Category Archives: Catatan Kaki 31 – 40

Catatan Kaki 40: Sablon atawa Sajaknya Orang-orang Bloon!

Standar

sajak-sajak bloonku yang kemudian dibukukan oleh Taman Budaya Jawa Tengah, pada november 2007, dengan judul ‘Sajak dari Republik Kartun’. Aha!

 

Sajak ada kutuk masyuk

ada banyak negeri

yang gempar digoncang bom terrorisme

tapi hanya satu negeri

yang gemar digoyang ngebor erotisme

 

ada banyak negeri

yang mengutuk jamaah islamiyyah

tapi ada satu negeri

yang asyik masyuk dalam jamaah inuliyah

 

Berawal dari kartun, maka kembalinya pun tetap menjadi kartun.

Sepertinya begitulah kalau aku renungkan kembali puisi-puisiku yang sekarang kusebut sebagai sajakkartun.

Dan kali ini aku ingin sedikit mengenangnya. Sebagai pengingat proses penciptaan ‘puisi paling jelek sedunia’, yang tak terasa ternyata telah berjalan 13 tahun lamanya.

Sebuah penciptaan tak sengaja, yang idenya bermula ketika aku menjadi koresponden kartun majalah Ishlah. Sebagai pengisi tetap rubrik ‘Karikatur Dunia Islam’ pada awal tahun 1995 hingga akhir 1997. Sejak aku masih duduk di kelas 2 STM, sampai kemudian lulus dan menjadi tukang cuci kereta api malam di Stasiun Bandung. Kemudian pindah lagi ke Cilacap sebagai tukang parkir pasar dan tukang jaga WC terminal.

Waktu itu, kartun yang boleh kubuat hanyalah kondisi pergolakan politik luar negeri. Begitulah permintaan redaktur agar mereka bisa aman memuatnya. Hal yang bisa dipahami, karena waktu itu kekuatan Orde Baru masih kuat mencengkeramkan kuku-kukunya. Hingga media pun sangat hati-hati menyampaikan kritikan-kritikannya.

Dan aku pun menuruti arus pers yang ‘bebas bertanggungjawab’ tersebut, dengan menggambar kartun bertema luar negeri saja. Menggambarkan kekejian di Bosnia, Cechya, Kasmir, Moro, Palestina, Sudan, dan kebiadaban di negeri muslim lainnya.

Karena ‘pelarangan’ itulah, terpaksa kartun-kartun politik dalam negeri yang kubuat, hanya bisa kusimpan dalam amplop saja. Sementara kegelisahan untuk mengabarkan tak bisa dipendam. Maka kartun-kartun kritik sosial itu aku coba alihmediakan dalam bentuk puisi. Sindiran-sindiran yang sebelumnya tertuang dalam goresan gambar, aku terjemahkan ke dalam bahasa larik kata-kata dan untaian kalimat yang menggelitik.

Ternyata ketika puisi rasa kartun itu kubacakan dalam berbagai kesempatan, sambutan menggembirakan. Terbukti ketika kubacakan, mereka antusias mendengarkan bahkan menanggapinya dengan celetukan dukungan. Dan bisa dipastikan, setiap turun panggung, selalu ada saja yang meminta lembaran kertas yang berisi sajak-sajak lucu itu.

Maka sejak saat itu aku makin bersemangat membuat sajak rasa kartun. Sajak sarat kritik sosial yang kukemas dengan kekocakan kartun. Sajak yang mengajak untuk berpikir, merenung, sekaligus tersenyum. Bahkan karena banyak yang suka dengan gaya kritikannya, sajak-sajak itu pun sering kubacakan dalam demo-demo yang kuikuti.

Jadi sepertinya, sajak yang berisi sindiran kartun itu bisa diterima massa. Selain sebagai hiburan, juga menjadi sarana perenungan. Karena hakikat kartun yang kumasukkan dalam puisiku adalah sekadar menyindir dengan mengajak tersenyum.

Sebab menurut pemahamanku, kartun adalah sebuah gambar yang bermakna sindiran atau kritikan. Tapi tidak mengkritik dengan sekadar tajam dank eras saja. Melainkan dipadu dengan humor, kekocakan, dan olok-olok.

Maka kartun bisa saja berisi kritik yang tajam, keras, dan pedas. Tetapi dengan kekocakannya menjadikan tidak menusuk hati dan menyakitkan. Hingga kritikan itu tidak langsung membuat marah bagi yang disindir. Melainkan lebih untuk memancing senyum, meski sekadar senyum kecut.

Formula itulah yang telah kumasukkan dalam sajakku. Yang membuat sajak kritik sosialku tidak disuarakan dengan tajam dan keras, melainkan dengan gaya bercanda yang ringan dan guyon-guyon yang renyah.

Mula-mula mengajak para penikmatnya untuk tersenyum dan menertawakan keadaan sekitarnya. Menertawakan sekelilingnya, pemimpinnya, negaranya, dan terutama adalah dirinya sendiri. Dengan maksud, semoga setelah bisa tersenyum, lebih mudah untuk diajak berpikir dan kemudian merenung. Sebuah usaha yang pada titik akhirnya untuk mau melakukan introspeksi bersama-sama. Tentang apa saja.

