Daily Archives: 27 April 2012

Catatan Kaki 50: Ketika Pulau Muria Masih Terpisah dari Pulau Jawa

Standar

rancangan awal, waktu masih berupa lampiran draft novel. sebelum didesain sangat menarik, yang kemudian menjadi bonus novel Penangsang.

“Bonus peta Jawa abad lima belas. Ketika pulau Muria masih terpisah dari pulau Jawa.”

Pada sudut kanan atas novel Penangsang, dalam sebuah desain pojokan buku yang seperti tengah membuka, terbaca kalimat tersebut.

Karena memang itulah bonus dari novelku. Yakni sebuah peta lama yang menggambarkan bahwa dulunya pulau Muria pernah ada. Dan letaknya terpisah dari pulau Jawa.

Mungkin banyak yang tidak mengetahuinya. Bahkan malah bertanya-tanya, “Pulau Muria itu di mana?”

Karena itulah, kemudian kusertakan dalam lampiran novelku. Sekadar untuk memberi pemahaman awal, bahwa ada sesuatu yang bisa untuk menambah pengetahuan. Yang melengkapi semangat novelku, yang ingin menawarkan alternatif penafsiran.

Aku pertama menemukan itu, ketika penasaran dengan letak Demak, yang konon merupakan kerajaan maritim. Sebuah kesultanan yang terletak di tepi laut. Sebagai kejayaan pelanjut Majapahit yang telah runtuh karena kericuhan dari dalam, sejak perang Paregreg.

Dan Demak berjaya lebih dari setengah abad lamanya sebagai negara yang menguasai lautan. Beberapa kali sempat menyerang Portugis di Malaka, dengan armada laut yang sangat tangguh. Bahkan mengusirnya dari Sunda Kelapa dengan penuh kemenangan, hingga mengganti namanya menjadi Jayakarta. Dan semua itu karena ketangguhan kapal perang Demak, sebagai kerajaan maritim yang diakui hingga seberang lautan.

Jadi mestinya, Demak memang berada di tepi lautan, pada pesisir utara pulau Jawa.

Sebab konflik kebijakan kemudian membuat Demak runtuh dari dalam. Ketika Sunan Kalijogo tidak menyetujui kebijakan Demak yang lebih banyak memikirkan daerah pesisir. Sejak era Raden Patah hingga Pati Unus, yang membentangkan kekuasaan dari pesisir kilen hingga bang wetan. Dari Banten, Jayakarta, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Sedayu, Giri, Gresik, hingga Pasuruwan.

Bahkan di akhir kekuasaan Sultan Trenggono, hendak melebarkan kekuasaan sampai ke ujung timur pulau Jawa, ke Panarukan dan Blambangan. Namun rencana itu tidak terlaksana, karena sang Sultan yang menjadi panglima terbunuh di benteng Panarukan.

Menurut Sunan Kalijogo, karena terlalu memikirkan pesisir, Demak sampai melupakan pedalaman. Untuk itulah, ia menyetujui Joko Tingkir ketika memindah kerajaan Demak ke Pajang. Yang kemudian justru menjadi awal keruntuhan Demak sebagai kekuatan maritim.

Penasaranku adalah, mengapa Demak disebut sebagai kerajaan maritim?

Padahal ketika aku datang ke sana, letak kota Demak sangat jauh dari laut. Bahkan jauhnya jarak ke pantai, lebih dari 30 kilometer. Dan hanya ada sungai kecil yang menghubungkan dengan lautan, yaitu sungai Tuntang yang bermata air di Rawa Pening.

Aku pun terus mencoba mencari jawabannya. Dan titik cerah itu kemudian kudapatkan pada beberapa buku yang kubaca.

Pertama aku menemukan penjelasan, dari dua buku penelitian Sjamsudduha, terbitan JP Books. Yang satu berjudul ‘Walisanga Tak Pernah Ada?’ dan satunya ‘ Sejarah Sunan Ampel’. Menurut buku yang merupakan telaah naskah pegon Badu Wanar dan Drajat itu, pendiri kesultanan Demak adalah Raden Hasan. Seorang santri utama Sunan Ampel di pesantern Ampeldenta yang kemudian diangkat menantu. Dan setelah menjadi sultan Demak dikenal sebagai Raden Patah.

