Daily Archives: 14 April 2012

Catatan Kaki 30: Ternyata Aku dan Einstein Pernah Sama-sama ‘Sontoloyo’

Standar

Karena ingat Einstein yang ‘bodoh’, terkenanglah aku pada ‘sontoloyo’.

Sebuah umpatan sangat menyakitkan, yang pernah kuterima dari Pak Jono. Kata-kata yang sempat membuat semangat belajarku di kelas 4 benar-benar loyo.

Kata itu pula yang semalam menjadikan buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’nya Bung Karno kembali kubaca. Buku yang sangat tebal dan mahal yang merupakan karya monumental dari Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.

Dua jilid buku yang tebalnya seperti bantal itu pernah menjadi buku yang sangat dicari karena merupakan buku langka. Hingga untuk satu buku yang terbitan pertama, tahun 1959, dibanderol oleh para kolektor dari 25 hingga 60 juta. Sementara untuk cetakan berikutnya, tahun 1963, diberi harga antara 10 hingga 30 juta perbukunya.

Dan aku telah memiliki lengkap keduanya. Dengan harga yang murah, karena telah lewat masa euforianya. Aku mendapatkannya hanya dengan harga 500 ribu saja.

Namun sampai sekarang, setelah dua tahun terbeli, belum kuselesaikan membacanya. Hanya pada beberapa bagian saja. Aku masih menunggu saat yang tepat untuk mengkaji pemikiran Bung Karno. Pemikiran yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan perenungannya, ketika dalam pembuangan pada jaman penjajahan Belanda.

Dan semalam sempat membuka jilid pertama, karena di dalamnya terdapat artikel ‘Islam Sontoloyo’. Pemikiran yang dituliskan sewaktu dalam pembuangan di Bengkulu, di saat ia menjadi guru SD Muhammadiyah. Ketika sang Bung sedang sangat berminat mendalami ilmu Islam. Setelah banyak bertukar pikiran dengan Ustadz A. Hasan, pemimpin Persis Bandung, lewat surat menyuratnya ketika masih dalam pembuangan di Ende.

Namun setelah membaca pemikirannya itu, aku tak menemukan kejelasan dari kata ‘sontoloyo’ yang pernah diucapkan oleh guru sekolah dasarku. Karena yang dimaksud dengan ‘Islam Sontoloyo’ dalam kacamata Bung Karno adalah sebuah kritikan bagi para pengikut Islam yang ‘terlalu mementingkan kulit daripada isi’.

Padahal umpatan ‘sontoloyo’ yang pernah diberikan guruku waktu itu, karena kesalahanku yang suka ribut ketika diterangkan. Swaktu Pak Jono menjelaskan tentang wayang, aku asyik bercanda dengan teman sebangkuku yang kepalanya pitak. Di tengah rambutnya yang lebat, ada bekas luka yang membuat kulit kepalanya tidak ditumbuhi rambut. Dan untuk menutupi ‘lapangan kutu’ itu, dia suka memintaku untuk menutupinya, dengan cara mencoretkan bolpen memenuhi bagian yang pitak.

Karena merasa telah mengetahui soal nama-nama wayang berikut kerajaannya, aku menganggap tak penting memerhatikannya. Lebih asyik membantu menghitamkan pitak kepala temanku. Namun justru karena niat baik itu membuat marah Pak Jono. Kemudian melempar kepalaku dengan penghapus kayu, sambil memberikan umpatan ‘sontoloyo’.

Seluruh kelas mentertawakan kejadian itu.

Betapa malunya mukaku. Juga sangatlah sakit hatiku. Sakit hati dan malu yang menggumpal membatu. Menjadikanku kecewa sekaligus membenci guruku.

Entah apa maksudnya, ada seorang guru yang memberikan julukan demikian jeleknya pada muridnya. Apalagi aku pun tak paham, arti kata umpatan yang telah diucapkannya.

Yang kutahu, teman-teman sekelas kemudian ikut-ikutan memanggilku dengan sebutan itu. Menjadi ejekan yang sangat memalukan. Sekaligus mematikan. Aku pun marah dan jengkel dengan panggilan itu. Marah pada Pak Jono yang telah melontarkan umpatan itu. Jengkel pada teman-teman yang selalu mengolok-olokku. Meski aku pun yakin, saat itu mereka sebenarnya tak memahami benar makna ledekannya padaku.

Namun ternyata, bertahun-tahun kemudian kejadian itu masih membeku di batinku. Terbawa hingga usia tuaku, meski peristiwanya telah lewat 22 tahun berlalu.

Sontoloyo!

Dan karena umpatan memalukan itu, semangat belajarku langsung turun tiba-tiba. Yang sebelumnya pada catur wulan 1 dan 2 aku menduduki ranking 2, anjlok menjadi ranking 4 pada catur wulan 3. Karena tidak masuk dalam 3 besar, membuatku tak mendapatkan hadiah buku seperti pada catur wulan-catur wulan sebelumnya, sejak aku kelas 2.

