Daily Archives: 17 April 2012

Catatan Kaki 34: Mengarang Itu Gampang, Tapi Mengerang Lebih Gampang!

Standar

karena aku mengidolakan, aku pernah berlatih memiripkan seluruh karanganku dengan karangan arswendo. bahkan semuanya. termasuk nyengirnya. kecuali merokoknya!

Mengarang itu gampang, kata Arswendo Atmowiloto.

Dan pagi ini aku terkenang kembali ‘mantra’ sakti itu. Karena dari ucapannya aku meyakini, bahwa sesungguhnya dengan mengarang kita telah melakukan yang baik dan berarti. Bahwa mengarang adalah pekerjaan yang mulia. Jauh lebih mulia dari menganggur dan sekadar berangan-angan tanpa menuliskan.

Mengarang itu gampang. Apakah ini tidak salah judul?

Tidak, dan tentunya kamu tidak salah baca. Mengarang itu gampang. Tak ada yang sukar, kalau kita mempunyai minat dan ambisi terus-terusan.

Selain minat dan ambisi yang terus menerus, apa ada syarat lain?

Ada. Yaitu bisa membaca dan menulis. Gampang kan? Kalau kamu sudah mengangguk, berarti harus diperhatikan benar bahwa membaca dan menulis yang baik dan benar itu perlu latihan, perlu disiplin, perlu minat yang tak kunjung habis.

Minat lagi. Apa sebenarnya minat dan ambisi yang tak kunjung habis?

Minat dan ambisi seperti juga rasa cinta. Terus mengalir. Ini didasarkan pada kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang kita cintai, dan kita percaya ada sesuatu yang baik yang bakal kita lakukan dengan itu.

Ambisi?

Kalau kamu tidak mengenal putus asa. Mengarang memang tidak sekali jadi. Rasanya tak ada pengarang yang sekali mengarang, dan langsung berhasil.

Minat dan ambisi, okelah. Baca dan menulis, bisalah. Tapi apa dengan itu saja lalu bisa menjadi pengarang?

Kalau sudah mengarang, menghasilkan satu tulisan, apa lagi namanya kalau bukan pengarang?

Memang ada persamaan antara menulis surat dengan mengarang?

Menulis surat dan mengarang sama artinya. Membagikan pengalaman pribadi kepada orang lain. Hanya saja, dalam menulis surat kita membayangkan satu orang yang bakal membaca. Sedang mengarang lebih lagi.

Persamaan dengan buku harian?

Saat mengarang, kita harus jujur dengan diri kita sendiri. Ini yang mau kita tulis. Ini keinginan kita. Dan sekali lagi, adanya kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang baik dan berarti.

Jujurnya bagaimana?

Jujur kok bagaimana. Jujur, ya terus terang, setia kepada yang ingin kita sampaikan. Yang ingin kita tulis.

Jujur, masih sangat segar dalam ingatanku. Baik pemikirannya, atau pun bahasanya. Sebuah pengantar yang luar biasa. Yang mampu menyihir kepercayaanku, bahwa mengarang itu gampang. Dan aku pun menjadi yakin, akan bisa jadi seorang pengarang.

Aku pertama kali tersihir ‘mantra’ itu pada 20 tahun lalu, waktu masih kelas 2 SMP. Ketika dengan bahagia luar biasa bisa menemukannya di kios loak langgananku. Buku ‘Mengarang Itu Gampang’ karya Arswendo Atwowiloto. Sebuah buku panduan kepenulisan yang didasarkan pada pengalaman panjangnya sebagai pengarang.

Dan buku terbitan tahun 1983 itu pun kubaca tuntas. Bahkan kuulang lagi, lebih dari sepuluh kali. Namun  anehnya, tak pernah merasa bosan. Selalu menemukan kesegaran baru pada tiap mengeja katanya. Menemukan pemahaman baru untuk mampu memberi makna tiap paparannya.

Bahasanya sangat membuatku terpikat. Segar. Seperti bercanda, tapi sebenarnya serius. Seperti main-main, tapi maknanya dalam. Panduannya praktis, sangat teknis, hingga mudah dilakukan. Cara penyampaiannya disusun dalam bentuk tanya jawab yang sangat mengasyikkan. Seperti obrolan seorang murid dengan gurunya yang telah akrab sehangat sahabat.

