Tak sengaja semalam aku mendengarkan nyanyian Sujiwo Tedjo, ‘Gugur Bisma’.
Dan pagi ini penggalan kisah Bharatayudha itu tiba-tiba terbayang lagi di kepala.
Seorang resi tua, dengan tatapan tegar menjemput ajal di tengah padang gersang kurusetra. Pada sekujur badannya, dari telapak kaki hingga dada, telah tertembus ratusan anak panah. Mata panah yang menembus tubuhnya, hingga ketika dia rebah, panah-panah itulah yang menjadi penopangnya. Yang membuatnya serupa terpanggang ratusan panah penyangga tubuh rentanya, juga kepalanya.
Resi Bisma, sang Begawan telah mengetahui bahwa ajalnya akan tiba. Kutukan Dewi Amba, perempuan cantik yang pernah jatuh cinta padanya sudah di ambang mata, untuk menjemputnya. Ia yang pada waktu muda menolak cintanya, ditakdirkan akan mati oleh anak panah seorang wanita. Wanita yang dalam dirinya telah menitis sukma Dewi Amba. Dan perempuan itu adalah Srikandi, istri terakhir Arjuna.
Maka Bisma, senopati Astina yang sakti mandraguna pun memilih tak melawan, ketika Srikandi menyemburkan anak panahnya. Karena dalam pandangan matanya, Dewi Ambalah yang datang menjemput kematiannya. Yang cintanya ditolak di dunia, namun berharap mendapatkannya di nirwana. Hingga Bisma pun gugur dalam hujanan anak panah Srikandi, dengan ketegaran seorang brahmana.
Gambaran-gambaran itu masih terbayang di kepalaku dengan segarnya. Padahal kalau dihitung lamanya, sudah seperempat abad lewat. Tepatnya ketika aku masih SD kelas lima.
Ketika aku sering menonton teman-teman sebayaku bermain umbul wayang di pelataran rumah tetangga. Teman-teman yang mempunyai banyak uang, membeli gambar umbul untuk saling diadu dengan temannya. Permainan sederhana, cukup dengan cara diumbul (dilempar) ke atas. Bagi siapa yang gambar umbulnya terbuka, dialah pemenangnya. Sedang pemain yang gambar umbulnya tertutup, dialah yang kalah dan harus membayar dengan memberikan sejumlah gambar umbulnya.
Saat itu aku cukup senang menjadi penonton saja, karena tak punya uang untuk membeli gambar umbul. Tentu, karena uang jajanku yang tak seberapa sedang kukumpulkan untuk membeli majalah bekasan.
Sesekali beberapa teman yang kasihan, memberiku gambar umbul untuk modal permainan. Tapi mungkin karena tak berbakat pemenang, dalam setiap permaian aku selalu kalah duluan. Modal pun habis untuk membayar para pemenang, yang membuatku harus tersingkir dari permainan.
Karena nasibku selalu kalah, teman-teman yang memberi pun semakin enggan. Dan aku benar-benar harus keluar dari kalangan. Cukup kembali duduk sendirian, menjadi penonton di pinggiran.
Pada saat itulah aku menyingkir dari pelataran. Tak lagi bersemangat menonton permainan. Aku minggir dari halaman yang riuh oleh teriakan. Memilih masuk ke ruang tamu tetanggaku yang lapang.
Pada sebuah meja kayu di pojok ruangan, aku lalu melihat beberapa buku tebal. Bersampul kumal coklat tua, dengan gambar tokoh wayang purwa. Aku yang memang suka dengan cerita wayang langsung mengambilnya. Ternyata buku-buku komik dengan judul ‘Mahabharata’ dan ‘Bharatayudha’.
Aku pun langsung tertarik membacanya. Menikmati gambar-gambarnya yang jelas berbicara.
Lalu setiap hari, ketika teman-teman lain bergembira dengan permaian umbul wayangnya, aku semakin asyik dengan buku komik wayang yang membuatku terlena.
Dan betul-betul terlena, karena hidupnya penggambaran dalam komik tersebut. Aku seolah bisa membayangkan para tokoh wayang kulit, menjadi serupa wayang orang. Saling adu taktik, intrik, dan kelicikan yang mengantar kedua keturunan Bharata saling berperang di padang Kurusetra.
Namun yang lebih menarik lagi, dalam komik kumal itu aku menemukan perbedaan cerita. Aku mendapatkan cerita yang tak sama dengan yang selama ini kubaca di rubrik ‘Pedhalangan’ Panjebar Semangat. Salah satu cerita yang sangat membuatku terhenyak adalah tentang Wara Srikandhi.
