dari Majapahit. Ditolak menetap berlama-lama di Kaleng, Ngajah, dan Kejawar, kerana masih wilayah Majapahit. Karena keadaan kepayahan itulah, Raden Putra dalam Babad Banyumas disebut dengan nama Raden Baribin.

Kepayahan yang sudah dirasakan pada awal perjalanan. Ketika sangat kehausan kemudian mendapatkan ladang timun putih. Namun, karena asyiknya menikmati timun putih, membuatnya hampir tertangkap oleh prajurit Majapahit. Raden Baribin kemudian lari menyelamatkan diri ke hutan. Bersembunyi di dalam semak di bawah sebatang pohon besar.

Di atas dahan pohon itu bertengger seekor ayam hutan yang asyik membersihkan bulunya. Ayam hutan adalah binatang yang sangat peka. Bila ada orang datang, maka dia akan terbang pergi. Maka, karena ada ayam hutan di atas dahan, prajurit Majapahit yakin di bawah pohon tak akan mungkin ada orang yang sedang bersembunyi. Dengan keyakinan itulah, Raden Baribin kemudian selamat.

Dalam Babad Banyumas dua kejadian itu dilanjutkan dengan pantangan yang diucapkan Raden Baribin. Sebuah pantangan yang ditujukan pada keturunannya kelak.

“Wahai pengikutku semua, kalian saksikanlah. Agar anak keturunanku kelak jangan ada yang menanam timun putih, apalagi memakannya, karena timun itu sudah hampir membuat saya celaka. Juga jangan ada yang menganiaya ayam hutan, karena ayam itu sudah menjadi jalan keselamatanku.”

Karena petuah itu maka sampai sekarang keturunan Raden Baribin pun menurutinya. Tidak makan timun putih dan membunuh ayam hutan.

Tempat di mana Raden Baribin bersembunyi, konon kemudian diberi pertanda menjadi desa Ayamalas. Ayam alas adalah bahasa Jawa untuk menyebut ayam hutan.

Saya pernah melacak keberadaan desa Ayamalas. Ketemulah sebuah desa di wilayah Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Saya bertanya pada beberapa tokoh masyarakat yang dikenal paham sejarah terkait awal mula nama desa Ayamalas tersebut. Namun ternyata mereka tidak mengetahuinya. Berarti memang Babad Banyumas tidak menjadi cerita tutur di wilayah itu.

Bahkan ketika saya mencari petilasan apa yang ada terkait keberadaan Raden Baribin di situ, juga tidak ditemukan. Mungkin karena ketidaktahuan saja. Hanya mereka menunjukkan sebuah tempat yang selama ini tidak diketahui namanya. Sebuah makam paling tua di desa itu, yang dikeramatkan warga. Masyarakat menyebutnya Makam Krau, dengan tokoh yang dimakamkan adalah Mbah Ageng. Namun mereka sebenarnya tidak tahu siapa sebenarnya.

Di Ayamalas saya justru menemukan petilasan yang tak terbayangkan sebelumnya. Yakni keberadaan tempat yang menandakan jejak keberadaan tokoh jaman Mataram yang pernah pernah menghancurkan istana Amangkurat. Yaitu tempat di mana dulu diyakini Trunojoyo dan Pangeran Kajoran menginap selama pengejaran sang raja Mataram. Makam itu sekarang disebut Makam Kaloran. Sebuah pelesetan nama dari Makam Kajoran.

Hubungan Baribin dan ayam hutan, dalam buku “Sejarah Mentalitas Banyumas” disebutkan bahwa hal itu adalah penanda juga. Ayam adalah binatang totem bagi Baribin karena Raja Majapahit pun memakai binatang itu sebagai nama diri, Hayam Wuruk. Hingga pada hakikatnya, ayam hutan itu bisa juga merupakan simbol dari Raden Baribin sendiri. Sebagai ayam hutan yang disetarakan dengan Hayam Wuruk, karena masih keturunannya.

Ayam jantan atau jago, alam masyarakat Jawa merupakan simbil dari Ratu Adil yang diharapkan kehadirannya untuk menyelesaikan kekacauan. Raden Baribin merupakan jago yang diharapkan mampu menganggulangi kekacauan di Majapahit. Namun, sebagai jago dia harus terusir dari kandangnya. Dia menjadi pecundang yang harus keluar masuk hutan.

Karena itulah Raden Baribin disimbolkan dengan ayam hutan yang melolskan diri memasuki negeri lain. Keluar dari Majapahit masuk ke Pajaran. Sebagai jago, hal itu menjadi awal mula takhta dan kemuliaan bagi keturunannya di wilayah Banyumas, yang merupakan perbatasan Majapahit dan Pajajaran.

Keselamatan dari bahaya dan lolos dari segala halangan menerbitkan rasa syukur dan terima kasih pada pihak lain, yakni ayam hutan.