Daily Archives: 10 April 2012

Catatan Kaki 22: Aku Jadi Mengerti, Bahwa Srikandi Ternyata Laki-laki

Standar

Tak sengaja semalam aku mendengarkan nyanyian Sujiwo Tedjo, ‘Gugur Bisma’.

Dan pagi ini penggalan kisah Bharatayudha itu tiba-tiba terbayang lagi di kepala.

Seorang resi tua, dengan tatapan tegar menjemput ajal di tengah padang gersang kurusetra. Pada sekujur badannya, dari telapak kaki hingga dada, telah tertembus ratusan anak panah. Mata panah yang menembus tubuhnya, hingga ketika dia rebah, panah-panah itulah yang menjadi penopangnya. Yang membuatnya serupa terpanggang ratusan panah penyangga tubuh rentanya, juga kepalanya.

Resi Bisma, sang Begawan telah mengetahui bahwa ajalnya akan tiba. Kutukan Dewi Amba, perempuan cantik yang pernah jatuh cinta padanya sudah di ambang mata, untuk menjemputnya. Ia yang pada waktu muda menolak cintanya, ditakdirkan akan mati oleh anak panah seorang wanita. Wanita yang dalam dirinya telah menitis sukma Dewi Amba. Dan perempuan itu adalah Srikandi, istri terakhir Arjuna.

Maka Bisma, senopati Astina yang sakti mandraguna pun memilih tak melawan, ketika Srikandi menyemburkan anak panahnya. Karena dalam pandangan matanya, Dewi Ambalah yang datang menjemput kematiannya. Yang cintanya ditolak di dunia, namun berharap mendapatkannya di nirwana. Hingga Bisma pun gugur dalam hujanan anak panah Srikandi, dengan ketegaran seorang brahmana.

Gambaran-gambaran itu masih terbayang di kepalaku dengan segarnya. Padahal kalau dihitung lamanya, sudah seperempat abad lewat. Tepatnya ketika aku masih SD kelas lima.

Ketika aku sering menonton teman-teman sebayaku bermain umbul wayang di pelataran rumah tetangga. Teman-teman yang mempunyai banyak uang, membeli gambar umbul untuk saling diadu dengan temannya. Permainan sederhana, cukup dengan cara diumbul (dilempar) ke atas. Bagi siapa yang gambar umbulnya terbuka, dialah pemenangnya. Sedang pemain yang gambar umbulnya tertutup, dialah yang kalah dan harus membayar dengan memberikan sejumlah gambar umbulnya.

Saat itu aku cukup senang menjadi penonton saja, karena tak punya uang untuk membeli gambar umbul. Tentu, karena uang jajanku yang tak seberapa sedang kukumpulkan untuk membeli majalah bekasan.

Sesekali beberapa teman yang kasihan, memberiku gambar umbul untuk modal permainan. Tapi mungkin karena tak berbakat pemenang, dalam setiap permaian aku selalu kalah duluan. Modal pun habis untuk membayar para pemenang, yang membuatku harus tersingkir dari permainan.

Karena nasibku selalu kalah, teman-teman yang memberi pun semakin enggan. Dan aku benar-benar harus keluar dari kalangan. Cukup kembali duduk sendirian, menjadi penonton di pinggiran.

Pada saat itulah aku menyingkir dari pelataran. Tak lagi bersemangat menonton permainan. Aku minggir dari halaman yang riuh oleh teriakan. Memilih masuk ke ruang tamu tetanggaku yang lapang.

Pada sebuah meja kayu di pojok ruangan, aku lalu melihat beberapa buku tebal. Bersampul kumal coklat tua, dengan gambar tokoh wayang purwa. Aku yang memang suka dengan cerita wayang langsung mengambilnya. Ternyata buku-buku komik dengan judul ‘Mahabharata’ dan ‘Bharatayudha’.

Aku pun langsung tertarik membacanya. Menikmati gambar-gambarnya yang jelas berbicara.

Lalu setiap hari, ketika teman-teman lain bergembira dengan permaian umbul wayangnya, aku semakin asyik dengan buku komik wayang yang membuatku terlena.

Dan betul-betul terlena, karena hidupnya penggambaran dalam komik tersebut. Aku seolah bisa membayangkan para tokoh wayang kulit, menjadi serupa wayang orang. Saling adu taktik, intrik, dan kelicikan yang mengantar kedua keturunan Bharata saling berperang di padang Kurusetra.

