Kartun dan karikatur itu ibarat binatang dan gajah.
Begitu yang dulu kudapatkan dari Pramono R. Pramoedjo, kartunis senior Indonesia, pendiri Persatuan Kartunis Indonesia. Kalimat yang diucapkannya dalam pembukaan Pameran Kartun Nasional, di Gedung Purna Budaya Jogja, pada tahun 1994 silam.
Kartun adalah binatang, sedangkan karikatur adalah gajah. Gajah adalah binatang, karena karikatur adalah bagian dari kartun. Tapi kartun bukan hanya karikatur, karena ada kartun murni (gag kartun), komik kartun, kartun animasi, kartun strip, kartun opini, dan bentuk-bentuk kartun lainnya.
Kartun, konon berasal dari bahasa Italia ‘cartoone’ yang berarti kertas. Kartun secara istilah berarti gambar yang bersifat representasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor.
Dalam kartun terdapat 2 tipe yang berbeda. Pertama, kartun murni atau kartun humor, yang sering juga disebut dengan gag kartun. Kartun ini mengangkat humor-humor yang sudah dipahami secara umum oleh masyarakat, dan sekarar berfungsi lucu-lucuan atau menghibur.
Kedua, kartun politik atau political cartoone, yang sering disebut juga dengan kartun opini atau kartun editorial. Disebut kartun politik, karena tujuan utamanya adalah menyindir masalah atau peristiwa politik. Dinamakan kartun editorial, karena kartun ini sebenarnya visualisasi dari tajuk rencana atau editorial suatu majalah atau surat kabar.
Kartun opini selalu mengangkat topik tentang situasi politik yang bisa dibuat lelucon segar, namun sarat dengan kritik tajam yang menggigit.
Di dalam pembuatan kartun, humor merupakan salah satu teknik yang harus dikuasai sebagai media kartunis untuk mengemas visualisasi imajenasinya, agar bisa menjadi sarana kritik yang ‘segar’.
Sebagai kartun opini, setidaknya ada empat hal teknis yang harus diingat. Pertama, harus informatif dan komunikatif. Kedua, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat. Ketiga, cukup mengandung muatan humor. Keempat, harus mempunyai gambar yang baik. Dan bila kurang salah satu, ibarat mobil beroda empat, maka bobotnya akan berkurang.
Karikatur, konon juga berasal dari bahasa Italia ‘caricatura’, dari asal kata ‘caricare’, yang berarti melebih-lebihkan.
Secara istilah, karikatur adalah potret wajah yang diberi muatan lebih, sehingga anatomi wajah tersebut terkesan distorsif karena mengalamai deformasi bentuk, namun secara fisual masih dapat dikenali objeknya.
Deformasi ini dapat berarti penghinaan, atau bahkan penghormatan. Tidaklah mudah mendeformasikan sesuatu menjadi bentuk yang dianggap aneh dan sangat brilian, bila sang kartunis tidak dapat menjadikannya sebagai bentuk penghormatan. Seperti mencubit tanpa rasa sakit. Atau mengajak tersenyum sambil merenung.
Banyak orang Barat yang justru senang dikarikaturkan daripada difoto. Mantan presiden Amerika, seperti Jimmy Carter dan Ronald Reagan sangat bangga bila dikarikaturkan dengan gigi-geliginya yang besar dan jambulnya yang tinggi. Mereka menganggap, bila dikarikaturkan berarti mendapat penghormatan.
Ini berbeda dengan orang Timur, macam Indonesia, yang cenderung merasa terhina bila wajah dan fisiknya dipletat-pletotkan dengan gaya karikatur.
Pengertian komik, secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau buku, yang mudah dicerna dengan kelucuannya, atau keseriusannya. Sosiolog Prancis, F. Lacasin mengatakan bahwa komik adalah sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal, karena menggabungkan gambar dan tulisan.
Komik selain sebagai media hiburan, juga dapat berperan sebagai media propaganda, alat bantu pendidikan dan pengajaran, serta lain sebagainya. Di Jepang, komik atau manga sudah biasa dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran di kalangan masyarakat umum dan pendidikan di sekolah.
“Sebagai aktivis rohis, mengapa antum tetap memilih menjadi kartunis? Bagaimana tentang hukum menggambar makhluk bernyawa?”