Buku itulah yang kemudian berjasa besar mengajariku menulis secara lebih menarik. Bahkan membuatku merasa yakin, bisa menjadi panduan pasti meraih cita-cita lamaku.

Sebuah cita-cita yang pernah kupancangkan di waktu aku berumur 10 tahun.  Waktu masih kelas 5 SD, dalam Tes Hasil Belajar pelajaran Bahasa Indonesia, pada soal karang mengarang. Ketika teman yang lain sibuk memilih-milih tema ‘Berlibur ke Rumah Nenek’ dan “Cita-citaku’, aku telah menuliskan ‘Menjadi Penulis’ sebagai judul karanganku. Karangan yang paling cepat dikumpulkan, mengalahkan teman sekelasku yang sibuk berangan-angan menjadi insinyur, dokter, polisi, tentara, presiden, pilot, bahkan astronot!

Dari buku kumal itu, aku terangsang betul menjadi penulis. Menjadi jelas pilihannya, setelah waktu SD sempat dibingungkan dengan cita-cita menjadi wartawan ataukah penulis. Menjadi wartawan yang kerjanya menulis berita, atau menjadi penulis yang kerjanya mengarang cerita. Dari buku itu aku mantap menjadi penulis atau pengarang saja. Apalagi katanya, mengarang itu gampang. Bisa dipelajari. Asal bisa baca tulis dan mempunyai bakat.

Bakat. Aha, mendadak aku menemukan definisi kata ‘bakat’ yang berbeda dari yang selama ini aku pahami. Bakat bukanlah kelebihan bawaan lahir, yang melekat dalam diri manusia. Namun minat dan ambisi yang terus menerus dan tak mudah patah.

Merawat bakat adalah dengan memperbanyak latihan. Perlu kedisiplinan agar minat yang sebelumnya menggelegak tidak kunjung habis. Maka setiap hari, kumulai di kelas 5 pula, aku mempunyai buku harian. Sebuah buku tebal bersampul batik dengan gambar burung gelatik. Buku sederhana yang kujadikan diary yang kutulis setiap pulang sekolah, setelah makan siang.

Buku yang sempat kubawa ke sekolah, dan tak sengaja diambil oleh teman sebangkuku. Hingga dibaca ramai-ramai, dan teman sekelas tertawa-tawa dan meledekku. Karena mereka telah membaca tulisan-tulisan yang  berisi perasaan cinta monyetku pada seorang adik kelas. Termasuk surat-surat yang hanya kusimpan karena tak berani kusampaikan padanya.

Sungguh aku sangat malu. Apalagi setelah kejadian itu, banyak teman yang menganggapku cengeng. Menurut mereka, anak laki-laki tak pantas punya diary. Kebiasaan itu hanyalah untuk anak perempuan saja. Namun aku tak peduli. Karena begitulah langkah yang kubaca dalam buku yang sedang kupelajari. Ilmu yang sedang kuyakini, bahwa mengarang itu gampang.

Mengarang itu gampang. Mendadak mantra itu seperti terngiang kembali di telinga. Ketika semalam aku tak sengaja membukanya kembali. Buku bersampul coklat dengan gambar seorang laki-laki dengan rambut gondrong berantakan. Bajunya kusut dengan wajah yang tersenyum lebar. Pada sela- sela giginya terjepit rokok dengan asap mengepul. Duduk di depan meja mesin ketik, yang di bawahnya berserakan buku-buku. Juga kertas kertas bekas ketikan dan beberapa puntung rokok. Wajah yang tak lain adalah karikatur dari Arswendo sendiri. Dan mungkin begitukah yang ingin dikesankannya dari sosok seorang pengarang. Serius, tapi santai!

Setelah sekilas kubaca kembali, buku bekasan yang kudapatkan di tahun 1993 itu masih saja menawarkan kesegaran. Sekaligus tawaran ulang, bahwa mengarang juga melatih kita untuk jujur. Terutama jujur dengan diri kita sendiri.

Maka jujur, setelah menutup buku itu aku pun malu. Karena setelah kucermati biodatanya, buku itu ditulis Arswendo ketika ia berumur tepat seusiaku.

