Aku sebenarnya tidak ingin menceritakan ulang yang telah banyak diketahui orang.
Aku justru ingin, sesekali bercerita tentang Solo dari sudut pandang yang lainnya. Solo yang tidak selalu identik dengan keraton atau pun budaya Jawa.
Karena sesungguhnya, masih banyak sisi menarik yang membuatku selalu terpikat dan terpesona dengan ranah rantauku ini. Pernik-pernik unik denyut kehidupan kota yang senantiasa membuat jatuh cinta. Hal-hal yang menjadikanku seperti menemukan masa lalu sekaligus masa depan, justru ketika jauh dari kampung halaman. Kisah-kisah kehidupan yang remeh temeh namun sangat membahagiakan.
Tapi sepertinya kisah-kisah seperti itu harus kutunda untuk diceritakan. Sebab tiap saudara atau sahabatku dolan ke rumahku, yang pertama mereka ingin kuantarkan, adalah keraton. Seolah-olah hanyalah keraton, yang ada dalam pikiran semua orang tentang kota bengawan ini.
Maka mau tidak mau, aku pun akan bercerita tentang perjalananku ke sana. Perjalanan panjang yang pernah kulakukan, untuk menelusuri kisah masa silam yang telah terlupa. Mengenang kejayaan kekuasaan yang selalu menyisakan legenda. Juga cerita-cerita dari bangunan tua yang mengajakku memaknainya.
Sebuah ziarah sejarah menyisir derak kehidupan dan pergantian jaman, yang terjadi di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat. Apa boleh buat!
Keraton Solo, begitu orang lebih gampang menyebutnya. Namun sebutan lengkapnya adalah Keraton Kasunanan Surakartahadiningrat. Yang berarti ‘istana tempat sang raja yang bergelar Sunan bertakhta di negeri Surakarta yang terindah di muka semesta’. Keraton yang merupakan peninggalan Mataram Islam di pedalaman pulau Jawa. Sebuah kerajaan hasil pemindahan dari keraton Kartasurahadiningrat.
Keraton Solo adalah kelanjutan dari kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di pulau Jawa sebelumnya.
Setelah kejayaan Majapahit runtuh karena perang Paregreg yang berkepanjangan, Kesultanan Demak Bintoro di pesisir utara Jawa berdiri tegak menggantikan. Raden Patah mampu membawanya mengalami puncak kejayaan. Namun setelah wafatnya Sultan Trenggono, Demak mengalami kegoncangan. Sebuah perebutan takhta yang menjadi awal kemundurannya. Bahkan kemudian sampai pada keruntuhannya.
Kesultanan Demak hancur karena sengketa keturunan Raden Patah. Hingga akhirnya kekuasaan dilanjutkan Kerajaan Pajang di pedalaman Jawa. Namun dengan meninggalnya Sultan Hadiwijaya, Pajang pun turut tenggelam. Kekuasaan beralih ke Mataram, di pesisir selatan Tanah Jawa.
Panembahan Senopati, sang raja Mataram mula-mula membangun kerajaannya di Kota Gede. Namun di masa Sultan Agung berkuasa, pusat pemerintahan Mataram dipindah ke Kerta. Dan raja penggantinya, Amangkurat Agung memindahkan lagi ke Plered, sebuah istana megah yang letaknya di selatan Kerta dan Kota Gede.
Kemudian setelah terjadi pemberontakan Trunojoyo, ibu kota Mataram pun berpindah lagi. Amangkurat Amral memilih Wonokerto menjadi pengganti Keraton Plered. Dan istana yang baru itu dinamakan Keraton Kartasurahadiningrat.
Pemberontakan terjadi lagi pada masa Mataram di bawah kuasa Paku Buwono II. Istana yang telah diduduki musuhnya, Sunan Kuning, dianggap tak lagi bisa dilanjutkan. Maka pusat pemerintahan pun berpindah ke arah timur Kartasura, menuju ke desa Solo.
Sejak itu desa di pinggiran Bengawan Semanggi itu pun berganti nama menjadi Surakarta, karena menjadi ibu kota Keraton Surakartahadiningrat. Sebuah perubahan nama dari Kartasura menjadi Surakarta. Mengingatkan kita pada Tokyo dan Kyoto!
Kita bisa datang ke keraton Solo dengan naik apa saja. Bisa dengan becak, angkot, bus kota, taxi, atau pun mobil pribadi. Tergantung selera dan kenikmatan tamasyanya. Namun dari mana pun datangnya, berhentilah di Gladag.