Konon pesantren Ampeldenta yang didirikan Sunan Ampel sengaja memilih tempat di tepi lautan, yang juga di daerah pinggiran sungai. Suatu tempat yang subur lahannya, dan strategis karena berhubungan langsung dengan lautan. Yang kemudian dari kapal-kapal yang merapat di pelabuhan, akan mudah mendapatkan bermacam pengetahuan dari seberang lautan. Dan dari pedagang yang singgah akan memudahkan untuk berjual beli barang dagangan.

Dengan pertimbangan yang sama pula, kemudian Raden Patah mendirikan pesantrennya di daerah Glagahwangi. Yang juga berada di tepi laut, dan di pinggiran sungai besar.

Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Sunan Ampel menyuruh Raden Patah untuk mendirikan pesantren. Dan menurutnya, tanah yang baik adalah kalau menemukan tumbuhan glagah yang berbau wangi. Maka berangkatlah ia menuju ke arah barat dari pesantren Ampeldenta. Dan bertemulah dengan lahan yang banyak tumbuhan glagah di sebuah tepian sungai dan lautan, yang menebarkan bau harum.

Maka dibangunlah sebuah pesantren di tanah berawa tersebut. Semakin hari, perkampungan nelayan itu semakin ramai, dan Raden Patah menjadi pemimpinnya. Sebagai putra Prabu Kertabumi, ia kemudian dipercaya mendirikan sebuah kadipaten baru. Kadipaten bawahan Majapahit bernama Kadipaten Glagah Wangi. Dan Raden Patah pun menjadi adipatinya.

Jadi daerah Glagah Wangi, yang menjadi cikal bakal Kesultanan Demak, memang dulunya berada di tepian pantai. Persis seperti pesantren gurunya, Ampeldenta di Surabaya.

Itulah jawaban atas penasaranku yang pertama.

Sedang penjelasan lebih lengkap, kudapatkan dalam tiga buku sekaligus. Pertama adalah buku penelitian H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud yang sangat terkenal, ‘Kerajaan Islam Pertama di Jawa’. Penjelasan yang  juga dikuatkan buku Dennys Lombard yang tak kalah monumental, ‘Nusa Jawa Silang Budaya’. Serta buku Prof. Dr. Slamet Muljana, ‘Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.’

Dalam buku ‘Kerajaan Islam Pertama di Jawa’ aku dapatkan keterangan tentang letak Demak yang berada di tepi laut, pada bab yang kedua. Di sana dituliskan, bahwa letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Karena pada jaman dulu, wilayah Demak terletak di tepi selat antara pulau Muria dan pulau Jawa.

Bahkan dijelaskan pula, sebelumnya selat yang membelah antara pulau Muria dan pulau Jawa lumayan lebar. Sehingga dapat dilayari, dan kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Begitu pun sebaliknya. Tanpa perlu mengitari pelabuhan Jepara di pulau Muria pada ujung utara.

Dalam sejarah juga kita temukan hubungan Demak dan Jepara yang amat dekat. Putri sulung Sultan Trenggono yang bernama Ratu Kalinyamat mendiami wilayah tersebut, bahkan mampu memajukannya. Melebihi pelabuhan Semarang, karena keuntungan pantai Jepara yang tenang terlindung tiga gugusan bukit. Dan pada masa itu, Jepara terletak di pulau Muria.

Jadi dulunya, jalur jalan raya yang menghubungkan Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, hingga Lasem masih berupa perairan. Selat yang memisahkan pulau Jawa dan pulau Muria. Namun pada abad tujuh belas, selat tersebut tidak lagi dapat dilayari, karena pengendapan lumpur .

Bahkan pendangkalan yang parah, menyebabkan Demak memindah pelabuhannya ke Jepara. Hingga ketika menyerang portugis yang menjajah Malaka, Pati Unus pun melepas angkatan lautnya dari pantai Jepara. Demikian juga dengan Fatahillah ketika merebut Banten dan Sundakelapa. Dan Sultan Trenggono ketika menaklukan Pasuruwan dan Panarukan. Juga Ratu Kalinyamat ketika kembali mengulang penyerangan terhadap Malaka.

Ulasan dari bab ‘Kelahiran dan Kejayaan Kerajaan Demak’ itu cukup mengobati penasaranku.

Dan makin terpuaskan ketika membaca ‘Nusa Jawa Silang Budaya’. Karena dalam buku yang sangat lama kutunggu penerbitan ulangnya itu, terdapat peta pulau Jawa abad lima belas. Ketika pulau Muria masih merupakan pulau kecil di utara Demak.