Di saat itu, ia telah sangat terkenal sebagai penulis produktif. Sekaligus wartawan Kompas dan juga redaktur majalah Hai. Dengan naskah-naskahnya yang berkali-kali memenangkan sayembara. Bahkan diundang mengikuti International Writing Program di Iowa, USA. Novel-novelnya laris di pasaran. Juga kumpulan cerpen dan cerita serialnya, semacam Imung , Swara Merah Putih, dan Kiki dan Komplotannya. Bahkan serial ACI yang ditayangkan di TVRI menjadi sinetron yang paling ditunggu pemirsa.

Sedangkan aku sekarang? Pada umurku yang tepat seusia dia, masih saja terbata-bata menulis karangan. Padahal sudah 20 tahun belajar dan pernah meyakini bahwa mengarang itu gampang.

Sepertinya, mengerang memang lebih gampang!

oleh Nassirun Purwokartun pada 17 Januari 2011 pukul 17:35

Catatan Kaki 33: Pada Suatu Sriban, Pada Suatu Sore di Bulan Ramadhan

Standar

Sore hari di bulan ramadhan.

Aku bersama anak istri baru pulang jalan-jalan ke Manahan, naik motor berboncengan. Di ujung pertigaan ada seorang anak berusia belasan, dengan dua buah sriban dagangan. Dua buah kursi panjang dari kayu dengan bentuk sederhana yang diikatkan pada boncengan sepeda onthelnya. Sampai sesore itu, sepertinya belum laku satu pun barang dagangannya.

Ketika melihat bentuknya, aku sudah timbul rasa tertarik. Sebuah kursi panjang yang tiba-tiba mengingatkanku pada sriban yang ada di rumahku, di kampong dulu.

Tapi karena sebentar lagi saat berbuka akan tiba, Ummi tak mau berhenti. Hingga kami pun langsung pulang ke rumah.

Waktu sudah hampir maghrib. Petang meremang.

Ketika mau menyalakan lampu jalan, aku melihat anak yang jualan kursi panjang sedang termangu di depan pagar rumahku. Badannya kurus, rambutnya tak terurus. Kaosnya coklat kusut dengan topi hitam kumal. Pada wajahnya terlihat lelehan keringat kelelahan. Mungkin kecapaian menuntun sepeda dengan dua buah kursi panjang melintang pada boncengan.

Aku langsung turun ke jalan, dan kutanyakan harganya. Katanya satunya 100 ribu rupiah.

Aku mencoba menawar, “Kalau kubeli dua-duanya jadi 150 ribu, bisa?”

Dia menggeleng, “Kalau beli semua, 190 ribu, Pak!”

Dan tanpa tawar menawar lagi, aku sepakati harga yang diberikan.

Anak itu pun langsung menurunkan kursi dagangannya dari boncengan. Tali-tali pengikat dilepas dari kaitannya. Dua kursi panjang itu pun diturunkan dan diletakkan di pinggir jalan. Lalu satu per satu digotong ke teras rumahku.

Adzan dari masjid belakang rumah sudah berkumandang. Waktu berbuka telah tiba. Aku masuk ke dalam rumah untuk sekadar minum teh panas. Dilanjutkan minuman wajib berbuka, es kelapa muda dengan gula merah plus irisan buah nangka.

Setelah minum teh aku pun ke depan lagi, Dan dua kursi panjang telah terpajang di teras sebelah kanan. Aku dan anakku duduk di atasnya sambil meminum es kelapa muda. Anak penjual sriban itu kupanggil ke teras. Ummi menawarkan es kelapa muda yang sudah dituang dalam gelas.

Awalnya ia menolak. Sibuk membenarkan letak sepedanya, dan juga tali temali pengikatnya. Tapi karena Ummi terus memaksa, akhirnya anak itu mau juga.

Dan seperti kehausan yang sangat, ia langsung menghabiskan esnya dengan sekali tegukan hingga tandas. Juga ketika makan nasi gudeg, dengan lauk ayam bakar. Plus lalap dan sambal mentah nikmat ulekan Ummi.

Aku dan anakku pun makan bersamanya di teras depan rumah. Sekedar menemaninya makan dengan mengambil nasi sedikit, karena aku tak biasa langsung makan setelah waktu berbuka. Dan seperti masih kehausan, dia nambah es kelapanya satu gelas besar lagi. Kuperhatikan, nikmat benar makannya. Kutanyakan dari mana asalnya. Dia menyebut sebuah nama Kecamatan di daerah Boyolali yang sudah kulupa. Konon jaraknya sekitar 1 jam naik sepeda dari rumahku.