Namun karena beban ‘murid sontoloyo’ pula, aku mulai bangkit lagi setelah naik kelas 5. Setelah Pak Jono tak lagi menjadi guru kelasnya. Untuk membuktikan bahwa aku bisa berprestasi lagi. Sejak itu, aku makin giat belajar hingga prestasiku melonjak kembali.

Di kelas 5 aku bisa menduduki ranking 2 pada catur wulan ke 1 dan 2. Bahkan pada catur wulan 3 aku mampu menjadi ranking pertama. Prestasi yang tak pernah kudapatkan sebelumnya, sejak aku kelas 2.

Semangat belajarku terus kukembangkan dengan mengulang pelajaran yang diterangkan guru di kelas. Setiap pulang sekolah, aku menuliskan rangkuman yang telah disampaikan. Jadi aku mempunyai 2 buku setiap pelajaran. Satu buku pelajaran yang diberikan ketika guru mengajarkan, satu lagi yang kubuat sendiri di rumah sebagai rangkuman.

Dan ternyata kebiasaan itu sangat membantu proses belajarku. Hingga setelah naik ke kelas 6, aku bisa ranking pertama dalam setiap catur wulannya. Bahkan kemudian berhasil lulus dengan NEM tertinggi di sekolahan. Dan hadiah buku pun kembali kudapatkan.

Setelah aku renungkan, sepertinya orang semacam aku memang seharusnya diumpat lebih dulu untuk bisa bangkit. Karena kalau tidak dimaki dengan julukan ‘sontoloyo’ itu, mungkin aku hanya berpuas diri menjadi ranking 2 di kelas. Dan setelah dipermalukan di kelas itulah, aku menjadi lebih tekun belajar, dan tak lagi ribut ketika guru menjelaskan.

Maka mungkin benar adanya, bahwa ejekan dan olok-olok tidak selamanya berakibat merugikan. Karena kadangkala, justru bisa dijadikan lecutan membangkitkan semakat. Semacam pijakan untuk bangkit dan berdiri lebih tegak dari sebelumnya.

Bukankah pernah kita baca kisah tentang nasib kuda yang terperosok lobang. Sang kuda yang sudah bernasib sial itu, semakin sial karena tak ada seorang manusia pun mau menolongnya. Bahkan kesialan berikutnya datang, ketika manusia justru menjadikan lubang besar itu menjadi tempat sampah mereka. Tiap hari mereka membuang sampah ke dalam lubang itu. Namun tak disangka, dengan menjadikan sampah-sampah itu sebagai pijakan kakinya, setahap demi setahap sang kuda bisa naik ke atas. Hingga akhirnya bisa keluar dari lubang yang memerangkapnya. Dan kembalilah ia menghirup udara segar.

Aku pun menjadi tersadarkan. Meski datang setelah 22 tahun kemudian.

Namun untuk mengobati penasaranku tentang kata ‘sontoloyo’ itu, aku pun mencarinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam buku terbitan Balai Pustaka itu, ternyata ‘sontoloyo’ berarti konyol, tidak beres, dan bodoh, yang dipakai sebagai kata makian.

Aku baru tahu, bahwa dulu aku ternyata dianggap ‘konyol dan bodoh’ oleh guruku!

Dan aku pun kembali terkenang pada kisah masa kecil Einstein. Yang konon pada waktu sekolahnya pun, sang jenius itu pernah dicap sebagai ‘anak bodoh yang berotak udang’ oleh gurunya. Karena sampai kelas 6, ia masih belum lancar membaca, dan selalu ranking terakhir di sekolahnya. Hingga sang guru yang merasa tak sanggup mengajar kemudian mengeluarkan dari sekolah, lalu mengembalikan pada orang tuanya.

Namun meski sama-sama pernah dicap ‘anak bodoh’ di sekolahnya, nasibku dan Enstein ternyata jauh berbeda. Otakku tetap tak bisa menjadi sejenius otaknya, bahkan hingga menginjak usiaku yang sudah berkepala tiga. Tetap saja menjadi otak udang, rasanya.

Aku pun kembali tergelitik mencari penyebabnya. Mengapa akibatnya berbeda dengan Einstein yang kemudian menjadi sosok super jenius dunia. Di mana sebab bedanya.

Apa mungkin karena aku sudah lancar membaca sebelum kelas enam? Apa karena aku belum pernah menjadi ranking terakhir di kelas? Apa karena dulu tak sampai dikeluarkan dari sekolah dan disuruh belajar di rumah?

Atau karena potongan rambutku yang lebih rapi daripada potongan rambutnya? Atau karena wajahku lebih cakep dan penampilanku lebih klimis dari dia? Atau karena aku berkacamata?