Aku sengaja menyertakan peta itu dalam lampiran naskah novelku, karena untuk memudahkan bayangan pembaca. Bahwa dulu Demak memang berada di tepi lautan.

Aku sertakan peta itu bersama lembaran silsilah Raden Patah, Joko Tingkir, dan Penangsang. Agar pembaca semakin mudah memahami tokoh yang ada dalam novelku, dan hubungan antar mereka. Yang kalau tidak dipandu silsilah, mungkin akan meruwetkan.

Karena kepentingan itulah, penerbit menyertakannya sebagai lampiran di belakang novelku. Dan peta Jawa abad lima belas didesain sangat cantik, sebagai bonus untuk novelku.

Aku menyetujuinya. Semoga bermanfaat bagi pembaca, untuk sekadar menambah wawasan sejarah kita semua.

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 7 Februari 2011 pukul 22:30

Catatan Kaki 49: Lelaki Buaya Darat; Dari Sinetron Sampai Pasemon

Standar

papan-papan kayu tua di petilasan Pajang, yang konon adalah bekas rakit Joko Tingkir.

“Kok beda dengan yang di sinetron?”

Adikku yang penggemar sinteron ‘Joko Tingkir’ berkomentar setelah membaca novel Penangsang.

Aku tersenyum saja. Karena memang demikianlah yang kuceritakan dalam novelku.

Di dalamnya tidak ada cerita tentang pertempuran Joko Tingkir melawan kawanan buaya. Hingga tidak pula ada kelincahan meloncat-loncat di atas punggung binatang berkulit keras itu. Yang konon kemudian takluk, hingga mengantarkan Joko Tingkir dengan mendorong rakit yang dinaikinya. Seperti yang ditontonnya dalam cerita sinetron.

Dan memang itulah yang kuyakini sebagai sebuah cerita, yang mungkin lebih mendekati kebenaran. Daripada kisah keperkasaan yang selama ini beredar luas, bahwa Joko Tingkir pernah menaklukan 40 ekor buaya di Kedung Srengenge.

Meski pun aku juga tak bisa menjamin seratus persen, bahwa yang kuceritakan dalam novelku lah yang benar. Bahwa cerita tentang Joko Tingkir mengalahkan kawanan buaya, sesungguhnya tak pernah ada. Hanya isapan jempol pemanis cerita babad saja.

Karena waktu yang terentang lima abad lamanya, tak mungkin terlacak pasti, apalagi sumber ceritanya pun hanya berdasarkan pada babad. Sesuatu yang menurut para ahli sejarah, lebih banyak dongengnya, hingga tak layak menjadi rujukan kebenaran sejarah.

Maka benarlah kata Seno Gumira Ajidarma, bahwa untuk mengetahui kebenaran sejarah, hanya mampu mengira-ngira saja dari peninggalan-peninggalan yang ada. Sedangkan untuk mengetahui secara mutlak kebenarannya, hanya mesin waktu yang bisa menjawabnya. Yang dengan mesin itu, kita masuk ke dalam masa dahulu kala, saat di mana Joko Tingkir hidup pada abad ke lima belas.

Dan sayangnya, mesin semacam itu tidak pernah ada. Atau tepatnya, belum ada yang mampu menciptakannya. Kalau pun ada, hanya dalam serial Doraemon saja. Jadi apapun perkiraan tentang sejarah, mestinya tak ada yang menganggap mutlak paling benar.

Apalagi yang kutulis ini pun bukan buku sejarah. Melainkan novel sejarah. Jadi meskipun bersinggungan dengan sejarah, karya ini tidak bernilai sebagai buku kajian sejarah. Namun hanya fiksi belaka. Jadi ketika ada yang meragukan pendapatku, ya aku terima dengan terbuka. Karena mungkin memang kita beda dalam menafsirkannya.

Termasuk ketika dalam sebuah bedah buku Penangsang ini, ada pembaca yang mendebat bahwa ceritaku hanya permainan imajenasi saja. Karena buktinya di petilasan Pajang dan petilasan Butuh, kayu rakit Joko Tingkir masih ada. Dan itu nyata adanya. “Bagaimana mungkin rakitnya ada, buktinya ada, kalau ceritanya tak ada?”

Aku pun hanya tersenyum.