Menurut ceritanya, dia berangkat jam delapan pagi dari rumahnya. Telah seharian keliling Solo untuk menjajakan kursi panjang dagangannya. Dan sampai dengan jam enam sore, ternyata belum laku satu pun juga. Sebenarnya dia sudah ingin pulang karena putus asa. Tapi ada rasa tak enak juga pada keluarga, karena seharian tak mendapatkan uang untuk ibunya.

Mungkin memang aku sudah berjodoh kursi panjang itu. Hingga aku lah yang kemudian membelinya. Karena sebenarnya sudah lama ingin mempunyai kursi panjang yang demikian bentuknya. Hanya saja belum ketemu penjualnya. Tak ada yang pernah lewat depan rumah. Padahal di jalan-jalan sering terlihat orang menjajakan dengan diboncengkan sepeda.

Aku dan anakku sudah selesai makan, dan sudah bersiap ke masjid. Anak itu pun telah menyelesaikan makannya. Juga menghabiskan es kelapa untuk yang ketiga kalinya.

Setelah merapikan tali pengikat kursi panjang ke boncengan sepeda, ia pun pamitan. Dan langsung kubayar dengan uang pas, 190 ribu rupiah!

Sebelum keluar halaman Ummi memanggilnya, “Mas, kalau diberi beras mau apa tidak?”

Anak itu menjawab malu-malu, “Beras gimana to Bu?”

Kebetulan kami di kampung masih dianggap miskin. Mungkin karena rumah kami statusnya masih mengontrak. Jadi masih mendapat jatah raskin dari kelurahan. Beras untuk kami, orang-orang yang memang berada di bawah garis kemiskinan.

Dengan cepat Ummi langsung membagi beras 20 kg beras dari kantong gandum  menjadi dua. Separoh untuk kami sendiri, sebagai persediaan hingga lebaran. Yang separoh dimasukkan kantong plastik hitam untuk diberikan pada si anak penjual sriban.

Maka sejak itu, kursi kayu panjang itu pun berada dengan manisnya di teras rumahku.

Kuletakkan tepat di depan jajaran pot-pot bunga yang ditanam Ummi. Tempat aku sering mengobati kebosanan dengan melihat warna-warna bunga dan hijaunya daun-daunan. Tempat aku menimba kembali kesegaran kehidupan dari kuningnya daun yang jatuh dan kemudian luruh.

Bahkan dengan adanya kursi itu di rumah kontrakanku, seolah bisa mengobati kangen pada sriban tua yang ada dirumahku. Sriban yang telah menemaniku menemukan diri, hingga menjadi diriku yang sekarang ini. Sriban panjang tempatku dulu memahat jiwa, dengan banyak-banyak membaca, menulis, dan menggambar setiap hari.

Sriban yang bagiku sangat bersejarah, hingga kuanggap sebagai salah satu prasasti kecilku.

Maka sekarang, aku sering mengobati kerinduan itu dengan membaca dan menulis di atas sriban itu. Kursi kayu sederhana yang kuanggap sebagai pengganti sribanku yang di rumahku dulu.

Dan di kursi itu pula, sekarang aku ingin kembali memulai langkah sebagai seorang penulis.

Setiap pagi aku menulis catatan harian yang kunamakan ‘catatan kaki’. Seperti yang sedang kulakukan sekarang ini. Dua kursi panjang itu kudekatkan saling berhadapan. Kedua kaki kunaikkan dan kuselonjorkan ke depan. Lalu laptop kuletakkan di atas pangkuan.

Aku pun mulai terbang melayang ke masa silam. Mengenang semua kenangan yang bisa kujadikan pelajaran. Dan mencoba mengikat dengan menuliskannya dalam waktu satu jam.

Sambil menghirup segarnya udara pagi, belajar menuliskan hal-hal kecil yang tak berarti. Seperti tentang kursi panjang yang sedang kududuki ini. Kursi panjang yang kubeli tiga tahun silam. Pada suatu sore hari di bulan ramadhan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 16 Januari 2011 pukul 22:30