Dalam pemahamanku sebelumnya, Dewi Srikandhi adalah istri Arjuna.
Namun dalam komik karya R.A Kosasih itu, tidaklah demikian adanya. Dan yang lebih mencengangkan lagi, Srikandhi pun ternyata bukan perempuan. Atau tepatnya, bukan asli perempuan. Karena ia adalah seorang laki-laki yang mengubah dirinya, dari seorang perempuan bernama Sikhandi.
Dikisahkan di sana, bahwa Sikhandi terlahir sebagai bayi perempuan. Namun ayah ibunya, Prabu Drupada dan Dewi Gandawati yang raja Pancala memperlakukannya sebagai anak laki-laki. Sejak kecil hingga remaja, selalu dididik menjadi laki-laki. Lengkap dengan ketangkasan berkuda dan memanah yang menjadi kemahirannya. Keahlian yang kemudian membuat Putri Hiranyawati jatuh cinta padanya.
Sikhandi pun kemudian dinikahkan dengan putri negeri Darsana tersebut. Pernikahan yang penuh keanehan, karena Sikhandi tak pernah sekalipun menyentuh istrinya. Sampai sang istri yang curiga memergoki, bahwa suaminya adalah ternyata seorang perempuan juga.
Sikhandi pun minggat kebingungan. Berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya tersesat di hutan. Ia lalu bertemu dengan raksasa bernama Stuna. Sikhandi bercerita tentang masalahnya. Lalu mereka bersepakat untuk saling bertukar kelaminnya. Dengan janji untuk sementara. Namun ketika Sang Raja mengetahuinya, raksasa yang marah itu justru mengutuk Stuna menjadi perempuan untuk selamanya.
Kutukan yang secara tidak langsung, membuat Sikhandi pun berubah menjadi lelaki seutuhnya.
Kisah aneh bin ajaib itu sampai sekarang masih terbayang. Termasuk bayangan bentuk komik kumal tebal itu, yang kemudian memaksaku memburunya di seluruh pasar loakan untuk kukoleksi. Buku yang sudah berusia lebih dari 30 tahun, karena cetak pertama di tahun 1977. Buku yang kemudian melegenda, menjadi tonggak komik wayang dengan gaya India, sebagai saduran resmi Kitab Mahabharata.
Dan konon, tentang Sikhandi yang laki-laki itu juga terdapat dalam Kitab Bhismaparwa Jawa Kuno, yang ceritanya mengacu pada versi Sansekerta India. Sedangkan Srikandi yang perempuan adalah cerita wayang Jawa. Kemungkinan hasil kreasi para Wali dalam menerjemahkan Islam, karena tak mungkin mengajarkan kisah tentang seorang perempuan yang menikah dengan perempuan.
Maka begitu pula yang kemudian kudapatkan ketika membuka-buka lembaran Serat Centhini. Dalam naskah yang dianggap sebagai ensiklopedi terlengkap budaya Jawa itu, sosok Srikandi pun adalah salah seorang istri Arjuna. Dan dalam karya sastra yang aslinya berjudul Suluk Tambangraras itu, pribadi Srikandi menjadi salah satu contoh kepribadian wanita Jawa. Teladan yang juga menceritakan 4 istri Arjuna lainnya, yakni Wara Sumbadra, Dyah Manuhara, Dewi Ulupi, dan Dewi Gandawati.
Dalam Serat Centhini pupuh ke-86 yang bertembang Asmarandana, dari bait 68 hingga 79 digambarkan dengan detail pribadi Srikandi. Yakni seorang perempuan yang mampu bersikap sangat tegas, keras hati, namun tidak kasar, dan terhadap suami sangat sayang dan cinta. Banyak ilmunya, karena suka membaca kitab-kitab, pandai dalam soal sastra, tembang dan kesenian. Terampil merias diri, luwes dan ramah dalam pergaulan. Hormat sekali pada mertuanya, Dewi Kunti, serta pandai melayaninya.
Entah kenapa, setelah membaca bait itu selengkapnya, dalam hatiku tiba-tiba ingat Ummi tercinta.
Beberapa sifatnya sangat mirip dengan penggambarannya. Terutama dalam hal sayang dan hormatnya pada suami serta mertua. Mungkin yang beda hanya soal kesukaannya pada seni dan sastra.
Dan tentu saja, tidak seperti Sikhandi yang tak jelas jenis kelaminnya. Karena haqqul yaqin, Ummi adalah seorang perempuan seutuhnya. Kalau tidak, masa dulu aku nekad menikahinya sepenuh keikhlasan.
Tak mungkin jeruk makan jeruk, kan?!
oleh Nassirun Purwokartun pada 4 Januari 2011 pukul 17:32