Dan ingatanku terkenang pada sebuah papan kayu tua hitam lapuk yang berada di petilasan Pajang. Belahan kayu yang berdiri di pinggiran sungai Premulung, karena konon setiap kali dirobohkan dan diletakkan di tanah, kayu itu berdiri sendiri. Tegak seperti pohon hidup. Maka sejak saat itu, oleh sang juru kunci papan kayu itu tidak diletakkan di bawah, tapi diberdirikan. Dan sebagai kenang-kenangan, aku pun berfoto dengan kayu itu.

Juga ketika aku datang ke petilasan Ki Ageng Butuh, di Sragen. Kutemukan di sana sebatang kayu tua, seperti yang berada di petilasan Jipang. Sebatang papan kayu tua yang tinggal tersisa sebatang saja, karena konon tiap orang datang selalu mencuil batangnya. Karena mereka percaya, potongan kayu itu bisa mendatangkan berkah. Hingga yang awalnya dulu ada delapan batang, kini hanya tersisa sebatang saja. Yang karena semakin banyaknya orang yang berziarah, sekarang diamankan dalam sebuah kotak kaca, agar keberadaannya tidak hilang semua.

Dan aku pun berfoto dengan kayu kering tua yang konon bernama Kyai Tambak Boro itu. Kayu kering yang diyakini sebagai rakit peninggalan Joko Tingkir. Karena di Butuh itulah, makam Joko Tingkir berada. Lengkap dengan kedua orang tuanya.

Namun apa kita juga bisa memastikan, bahwa kayu itu memang benar-benar rakit yang dibuat oleh murid Ki Ageng Banyubiru, guru Joko Tingkir. Yang telah menyuruh muridnya untuk berangkat dari Getasaji menuju pesanggrahan Prawoto, dengan mengendarai rakit dan menyusuri Bengawan Semanggi. Siapa bisa menjamin pasti?

Lagi-lagi, karena waktu tidak dapat dikumpar, dan kita tidak bisa melongok kejadian yang telah lewat berabad lamanya, maka aku pun tak bisa menyakini itu sebagai sebuah kebenaran sejarah yang mutlak. Lima abad lalu, belum ada video yang merekam bagaimana pertempuran sengit sang Joko Tingkir dengan 40 ekor buaya. Jadi sah-sah saja kalau aku lebih memercayai pendapat yang beredar, bahwa kisah itu hanya kiasan belaka.

Aku mendapatkan kisah itu pada sebuah buku lama. Yang kudapatkan sekitar delapan tahun lalu. Buku tipis karya Andjar Ani yang berjudul ‘Ranggawarsita, Apa yang Terjadi?’ Sebuah buku yang sebenarnya menceritakan misteri meninggalnya sang pujangga Jawa terakhir itu, yang konon mati dibunuh, karena dalam karya terakhirnya sang pujangga bisa menuliskan dengan tepat hari tanggal dan jam kematiannya sendiri.

Tapi dalam salah satu bagiannya, Andjar Ani menuliskan bahwa kisah Joko Tingkir perihal Kebo Ndanu dan pertempuran melawan buaya di Kedung Srengenge adalah sebuah kiasan saja. Sebuah kisah yang tidak sebenarnya terjadi.

Maka bertolak dari pendapat itu, aku mengumpulkan pendapat dari cerita-cerita yang juga berkembang di Jipang. Juga cerita dari pesisiran. Yang aku menemukan kesatuan pendapat, bahwa pujasastra, Babad Tanah Jawi sarat dengan simbol-simbol pasemon.

Dan pendapat itu ternyata dibenarkan oleh juru kunci petilasan Pajang, ketika aku beberapa kali datang ke sana.

Menurutnya, bahkan makam Joko Tingkir bukan berada di Butuh, seperti yang diyakini banyak orang sekarang. Melainkan berada di Pajang, tepat di sebelah timur sendang kecil di pinggiran sungai Premulung. Aku pun diajaknya masuk ke dalam ruangan gelap itu, yang konon di bawahnya bersemayam jasad Joko Tingkir.

Sementara yang terkubur di Butuh adalah kosong belaka, setelah jasad Joko Tingkir dicuri oleh prajurit Mataram utusan Panembahan Senopati. Bahkan untuk meyakinkanku, juru kunci itu mengaku sering berkomunikasi dengan arwah Joko Tingkir, yang oleh dia dipanggil dengan sebutan ‘Eyang’.

