BABAD BANYUMAS 31: Yang Malang Di Bale Malang

Standar
Siapa yang malang di bale malang?

Inilah kisah yang pertama saya dapatkan dari panggung ketoprak terkait Babad Banyumas. Kisah kematian Adipati Wirasaba, Warga Utama, yang terbunuh oleh prajurit utusan Sultan Pajang. Kisah yang kemudian diangkat dengan lakon “Geger Wirasaba”.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan awal mula peristiwa sedih itu dalam tembang Gambuh, “Para bupati sagung, manca praja pinundhutan wau, rara ayu nyawiji malebeng puri, samya nyaosi sadarum, rara ayu pra bupatos.”

Semua adipati mancanegara, semua dimintai gadis-gadisnya untuk masuk istana. Semua memberikan putri-putrinya. Ada yang menyerahkan anaknya. Yang tidak punya anak menyerahkan saudaranya. Ada yang menyerahkan cucunya, hingga keponakannya. Dipilihlah yang paling cantik wajahnya. Yang dianggap pantas masuk dalam istana.

Ketika datang perintah itu, Adipati Wirasaba, Warga Utama, mengirimkan anak keempatnya, yang bernama Rara Sukartiyah. Diantar sendiri ke Pajang. Dipersembahkan pada Joko Tingkir. Diterima oleh sang sultan Pajang, kemudian disuruhnya pulang. Adipati Warga Utama pun kemudian pulang.

Namun, tanpa sepengetahuan Adipati Wirasaba, adiknya, Demang Toyareka, datang menyusulnya ke Pajang. Bersama dengan anaknya, Raden Sukra, mengadukan hal yang terjadi terkait putri kiriman dari Wirasaba. Dilaporkan bahwa sebenarnya sang putri bukanlah seorang gadis. Karena sebelumnya sudah menikah dengan anak Demang Toyareka.

Mendengar laporan itu, murkalah Joko Tingkir. Penguasa Tanah Jawa itu merasa dihinakan. Permintaannya adalah gadis, namun dikirim perempuan yang sudah menikah.

Babad Banyumas Mertadiredjan menulis dengan dramatis kemarahan itu dengan bahasa puitis.

“Sang nata amiyarsa, langkung duka jaja bang malatu-latu, andik kang netra ngarirah, kumedhut padoning lathi.”

Saat sang raja mendengar keterangan itu, marahnya tidak terkirakan. Terlihat dari merah wajahnya. Tergambar dari tajamnya sorot mata. Serta terbaca dari getaran ujung bibirnya.

Untuk kisah selanjutnya, saya tulis langsung sesuai naskah aslinya saja. Naskah asli Babad Banyumas Mertadiredjan yang menceritakan kejadian itu. Teks yang aslinya berbahasa Jawa dalam tembang macapat, namun sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sengaja saya kutipkan teks aslinya, biar pembaca bisa menikmati kisah tersebut sesuai yang tertulis dalam babad. Karena salah satu alasan saya berburu Babad Banyumas adalah ingin mengetahui kisah yang tertulis dalam babad. Semoga pembaca pun lebih menikmati membaca teks asli, daripada penuturan saya sendiri.

Beginilah yang tercatat dalam Babad Banyumas, tidak saya tambahi tidak saya kurangi.

Memang sudah takdir Yang Kuasa, Adipati Warga Utama Akan menemui ajalnya. Dibunuh oleh sang raja karena gelap pikirannya terburu oleh amarah. Hingga tidak teliti lebih dulu kebenarannya. Tentang perempuan yang jadi masalahnya.

Sang sultan keras berkata, “ Para prajurit, susul kepulangannya segera Si keparat yang sudah pulang itu, Adipati Wirasaba. Di manapun bisa terkejar, langsung bunuh saja!”

Tiga orang prajurit memberikan sembah. Kemudian berangkat menunggang kuda

Sang sultan masuk ke dalam istana. Kemudian memanggil  putri persembahan yang dikirim dari Kadipaten Wirasaba.

Setelah sampai di hadapan, bertanyalah sang raja, “Wahai, gadis saya bertanya. Jawablah yang sebenarnya. Apakah kamu sudah punya suami?”

Sang putri menjawab pertanyaan sang raja, “Sesungguhnya, paduka raja, inilah saya seutuhnya, yang sebenarnya saya tidak punya suami. Bahwa dulu memang pernah menikah. Namun karena perintah ayah saya. Menikah dengan orang Toyareka. Tetapi hamba tidak suka kepadanya. Hingga pernah sampai berhubungan dengan suami saya itu. Sekalipun hamba tak pernah mau.

“Akhirnya saya diceraikan oleh ayah saya dengan suami saya. Suami saya pun menuruti keputusan itu. Sudah tiga bulan yang lalu. Sekarang saya dipersembahkan pada sang raja. Maka sekarang sudah empat bulan lamanya, kalau dihitung sejak perceraian dulu.”

Ketika sang raja mendengar penjelasan sang putri, sangat menyesal dengan keputusan sebelumnya.