Namun yang lebih menarik lagi, dalam komik kumal itu aku menemukan perbedaan cerita. Aku mendapatkan cerita yang tak sama dengan yang selama ini kubaca di rubrik ‘Pedhalangan’ Panjebar Semangat. Salah satu cerita yang sangat membuatku terhenyak adalah tentang Wara Srikandhi.

Dalam pemahamanku sebelumnya, Dewi Srikandhi adalah istri Arjuna.

Namun dalam komik karya R.A Kosasih itu, tidaklah demikian adanya. Dan yang lebih mencengangkan lagi, Srikandhi pun ternyata bukan perempuan. Atau tepatnya, bukan asli perempuan. Karena ia adalah seorang laki-laki yang mengubah dirinya, dari seorang perempuan bernama Sikhandi.

Dikisahkan di sana, bahwa Sikhandi terlahir sebagai bayi perempuan. Namun ayah ibunya, Prabu Drupada dan Dewi Gandawati yang raja Pancala memperlakukannya sebagai anak laki-laki. Sejak kecil hingga remaja, selalu dididik menjadi laki-laki. Lengkap dengan ketangkasan berkuda dan memanah yang menjadi kemahirannya. Keahlian yang kemudian membuat Putri Hiranyawati jatuh cinta padanya.

Sikhandi pun kemudian dinikahkan dengan putri negeri Darsana tersebut. Pernikahan yang penuh keanehan, karena Sikhandi tak pernah sekalipun menyentuh istrinya. Sampai sang istri yang curiga memergoki, bahwa suaminya adalah ternyata seorang perempuan juga.

Sikhandi pun minggat kebingungan. Berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya tersesat di hutan. Ia lalu bertemu dengan raksasa bernama Stuna. Sikhandi bercerita tentang masalahnya. Lalu mereka bersepakat untuk saling bertukar kelaminnya. Dengan janji untuk sementara. Namun ketika Sang Raja mengetahuinya, raksasa yang marah itu justru mengutuk Stuna menjadi perempuan untuk selamanya.

Kutukan yang secara tidak langsung, membuat Sikhandi pun berubah menjadi lelaki seutuhnya.

Kisah aneh bin ajaib itu sampai sekarang masih terbayang. Termasuk bayangan bentuk komik kumal tebal itu, yang kemudian memaksaku memburunya di seluruh pasar loakan untuk kukoleksi. Buku yang sudah berusia lebih dari 30 tahun, karena cetak pertama di tahun 1977. Buku yang kemudian melegenda, menjadi tonggak komik wayang dengan gaya India, sebagai saduran resmi Kitab Mahabharata.

Dan konon, tentang Sikhandi yang laki-laki itu juga terdapat dalam Kitab Bhismaparwa Jawa Kuno, yang ceritanya mengacu pada versi Sansekerta India. Sedangkan Srikandi yang perempuan adalah cerita wayang Jawa. Kemungkinan hasil kreasi para Wali dalam menerjemahkan Islam, karena tak mungkin mengajarkan kisah tentang seorang perempuan yang menikah dengan perempuan.

Maka begitu pula yang kemudian kudapatkan ketika membuka-buka lembaran Serat Centhini. Dalam naskah yang dianggap sebagai ensiklopedi terlengkap budaya Jawa itu, sosok Srikandi pun adalah salah seorang istri Arjuna. Dan dalam karya sastra yang aslinya berjudul Suluk Tambangraras itu, pribadi Srikandi menjadi salah satu contoh kepribadian wanita Jawa. Teladan yang juga menceritakan 4 istri Arjuna lainnya, yakni Wara Sumbadra, Dyah Manuhara, Dewi Ulupi, dan Dewi Gandawati.

Dalam Serat Centhini pupuh ke-86 yang bertembang Asmarandana, dari bait 68 hingga 79 digambarkan dengan detail pribadi Srikandi. Yakni seorang perempuan yang mampu bersikap sangat tegas, keras hati, namun tidak kasar, dan terhadap suami sangat sayang dan cinta. Banyak ilmunya, karena suka membaca kitab-kitab, pandai dalam soal sastra, tembang dan kesenian. Terampil merias diri, luwes dan ramah dalam pergaulan. Hormat sekali pada mertuanya, Dewi Kunti, serta pandai melayaninya.

Entah kenapa, setelah membaca bait itu selengkapnya, dalam hatiku tiba-tiba ingat Ummi tercinta.

Beberapa sifatnya sangat mirip dengan penggambarannya. Terutama dalam hal sayang dan hormatnya pada suami serta mertua. Mungkin yang beda hanya soal kesukaannya pada seni dan sastra.