Perempatan Gladhag adalah gerbang utama menuju keraton Solo. Orang lebih mengenalnya sebagai Gapura Gladag.
Kata gapura konon berasal dari kata ‘ghafura’ yang berarti pengampunan. Melambangkan niatan untuk mendekatkan diri pada Tuhan, yang diawali dengan meminta pengampunan atas segala kesalahan.
Gapura Gladhag merupakan bangunan peninggalan Paku Buwono III, raja kedua yang menempati keraton Solo. Sebuah pintu gerbang yang dibangun kembali dengan megah oleh Paku Buwono X pada tahun 1913. Hingga kalau diteliti, ada penanda berupa 48 pilar pagar dengan hiasan 48 plenthon pada bangunan ini. Sebuah penanda peringatan 48 tahun usia Paku Buwono X pada saat membangun gapura itu.
Di depan gapura, terdapat dua patung besar yang mengerikan. Orang-orang menyebutnya sebagai Reca Gladag, atau Patung Gladag. Sosok raksasa yang berada di kanan kiri gapura ini bernama Gupala Pandhitayaksa. Sebuah perlambang akan datangnya bermacam godaan dan rintangan, pada setiap niatan kebaikan yang hendak kita lakukan.Termasuk niatan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Selepas meninggalkan gapura Gladag, kita akan memasuki satu gerbang lagi, yakin gapura Pagrogolan.
Kawasan ini konon, dulunya merupakan kandang hewan ketika sang raja gemar berburu binatang. Sebuah perlambang, bahwa setiap manusia memiliki sifat-sifat kebinatangan. Hewan-hewan buruan yang akan disembelih dikandangkan terlebih dulu di kanan-kiri gapura ini. Sebuah perlambang, agar kita semua bisa mengendalikan nafsu hewani yang ada pada diri kita.
Saat ini, setelah dua setengah abad sejak ditanam, pohon-pohon beringin di sekitar gapura telah sangat lebat. Daun-daunnya rimbun hingga menawarkan suasana kesejukan dan kedamaian. Menjadikan paru-paru kita sehat ketika melewatinya, dan bisa bernafas lega seperti tengah berada di sebuah alam bebas. Namun ini, justru berada di tengah jantung kota.
Dulu, trotoar di sepanjang kawasan ini sumpek oleh pedagang kaki lima. Namun sekarang, ada pelarangan dari pemerintah untuk berjualan di sini. Maka yang ada sekarang, tinggal jajaran ….. para pengemis.
Masuk lagi ke selatan, kita akan melewati gerbang satu lagi, yakni gapura Pamurakan.
Di sinilah binatang-binatang buruan yang sebelumnya berada di kandang itu disembelih. Sebuah petuah, bahwa untuk mendekat pada Tuhan, jalan pertama yang ditempuh adalah menyembelih nafsu kebinatangan kita. Membunuh nafsu hewani yang ada.
Sekarang, masih terdapat peninggalan masa lalu. Yakni sebuah batu landasan, yang dulu dijadikan alas penyembelihan hewan. Namun kini telah diabaikan orang, bahkan dijadikan alas penjual makanan menggelar dagangan. Inilah yang disebut orang dengan nama Sela Kentheng atau batu penyembelihan.
Memasuki sepanjang gapura ini, bersiap-siaplah menjadi orang terkenal, yang akan langsung dikerubuti banyak penggemar.
Karena begitulah yang dulu terjadi denganku. Aku yang selama hidup hanya orang biasa, serasa menjadi orang penting yang tiba-tiba disambut banyak orang.
Yakni para tukang becak yang menyambutku penuh semangat keramahan.
“Keliling, Mas. Ke museum, ke keraton, cuma lima ribu!”
“Keliling keraton, pasar Klewer, batik Kauman. Sepuluh ribu saja, Mas!”
Namun dengan senyuman termanisku, keramahan yang sangat hangat itu kutolak dengan hormat. Aku ingin berjalan-jalan dengan jalan kaki saja. Selain biar bisa menikmati suasanan yang ada, juga demi kesehatan.
Tentu, kesehatan badan dan terutama kesehatan kantong.
Maka dimulailah ‘Slow in Solo!’
oleh Nassirun Purwokartun pada 11 Februari 2011 pukul 22:29