Dengan segera dipanggil tiga prajurit menghadap kepadanya. Dan berkatalah sang raja, “Wahai, kalian para prajurit, segeralah susul temanmu yang tadi berangkat. Para prajurit yang saya perintahkan tadi untuk membunuh Adipati Wirasaba. Sampai di mana pun kalian bertemu, kalian saya perintahkan untuk membatalkan. Jangan sampai ia dibunuh, karena sang adipati tidak bersalah.”

Tiga prajurit langsung menyusul prajurit yang sebelumnya berangkat. Jalannya cepat sekali.

Tidak dikisahkan selama perjalanan mereka. Sang Adipati Wirasaba sedang dalam perjalanan pulang. Karena punya saudara, Kyai Angger di desa Bener, disinggahinya.

Ketika itu mereka tengah duduk di bale malang. Kyai Adipati Wirasaba dijamu nasi dengan lauk pindang angsa. Betapa nikmat mereka makan bersama.

Ketika baru makan habis setengah, datanglah tiga orang prajurit yang pertama. Turun dari atas kudanya segera menghadap sang adipati. Para prajurit berdiri di depannya hendak menyampaikan perintah sang sultan. Namun tidak enak hati, karena sang adipati sedang makan. Hingga ditunggu sampai selesai makan.

Kagetlah sang adipati saat melihat ada tiga prajurit menyusulnya. Kemudian sang adipati pun bertanya, “Ada perintah apakah?”

Tiga prajurit itu menjawab, “Silahkan diselesaikan saja dulu makannya. Memang ada perintah yang akan disampaikan. Namun nanti saja kalaus udah selesai makan.”

Sementara itu, para prajurit yang menyusul, yang diperintahkan untuk membatalkan perintah membunuh sang adipati, sudah sampai di Bener. Mereka tidak jauh jaraknya dari tempat itu.

Prajurit yang datang pertama melihat kedatangan prajurit yang datang menyusulnya. Mereka kemudian berdiri di depan Adipati Wirasaba.

Melihat prajurit pertama berdiri, prajurit yang menyusul melambaikan tangannya, “Kalian, para prajurit mundur! Perintah sang raja sudah dibatalkan!”

Tergagap mereka berkata-kata, karena jarak yang cukup jauh. Sementara yang diberi perintah tidak paham menangkap lambaian tangan tersebut.

Prajurit yagng pertama malah terkejut melihat ada prajurit susulan yang datang. Hingga bertanyalah dalam hati, “Mengapa mereka melambaikan tangannya? Apakah maksudnya untuk segera membunuh sang adipati?”

Memang sudah kehendak Yang Maha Besar. Mereka yang diberi pesan tidak menangkapnya. Hingga ketiga prajurit itu kemudian mengepung Adipati Wirasaba. Sambil masing-masing menarik kerisnya. Kemudian dengan bersamaan ditusukkan pada sang adipati. Ditikam tepat di dadanya.

Kagetlah para prajurit yang menyusul melihat itu. Sang adipati telah tertikam keris. Semakin kencang mereka berlari.

Setelah berhadapan, dengan keras mereka bertanya, “Hai, kalian, mengapa bertindak demikian itu? Mengapa kalian membunuh sang adipati? Padahal kedatangan kami ini diperintahkan oleh sang sultan untuk mengurungkan pembunuhan. Kyai Adipati Wirasaba tidak ada kesalahannya. Hanya karena sang sultan tergesa-gesa. Tidak meneliti masalah lebih dulu.

“Itulah mengapa kami tadi melambaikan tangan pada kalian!”

Prajurit yang datang pertama menjawab, “Saya tidak paham maksudnya. Maka saat saya melihat kalian melambaikan tanganmu, saya kira justru untuk segera melakukan pembunuhan pada sang adipati. Maka dengan cepat kami lakukan membunuh sang adipati!”

Para prajurit yang datang belakangan bertanya, “Lalu sekarang bagaimana ini? Semua sudah terlanjur terjadi. Apa yang akan disampaikan pasa sang sultan?”

Pada waktu itu sang adipati belum sampai meninggal. Mendengar para prajurit saling berdebat Dengan pelan ia berkata, “Sudahlah, jangan saling menyalahkan. Para prajurit semua kembalilah bersatu. Jangan saling menyalahkan begitu. Nanti malah celaka semuanya.”

Dengan terputus Kyai Adipati berkata, “Wahai, para prajurit semuanya. Sekarang dimusyawarahkan saja. Jangan lagi bertengkar begitu. Katakanlah bahwa semua sudah terlanjur. Jika bersatu maka akan selamat. Adapun keadaan saya ini, sudah menerima kehendak Yang Maha Besar. Bahwa saya dipanggil menghadap sultan hanya menjadi jalan saja. Tidak bisa berubah bila sudah menjadi ketentuan.”

Adipati Warga Utama begitu ikhlas menerima takdirnya. Ketentuan yang tak bisa dielakkan, kaernas sudah jadi keputusan jalan hidup dari Yang Kuasa.

Tinggalkan komentar