Dan tentu saja, tidak seperti Sikhandi yang tak jelas jenis kelaminnya. Karena haqqul yaqin, Ummi adalah seorang perempuan seutuhnya. Kalau tidak, masa dulu aku nekad menikahinya sepenuh keikhlasan.

Tak mungkin jeruk makan jeruk, kan?!

oleh Nassirun Purwokartun pada 4 Januari 2011 pukul 17:32

Catatan Kaki 21: Catatanku Catatan Kaki!

Standar

“Kok tulisan Kang Nass namanya ‘Catatan Kaki’, apa menulisnya pakai kaki?”

Kali ini, seorang teman berkomentar lagi.

Meski kalau dibaca koment-nya dengan seksama, sepertinya sekadar main-main saja. Tapi entah kenapa aku terpancing menjawabnya. Dan catatan ini adalah sekadar koment balik untuk dia. Mengapa ‘Catatan Kaki’ menjadi penting adanya.

Seperti kita tahu bersama, dalam setiap buku ilmiah, catatan kaki adalah keterangan khusus yang digunakan untuk memberikan keterangan atau komentar. Catatan kaki juga berfungsi untuk menjelaskan sumber kutipan atau sebagai pedoman penyusunan daftar bacaan. Dan catatan kaki ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab. Karena posisinya di bawah itulah, maka disebut sebagai catatan kaki. Mungkin kalau diletakkan di atas, jadi catatan kepala.

Jadi ketika aku menulis catatan harianku, aku sedang membayangkan, bahwa  kehidupanku selama ini adalah sebuah buku tebal. Sebuah kitab sejarah yang besar dan sangat tebal. Yang kalau dihitung lembar, dan tiap hari adalah lembaran baru, maka ketebalan buku itu sudah lebih dari 12.000 halaman. Ini sesuai dengan usiaku yang telah lebih dari 30 tahun.

Dengan pengandaian begitulah, maka catatan ini hanya berfungsi layaknya catatan kaki dari sebuah Kitab Keseharian yang telah ditulis Sang Pencatat.

Harap kembali diingat, bahwa tanpa kita sadari, selalu ada malaikat pencatat yang selalu menulis tingkah laku kita. Sejak kita lahir hingga mati nanti. Sejak dalam buaian hingga kita dikuburkan. Dan itu berlangsung tiap hari, konon, di sebelah kanan dan kiri kita. Catatan itulah ‘biografi’ hidup kita, yang telah dibakukan. Dan akan dipertontonkan kelak di hari kemudian. Tanpa bisa kita tolak, karena itulah senyata kenyataan. Senyata catatan perjalanan kehidupan. Biografi tanpa pretensi!

Nah, karena biografi besar itu telah ditulis oleh sang pencatat dengan teliti dan telaten, maka tinggal kita mencoba menyesuaikan saja. Agar tidak banyak yang berbeda. Dan itu membutuhkan kejujuran dari kita, sebagai tokoh utamanya. Maka kejujuran itulah yang sedang kupelajari kembali. Sedang kuhayati untuk kemudian kuajarkan pada anakku nanti.

Meski kita sadar, ‘biografi’ yang merupakan buku yang sangat ilmiah dan tak diragukan kebenarannya, sebetulnya tak lagi memerlukan catatan kaki dari kita. Dari tokoh utamanya. Karena sang penulis utama lebih mengetahui, bahkan tanpa memerlukan adanya catatan kaki.

Tapi karena ‘biografi’ itu hanya akan dibuka di hari kemudian, padahal hari ini aku membutuhkan, maka kucoba tuliskan kenangan-kenangan itu. Kenangan kecil dan remeh temeh yang telah lalu. Di hari-hari masa kecilku, yang waktu itu sangat kurasakan sama sekali tidak menyenangkan. Namun hari ini, akan kunikmati sebagai kenangan yang membahagiakan.

Maka kalau pun ada kejadian pahit di mana lalu, kesedihan itu tak akan kuceritakan pada anakku. Biarlah kesedihan hanya menjadi milikku sendiri, tak perlu dibagikan. Justru kesedihan masa lalu kukalikan, agar bisa berlipat pangkat menjadi kebahagiaan dengan penuh hikmah kebijaksanaan. Mencoba membingkai masa lalu dengan tatapan penuh pembelajaran. Reframing!