Begitu yang dulu selalu dilontarkan teman ketika aku masih STM, dan sudah mengisi rubrik karikatur majalah Ishlah.
Dan entah kekuatan dari mana, saat itu aku justru mantap menjawab,” Karena aku ingin berdakwah lewat kartun.”
Sahabatku yang ketua remaja masjid itu hanya tersenyum. Entah mendukung, atau bahkan meragukan.
Namun dari pertanyaan dan senyuman itu, aku jadi terpacu untuk mewujudkan. Membekali diri dengan pemahaman kartun yang mencukupi, karena itulah senjata utama bagi seorang kartunis. Dan memperdalam pemahaman ilmu agama, karena itulah rambu-rambu yang harus aku patuhi, ketika meniatkan kartun sebagai sarana dakwah.
Seni dan agama bertemu di kedalaman jiwa manusia. Agama memberikan materi dasar bagi ekspresi estetika melalui persepsi dasar tentang Tuhan, alam, manusia, dan kehidupan.
Sementara seni, member respon emosional terhadap muatan-muatan kebenaran yang terdapat dalam persepsi-persepsi dasar itu, melalui suatu bentuk ekspresi yang indah, ilustratif, dan memiliki daya pengaruh yang kuat. Allahu jamilun yuhibbul jamal. Allah itu maha indah, dan mencintai keindahan. Begitu bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Iqbal pun pernah mengatakan bahwa seni adalah juga merupakan bagian dari bentuk manuver musuh-musuh Islam untuk mengembalikan pemikiran, sikap, dan tindak tanduk kaum muslimin kepada nilai-nilai jahili.
Dan Roger Garaudy juga pernah mengungkapkan perasaannya tentang hakikat seni Islam dalam untaian kata, ‘semua seni bisa membawa ke masjid, dan setiap masjid membawa kita kepada sholat.’
Masjid sebagai tempat sholat, pusat menyinarnya segala aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, seni merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perubahan masyarakat yang tengah diemban oleh dakwah Islam. Yang hal itu bagai tak terpisahkannya perasaan dari jiwa manusia.
Karena itu, seni Islam bukan saja bertindak sebagai bagian dari dakwah, namun ia adalah front tersendiri dalam sebuah pertarungan suatu ideologi.
Seni bergerak mengikuti langkah besar dakwah islam di tengah-tengah peradaban manusia. Apa yang tampak pada dunia seni hari ini, adalah sebuah upaya membentuk wajah masyarakat yang akan dihadirkan oleh cita-cita dakwah Islam.
Annis Matta, yang saat itu menjadi redaktur majalah Ishlah tempat kartunku dimuat, pernah mengatakan, bahwa seni Islam memiliki karakter yang kuat pada tendensinya terhadap muatan pemikiran dan esensi nilai. Sebab seni bukan sekadar memiliki fungsi hiburan, tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah manfaat untuk turut secara aktif membentuk pola kehidupan manusia.
Namun demikian, itu tidak berarti bahwa seni Islam harus berisi nasehat, hukum, arahan, dan semacamnya.
Bentuk seperti itu justru akan merusak nilai kesenian itu sendiri. Seni di satu sisi, memang mempunyai fungsi tertentu. Tapi ia juga tidak boleh diberi beban melebihi kadar kemampuannya.
Keindahan dan pesona merupakan sifat azali kesenian, dan fungsi apa pun yang dibebankan padanya harus selalu dalam batas-batas yang tidak merusak dan mengurangi keindahan. Bentuk-bentuk ekspresi estetika harus selalu dikembangkan agar kekuatan pesonanya sama besarnya dengan dengan kekuatan pemikirannya.
Dan dari paparan itulah, dari rangkuman pendapat itulah, saat itu, aku mantap untuk meneruskan niat menjadi seorang kartunis.
Kemantapan yang sudah kupasang sejak tujuh belas tahun silam.
Bahwa kemudian sampai hari ini aku merasa belum bisa menganggap diri sebagai kartunis yang bisa berdakwah dengan kartun, aku pikir hanya soal waktu.
Karena yang penting aku sudah berusaha. Membekali dengan pemahaman tentang kartun yang lumayan mencukupi. Dan juga bekal pemahaman keagamaan, agar tidak melewati batas yang dibenarkan dalam hukum-hukum agama.
Bismillah.
oleh Nassirun Purwokartun pada 4 April 2011 pukul 21:49