Salah satu yang menurutnya sebuah pasemon adalah perihal Joko Tingkir mengalahkan kawanan buaya.

Menurutnya, kisah ini adalah sebuah kiasan untuk kejelekan moral Joko Tingkir, yang telah merenggut keperawanan seorang perempuan. Buaya adalah sebutan untuk orang yang sukanya mengganggu perempuan. Dan itulah yang terjadi dengan Joko Tingkir setelah terusir dari Kesultanan Demak karena kasus Dadung Awuk.

Dikisahkan, Joko Tingkir menghadap kembali pada gurunya, Ki Buyut Banyubiru. Dan oleh gurunya diperintahkan untuk datang ke pesanggrahan Prawoto, menemui Sultan Trenggono. Ki Buyut Banyubiru telah memberikan bekal mantra, yang akan membuat Sultan Trenggono yang telah mengusirnya menjadi menerima kembali Joko Tingkir

Dalam perjalanan ke Prawoto, Joko Tingkir terpikat dengan kecantikan perempuan. Seorang anak gadis lurah Kedung Srengenge. Joko Tingkir pun merenggut kehormatan putri Ki Lurah Baurekso. Namun Joko Tingkir yang telah menodai sang gadis, ternyata lari dari tanggung jawab.

Dalam Babad Tanah jawi dilukiskan bahwa Joko Tingkir bertempur dengan kawanan buaya di Kedung Srengenge. Kawanan buaya di bawah pimpinan raja buaya bernama Baurekso berhasil dikalahkan. Bahkan kemudian Joko Tingkir diantarkan ke Demak dengan kawalan kawanan buaya.

Dari cerita ini kita dikenalkan dengan sebuah lagu yang berbunyi, “Sigro milir, sang gethek sinonggo bajul, kawan doso kang njageni. Ing ngarso miwah ing pungkur. Tanapi ing kanan keri. Sang gethek lampahnya alon…”

Sebuah nyanyian yang kurang lebih artinya adalah, “Bergolak air sungai mengalir, ada rakit yang didukung oleh buaya. Empat puluh ekor yang mendorongnya. Di depan dan juga di belakang. Di sisi kanan dan juga kiri. Rakit pun melaju tenang….”

Namun sesungguhnya, dari kisah itu ada kode sinonggo bajul, atau dikawal dan diantarkan oleh buaya. Bahkan ada yang membacanya sinonggo mbajul, yang artinya diantarkan dengan sifat kebuayaan, mbajul. Yang artinya hampir sama dengan umpatan ‘buaya darat!’

Dan memang, konon buaya daratlah, yang telah merenggut kehormatan anak gadis Ki Baurekso tanpa mau bertanggungjawab. Dikiaskan bisa mengantarkan ke Demak, karena dengan tidak menikahi gadis itu, Joko Tingkir kemudian bisa menikahi putri Sultan Trenggono. Sebuah awalan untuk masuk dalam lingkaran Kesultanan.

Dari kisah-kisah yang penuh pasemon itu, aku pun kemudian menemukan cerita kiasan lainnya. Yaitu tentang Dadung Awuk dan juga Kebo Ndanu. Ternyata tidak seperti yang tertulis harfiah. Namun ada tindak kebejatan moral yang disembunyikan.

Dan itu semua kutuliskan dalam novelku, sebagai sesuatu yang mungkin dianggap baru oleh beberapa kalangan. Hingga mengagetkan mereka, dan kemudian mendebatnya. Namun sesungguhnya telah lama juga menjadi sebuah gunjingan diam-diam. Hanya belum ada yang berani mengungkapkan secara terang-terangan.

Maka aku pun kemudian merenung, menekuri kisah pasemon itu. Sebuah kekhalifahan macam apa yang bisa ditegakkan oleh seorang pemimpin yang cacat moralnya.

Maka tak heran kalau kemudian kita tak menemukan jejak keislaman yang lurus, dari sebuah dinasti panjang kekuasaan yang telah didirikannya.

Maka untuk itulah, aku bersemangat menuliskan. Sekadar sebagai obat penasaran. Untuk kemudian menjadi sebuah tawaran penafsiran.

Dan semoga juga bisa sebagai penyeimbang dari cerita sinetron, yang telah berulang ditayangkan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 6 Februari 2011 pukul 22:56