Mungkin ini kesannya sok bijak. Tapi sesekali aku ingin melakukannya. Paling tidak untuk diriku sendiri, agar mencoba mensyukuri apa yang telah terjadi. Itulah mengapa catatan harian ini kunamakan ‘Catatan Kaki’. Catatan yang hanya ada di bawah kaki tulisan utama kita sendiri.

Kemudian soal catatan ini, mengapa harus kutulis tiap pagi. Dengan cepat sekali.

Ini sebenarnya adalah prosesku untuk belajar menulis kembali. Aku sedang belajar pada ayah yang petani sejati. Yang walaupun tak punya sawah, tetap istiqomah di jalannya dengan terus bertani tiap hari.

Mestinya demikian pula dengan yang harus kulakukan, yang ingin menjadi seorang penulis.

Aku harus selalu mengasah penaku, seperti ayah mengasah cangkul dan sabitnya setiap hari, agar bisa menghasilkan tulisan. Maka tiap pagi, sebelum atau selepas shubuh, aku melatih ingatan dan tanganku untuk menuliskan sebuah kenangan. Suatu kenangan masa kecil, yang tidak penuh keceriaan dan kegembiraan, tapi (sekali lagi!) bagiku sangat menyimpan hangat kebahagiaan.

Karena aku ingin agak PD disebut penulis. Maka caranya dengan benar-benar menulis tiap hari. Jadi kalau suatu saat anakku tanya, apa kerjaku selama ini sebagai penulis. Catatan harian ini menjadi bukti.

Aku sengaja menyediakan waktu 1 jam untuk menuliskan catatan harian ini. Di sela-sela merampungkan novel, novel kartun-grafish, membuat kartun strip, dan juga pekerjaan lainnya, baik di kantor atau pun di rumah. Waktu 1 jam tiap pagi ini untuk membuktikan pada diriku sendiri, aku bisa menjaga stamina diri. Bahkan di saat yang tak mungkin. Tak ada alasan sibuk, atau tak ada waktu!

Karena kita telah diajarkan, amal yang baik bukanlah yang banyak namun hanya sekali dilakukan. Melainkan yang sedikit, tapi terus menerus dikerjakan. Maka demikianlah yang tengah kejalankan.

Sebab bagiku, menulis catatan yang menarik dengan waktu lama, adalah hal biasa. Semua penulis bisa. Tapi menulis catatan menarik dengan waktu yang cepat, barulah luar biasa. Dengan waktu yang dibatasi, namun bisa menghasilkan tulisan yang enak dibaca, itu yang ingin kucapai dari pembelajaran menulis ini.

Tapi sepertinya untuk mencapai itu butuh proses. Dan ketekunan. Maka aku ambil jalan tengah saja. Yakni belajar menulis hal yang biasa dengan waktu yang cepat. Menurutku ini bukan hal biasa, juga bukan hal yang luar biasa. Tema tulisannya biasa saja, tapi waktunya yang dibatasi. Dengan waktu semepet mungkin. Apa pun yang terjadi, harus selesai dalam 1 jam!

Maka yang aku tulispun catatan remeh temeh belaka. Tentang kenangan masa kecil. Masa-masa yang membentukku di hari lalu, dan mewujud di hari ini. Aku menjadi seperti sekarang ini, adalah hasil pahatan masa laluku. Masa kecilku. Proses pembelajaran yang kutempuh sendiri, sebagai otodidak murni.

Dan karena sangat sederhananya tulisan ini, maka hanya pantas kalau disebut ‘catatan kaki’. Karena kisah ini hanya komentar dari apa yang sesunguhnya telah tertulis dengan rapi di ‘biografi’ kita. Hanya sekadar pengingat dari yang pasti telah lebih lengkap menuliskannya. Hanya mencoba mengingat sedikit apa yang masih perlu diingat.

Namun karena hanya catatan kaki, seperti juga kita sering melewatkannya dan menganggap tidak penting, maka demikian pula catatan ini. Maka aku pun sadar kalau catatan kecil ini sangat tidak penting bagi siapa saja. Tapi mungkin tidak bagiku, sama seperti penulis buku lainnya, yang selalu merasa penting dengan apa yang dituliskannya.

Jadi sekali lagi, kunamakan ‘Catatan Kaki’ bukan karena kutulis dengan kaki.

Karena aku pun sadar, menulis dengan tangan saja tulisanku sulit dibaca, apalagi kalau dituliskan dengan kaki. Dengan kaki kiri, lagi!

Bismillah!

oleh Nassirun Purwokartun pada 4 Januari 2011 pukul 17:32