BABAD BANYUMAS 30: Ki Buwang Yang Terbuang

Standar
Mengapa Ki Buwang sampai terbuang dari Wirasaba?

Ki Ageng Buwara I adalah adik Raden Paguwan, Adipati Wirasaba pertama. Ki Ageng Buwara II adalah mertua Raden Urang, Adipati Wirasaba kedua. Sedangkan Ki Buwang adalah adik Raden Surawin, Adipati Wirasaba ketiga.

Kisah Ki Buwang bermula dari disahkannya Raden Katuhu sebagai Adipati Wirasaba keempat oleh Raja Majapahit.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuturkan, ketika Adipati Wira Hutama II, memerintahkan anak angkatnya, Raden Katuhu, mengirim upeti ke Majapahit. Adipati Wirasaba ketiga itu, menyuruh juga adiknya, Ki Buwang, untuk menemaninya.

Dalam tembang Kinanti dituliskan, “Ki Dipati alon muwus, Thole malbuweng nagari, bulubekti aturena, mring sang Prabu Majapahit, Thole karo pamanira, Ki Buwang gawanen kanthi.”

Sang adipati pelanberkata, “Anakku, menghadaplah kamu ke Majapahit. Upeti persembahan Wirasaba antarkanlah kepada sang Prabu Majapahit. Anakku, berangkatlah bersama pamanmu. Ki Buwang menjadi temanmu.”

Maka berangkatlah ke Majapahit mereka berdua dengan iringan prajurit Wirasaba.

Tidak diduga oleh Ki Buwang, ternyata kedatangan Raden Katuhu justru menjadi ancaman bagi kedudukannya.

Ketika seorang adipati tidak punya anak laki-laki, maka yang akan menggantikan kedudukannya adalah adiknya. Begitulah peraturan turun temurun yang berlaku.

Raden Bagus Surawin dikisahkan tidak punya anak. Karena itu, bila Adipati Wira Hutama II meninggal, seharusnya takhta Wirasaba turun pada Ki Buwang. Namun dengan pengangkatan Raden Katuhu, hilanglah harapan itu.

Karenanya, ketika dalam perjalanan pulang dari Majapahit, Ki Buwang mendahului pulang. Begitu sampai di pegunungan Sumbing, ia mohon diri pulang ke Wirasaba lebih dulu.

Ternyata, kepulangan itu memendam kemarahan dengan keputusan yang diberikan oleh Raja Majapahit. Ia tidak menerima keputusan yang mengecewakan itu. Namun, karena dia tidak punya kedudukan apapun, hingga tak punya kekuasaan untuk menolak. Maka jalan satu-satunya adalah menggagalkan keputusan tersebut.

Ki Buwang pun membuat laporan palsu pada kakaknya, Adipati Wira Hutama II.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan peristiwa itu dalam tembang Kinanthi. Seperti kita tahu, tembang macapat Kinanthi sering ditembangkan untuk melambangkan harapan. Dan, harapan yang lama dibayangkan Ki Buwang mendadak hilang.

Samana datan winuwus, Ki Buwang ingkang winarni, Paguwan gerahe waras, kang putra den anti-anti, samana lagya alenggah, Ki Buwang prapta ing ngarsi.

Ketika itu dikisahkan, Ki Buwang yang kemudian diceritakan. Adipati Paguwan, Wira Hutama II, sudah mulai sembuh sakitnya. Sang anak, Raden Katuhu, ditunggu kepulangannya. Waktu itu ia sedang duduk di pendapa. Datanglah Ki Buwang menghadapnya.

Berkata sambil menangis tersedu. Disampaikan bahwa Raden Katuhu telah menyalahi janji. Hingga keluarlah keputusan Raja Majapahit. Bahwa Adipati Paguwan diberhentikan. Raden Katuhu yang menggantikan di Wirasaba. Bahkan telah diberi gelar Adipati Marga Utama. Juga diberi seorang istri dan seekor gajah.

Ki Buwang menakut-nakuti bahwa Adipati Paguwan pun akan dibuang. Semua saudara juga tidak akan diberi kekuasaan apapun.

Setelah melapor pada kakaknya, Ki Buwang langsung bersiap senjata. Empat puluh prajurit jumlahnya.

“Kula begalana ing margi. Tan nedya mundur sanyari.”

Begitu pamitnya pada sang kakak. Ki Buwang akan menghadang kepulangan Raden Katuhu. Tak akan mundur menghadapinya.

Maka, demikianlah yang kemudian terjadi. Ki Buwang mencegat di tengah jalan, ketika rombongan Raden Katuhu sampai di Kali Palet. Prajurit Ki Buwang langsung menyerbu. Bahkan dengan keris kecilnya ia mengamuk membunuh semua prajurit yang mendekat.

Singkat cerita, Ki Buwang berhasil dilumpuhkan. Bahkan terbunuh oleh keris pusaka Raden Katuhu. Juga anaknya, Bagus Kasan. Sama-sama tertikam pada lambung kirinya.

Setelah menguburkan ayah dan anak, Raden Katuhu melanjutkan perjalanan pulang ke Wirasaba.

Sesampai di hadapan ayah angkatnya, Adipati Wira Hutama II, Raden Katuhu menyembah. Hormat. Takzim. Begitupun dengan sang istri, yang merupakan putri pemberian Raja Majapahit. Bersujud menyembah padanya.

Sang ayah pun menangis tersedu melihat penghormatan itu. Merasakan kebohongan yang telah dilaporkan adiknya, Ki Buwang.

“Kang rama asengguk-sengguk, menget tingkahe Ki Buwang.” Begitu Babad Banyumas menuliskan pertemuan ayah dan anak angkatnya.

Adipati Wira Hutama II menerima keputusan Majapahit. Ia memasrahkan takhta kadipaten pada Raden Katuhu. Setelah itu ia memutuskan keluar dari kadipaten. Membuka lahan perkebunan di utara Wirasaba untuk mengisi hari tua.

Suatu saat, pada suatu hari, sang anak, Raden Katuhu bersama istrinya berkunjung menjenguk sang ayah. Menantunya itu membawa banyak pakaian sebagai persembahan. Ikat kepala, kain, jubah, dan sabuk. Semuanya rangkap tiga.

“Ing ngarsa lajeng ngujungi, kang rama kamembeng waspa.”

Bersujudlah mereka di hadapannya. Sang ayah tidak kuasa menahan haru bahagia. Begitu Babad Banyumas Mertadiredjan mencatat peristiwa mengharukan itu. Hingga yakin bahwa semua yang disampaikan Ki Buwang adalah kebohongan belaka.

Raden Katuhu, juga istrinya, sangat menghormatinya. Bahkan mengunjunginya dengan membawa banyak hadiah.

Adipati Wira Utama II mengisi hari tuanya di lahan perkebunan yang dibukanya. Lahan yang kemudian dikenal dengan nama Kecepit, karena letaknya yang terjepit aliran sungai Serayu. Ada juga yang menyebutnya dengan kebun Pakembangan.

Perkebunan itu sekarang menjadi desa Kembangan. Berbatasan langsung dengan desa Wirasaba, di Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Makam Wirahutama II dan makam Raden Katuhu atau Marga Utama, bisa ditemukan di sana.

Sementara makam Ki Buwang, menurut penuturan Babad Banyumas Mertadiredjan, berada di Kali Palet. Kali Palet sekarang masuk wilayah Banjarnegara. Namun saya belum melacaknya ke sana.

Tinggalkan komentar