Coba aku tanya Ummi saja, siapa tahu istriku justru mempunyai jawabannya!

oleh Nassirun Purwokartun pada 12 Januari 2011 pukul 22:45

Catatan Kaki 29: Dalam Kamar Gelap yang Pengap

Standar

Kesadaran itu seperti sebuah sorotan cahaya. Begitu petuah bijak berkata.

Sebelum mampu memancarkan cahaya batin pada apa yang terjadi dalam diri, kemungkinan akan terus merasa tersesat, bingung berada dalam kegelapan.

Dan itulah sungguh yang sedang kurasakan. Paling tidak seharian ini. Sejak pagi hingga sore tadi, aku bingung akan mengerjakan apa. Mau membaca, malas. Mau menulis, berat. Menggambar, enggan. Hingga suntuk sungguh rasa di jiwa.

Seolah hidup tak ada gairah. Tak ada semangat untuk melakukan apa pun, mengerjakan apa pun. Bahkan sekadar berpikir pun, otak terasa tumpul. Hati turut beku. Kaku. Dingin.

Aku seakan berada dalam gelap yang pengap. Tanpa ada cercah sinar, pertanda ada harapan memancar. Seolah berada dalam ruang hampa udara, yang menyesakkan.

Aku terjebak dalam gelap kamar kebosanan yang menjemukan.

Untuk sekadar membuang penat, aku pun masuk dalam kamar buku. Telentang di tengah ruangan, dengan beralaskan tikar pandan yang kubentangkan. Kutatap rak-rak buku yang menyesak di kamarku. Keempat sisi dindingnya penuh dengan jajaran lemari, dari lantai hingga menyentuh atap. Hanya meluangkan ruang pintu dan jendela saja. Aku lihat satu per satu dari lemari kiri ke kanan. Seolah mengabsen buku yang pernah kubaca, dan kuingat isinya. Dari lemari buku agama, sejarah, budaya, sastra, hingga humaniora.

Ingin sekali menuangkan pengetahuan yang ada dari ribuan buku itu, untuk kemudian kutuliskan menjadi buku. Menjadi warisan pemikiran untuk kedua anakku, sekadar kebanggaan yang ingin kusematkan di namaku. Tapi kebosanan itu mendadak menyergap. Hari ini aku sangat malas membaca, sekaligus berat menulis.

Benarlah kata-kata Ali Thantawi, “Kemalasan yang ada pada diri kita, seringkali terasa lebih manis dibandingkan madu.”

Kaca mata kubuka. Kuletakkan di rak buku terdekat, agar tak lupa. Sudah berulangkali aku kebingungan mencarinya setiap bangun tidur. Bahkan beberapa kali pecah, karena tak sengaja mendudukinya.

Kemudian lampu kamar kumatikan. Tiduran lagi dalam suasana gelap. Mata sengaja tidak dipejamkan. Berdiam diri dalam gelapnya kamar buku, yang hanya menyisakan cahaya dari kisi-kisi di atas jendela.

Aku terdiam. Tidak melakukan kegiatan apa pun. Membisu.

Dalam gelap, membuat kita tenang, tapi sekaligus membawa kesadaran.

Perenungan datang ketika dalam kegelapan. Kesadaran pun datang, ketika ruang tak ada lampu yang menyala. Gelap yang membuat hati lebih lembut untuk menangkap segala lintasan pikiran dan perasaan.

Bahkan dalam kamar gelap, membuatku banyak menemukan ide-ide brilian.

Gelap. Ah, ini bisa diasosiasikan sebagai kegelapan batin juga. Ketika hati kita sedang mengalami kegelapan, mengalami kegelisahan, kecemasan, keresahan. Itulah di saat asa serasa hampir putus, tak ada bayangan harapan yang membuat hidup lebih bergairah.

Itulah yang kurasa saat ini. Berdiam dalam kamar buku yang gelap. Membayangkan ribuan buku yang telah menyesak dalam otakku. Namun tetap tak membuatku bijak dalam meniti liku kehidupan. Pengetahuan hanya menjadi wawasan tanpa pengamalan.

Dan itu pulalah yang mungkin membuatku sesak. Seolah merasakan kepengapan hidup, dalam suasana yang semakin gelap. Aku hidup dengan nafas yang selalu terburu, bergegas seolah dikejar waktu. Hingga waktu habis untuk kerja, kerja, dan kerja.

Sesekali mungkin memang harus merasakan bosan. Agar bisa masuk dalam gelap perenungan. Untuk kemudian menemukan cahaya, yang bermakna kesadaran.

Maka mestinya aku pun tak perlu mengutuk kegelapan itu. Kegelapan batin dan jiwa. Karena kegelapan itu pun sesungguhnya aku sendiri yang membuatnya. Seperti ruangan kamar bukuku yang menjadi gelap, karena aku pula yang mematikan lampunya.

Aku harus mulai menyalakan lampu, agar suasana kamar menjadi benderang.

Aku pun harus menyalakan pelita hatiku, agar suasana jiwa menjadi terang. Lapang.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 11 Januari 2011 pukul 22:31