sajak-sajak bloonku yang kemudian dibukukan oleh Taman Budaya Jawa Tengah, pada november 2007, dengan judul ‘Sajak dari Republik Kartun’. Aha!
Sajak ada kutuk masyuk
ada banyak negeri
yang gempar digoncang bom terrorisme
tapi hanya satu negeri
yang gemar digoyang ngebor erotisme
ada banyak negeri
yang mengutuk jamaah islamiyyah
tapi ada satu negeri
yang asyik masyuk dalam jamaah inuliyah
Berawal dari kartun, maka kembalinya pun tetap menjadi kartun.
Sepertinya begitulah kalau aku renungkan kembali puisi-puisiku yang sekarang kusebut sebagai sajakkartun.
Dan kali ini aku ingin sedikit mengenangnya. Sebagai pengingat proses penciptaan ‘puisi paling jelek sedunia’, yang tak terasa ternyata telah berjalan 13 tahun lamanya.
Sebuah penciptaan tak sengaja, yang idenya bermula ketika aku menjadi koresponden kartun majalah Ishlah. Sebagai pengisi tetap rubrik ‘Karikatur Dunia Islam’ pada awal tahun 1995 hingga akhir 1997. Sejak aku masih duduk di kelas 2 STM, sampai kemudian lulus dan menjadi tukang cuci kereta api malam di Stasiun Bandung. Kemudian pindah lagi ke Cilacap sebagai tukang parkir pasar dan tukang jaga WC terminal.
Waktu itu, kartun yang boleh kubuat hanyalah kondisi pergolakan politik luar negeri. Begitulah permintaan redaktur agar mereka bisa aman memuatnya. Hal yang bisa dipahami, karena waktu itu kekuatan Orde Baru masih kuat mencengkeramkan kuku-kukunya. Hingga media pun sangat hati-hati menyampaikan kritikan-kritikannya.
Dan aku pun menuruti arus pers yang ‘bebas bertanggungjawab’ tersebut, dengan menggambar kartun bertema luar negeri saja. Menggambarkan kekejian di Bosnia, Cechya, Kasmir, Moro, Palestina, Sudan, dan kebiadaban di negeri muslim lainnya.
Karena ‘pelarangan’ itulah, terpaksa kartun-kartun politik dalam negeri yang kubuat, hanya bisa kusimpan dalam amplop saja. Sementara kegelisahan untuk mengabarkan tak bisa dipendam. Maka kartun-kartun kritik sosial itu aku coba alihmediakan dalam bentuk puisi. Sindiran-sindiran yang sebelumnya tertuang dalam goresan gambar, aku terjemahkan ke dalam bahasa larik kata-kata dan untaian kalimat yang menggelitik.
Ternyata ketika puisi rasa kartun itu kubacakan dalam berbagai kesempatan, sambutan menggembirakan. Terbukti ketika kubacakan, mereka antusias mendengarkan bahkan menanggapinya dengan celetukan dukungan. Dan bisa dipastikan, setiap turun panggung, selalu ada saja yang meminta lembaran kertas yang berisi sajak-sajak lucu itu.
Maka sejak saat itu aku makin bersemangat membuat sajak rasa kartun. Sajak sarat kritik sosial yang kukemas dengan kekocakan kartun. Sajak yang mengajak untuk berpikir, merenung, sekaligus tersenyum. Bahkan karena banyak yang suka dengan gaya kritikannya, sajak-sajak itu pun sering kubacakan dalam demo-demo yang kuikuti.
Jadi sepertinya, sajak yang berisi sindiran kartun itu bisa diterima massa. Selain sebagai hiburan, juga menjadi sarana perenungan. Karena hakikat kartun yang kumasukkan dalam puisiku adalah sekadar menyindir dengan mengajak tersenyum.
Sebab menurut pemahamanku, kartun adalah sebuah gambar yang bermakna sindiran atau kritikan. Tapi tidak mengkritik dengan sekadar tajam dank eras saja. Melainkan dipadu dengan humor, kekocakan, dan olok-olok.
Maka kartun bisa saja berisi kritik yang tajam, keras, dan pedas. Tetapi dengan kekocakannya menjadikan tidak menusuk hati dan menyakitkan. Hingga kritikan itu tidak langsung membuat marah bagi yang disindir. Melainkan lebih untuk memancing senyum, meski sekadar senyum kecut.
Formula itulah yang telah kumasukkan dalam sajakku. Yang membuat sajak kritik sosialku tidak disuarakan dengan tajam dan keras, melainkan dengan gaya bercanda yang ringan dan guyon-guyon yang renyah.
Mula-mula mengajak para penikmatnya untuk tersenyum dan menertawakan keadaan sekitarnya. Menertawakan sekelilingnya, pemimpinnya, negaranya, dan terutama adalah dirinya sendiri. Dengan maksud, semoga setelah bisa tersenyum, lebih mudah untuk diajak berpikir dan kemudian merenung. Sebuah usaha yang pada titik akhirnya untuk mau melakukan introspeksi bersama-sama. Tentang apa saja.
Awalnya, aku menamakan puisi-puisi itu sebagai ‘sablon’. Yaitu singkatan dari sajak-sajak bloon’. Karena puisiku selalu menggunakan bahasa dan cara ungkap yang sederhana. Dengan kata-kata yang biasa dan popular, hingga orang yang tidak pintar pun (baca: bodoh atawa bloon) akan dengan mudah menangkap maksudnya.
Untuk itulah aku sengaja mengggunakan bahasa komunikasi sehari-hari yang sama sekali tidak ‘nyastra’. Dengan kalimat-kalimat yang cair dan mengalir, agar mudah dicerna, dan pada akhirnya siapa saja bisa membuatnya. Termasuk juga (maaf!) orang bloon pun, mestinya bisa turut menciptakannya.
Sajak ada sarjana tuna karya
ada banyak mahasiswa
yang telat diwisuda
karena peduli bangsa
meruntuhkan penguasa
tapi ada juga mahasiswa
yang telat diwisuda
karena takut jadi sarjana
dengan gelar tuna karya
Sajak ada tonggak susila
ada banyak mahasiswa
yang mati ditembak entah oleh siapa
tapi hanya satu mahasiswa
yang hobi ditembak oleh pacarnya
kemudian difilemkan dengan judul
bandung lautan asmara
(konon menjadi tonggak
bangkitnya film remaja
kategori a-susila)
oleh Nassirun Purwokartun pada 26 Januari 2011 pukul 22:24