Awalnya, aku menamakan puisi-puisi itu sebagai ‘sablon’. Yaitu singkatan dari sajak-sajak bloon’. Karena puisiku selalu menggunakan bahasa dan cara ungkap yang sederhana. Dengan kata-kata yang biasa dan popular, hingga orang yang tidak pintar pun (baca: bodoh atawa bloon) akan dengan mudah menangkap maksudnya.

Untuk itulah aku sengaja mengggunakan bahasa komunikasi sehari-hari yang sama sekali tidak ‘nyastra’. Dengan kalimat-kalimat yang cair dan mengalir, agar mudah dicerna, dan pada akhirnya siapa saja bisa membuatnya. Termasuk juga (maaf!) orang bloon pun, mestinya bisa turut menciptakannya.

 

Sajak ada sarjana tuna karya

 

ada banyak mahasiswa

yang telat diwisuda

karena peduli bangsa

meruntuhkan penguasa

 

tapi ada juga mahasiswa

yang telat diwisuda

karena takut jadi sarjana

dengan gelar tuna karya

 

 

Sajak ada tonggak susila

ada banyak mahasiswa

yang mati ditembak entah oleh siapa

tapi hanya satu mahasiswa

yang hobi ditembak oleh pacarnya

kemudian difilemkan dengan judul

bandung lautan asmara

(konon menjadi tonggak

bangkitnya film remaja

kategori a-susila)

 

oleh Nassirun Purwokartun pada 26 Januari 2011 pukul 22:24

Catatan Kaki 39: Belajar ‘Koming’ Bersama Panji Koming!

Standar

pertemuan yang sangat membahagiakan, ketika aku memberi kenang-kenangan kumpulan kartun sajak. dan sobekan koran itu, masih tersimpan rapi, di lemari, dan juga di hati!

“Ya mas Nas. Saya OK saja. Dan siap bantu semampu saya. Karena tahun ini umur saya sudah 70 tahun.”

Balasan itu datang sangat cepat. Tak lama setelah smsku terkirimkan.

Dengan segera, ingatanku langsung terbang pada saat pertama kali mengenalnya. Tepatnya, hanya sekadar mengenal nama saja. Mengenal inisial yang selalu dituliskan dengan sangat menarik pada tiap kartun-kartun karyanya.

Nama panjangnya dituliskan dengan tiga larik kata; DWI, KOEN, dan BR. Dengan huruf E yang terbentuk dari tiga garis mendatar, sedang huruf R-nya dibuat dengan ekor yang melingkar. Sebuah inisial yang membuatku terpesona dengan keunikannya.

Setelah itu ingatanku langsung berkelebat pada peristiwa 20 tahun silam, waktu masih kelas 6 SD. Waktu diajak ibu ke rumah saudara yang sedang menggelar hajatan menyunatkan anaknya. Ibu membantu mengurusi barang sumbangan dari para tamu yang datang. Berupa beras beberapa kilo yang mereka bawa menggunakan baskom.

Ibu bertugas menuangkan beras dari baskom itu ke dalam karung besar. Setelah itu, baskom dibawa ke dapur untuk diisi oleh-oleh dari yang punya hajat. Oleh-oleh berupa nasi panas dengan lauk sayur pepaya muda dicampur daun so yang nikmat, dilengkapi beberapa potong rempeyek kedelai hitam. Tak lupa beberapa iris jenang dan ketan.

Aku membantu ibu, dengan membawanya ke luar. Menata baskom-baskom yang telah diisi oleh-oleh ke serambi depan. Untuk kemudian diambil kembali oleh pemiliknya.

Karena beras sumbangan itu dibawa menggunakan baskom, ada yang menutupinya dengan sobekan koran, sebelum dibungkus dengan taplak meja. Melihat lembaran koran-koran yang mengonggok di tanah itu, aku yang keranjingan membaca langsung berbinar. Hingga berpesan pada ibu, agar koran-koran bekas itu jangan dibuang. Tapi dikumpulkan saja untuk dibawa pulang, sebagai bahan bacaanku di rumah.

Maka selesai hajatan, di saat ibu membawa pulang oleh-oleh jenang dan ketan, aku pun membawa oleh-oleh juga. Setumpuk sobekan bermacam koran bekas.

Dari salah satu sobekan itulah aku menemukan kartun yang dibuat oleh Dwi Koen BR. Sosok yang bertahun kemudian kuketahui bernama asli Dwi Koendoro Brotoatmodjo.

Sampai sekarang aku masih sangat ingat selembar gambar yang kudapatkan pada hari itu. Sebuah kartun strip dengan tokoh Panji Koming yang masih kusimpan hingga sekarang. Yang dari penanda yang ada, kartun itu dimuat pada minggu ke-5 bulan ke-3 tahun 1990. Karena di bawah inisial nama, tertulis angka V-3-90. Sebuah kode yang dibuat Dwi Koen untuk menandai tanggal pemuatan kartunnya.

Pada hari itu, setelah kutemukan kartun itu, aku langsung tertarik mempelajarinya. Menatapnya lama-lama, lalu mencoba mencontohnya. Sebuah kartun yang membuatku ingin belajar menirunya. Para tokohnya berpakaian Jawa lama, seperti yang kulihat pada baju-baju pemain film ‘Saur Sepuh’ yang kulihat di layar tancap kelurahan.

Dalam kartun itu tergambar seorang tokoh utama bertubuh gemuk bernama Panji Koming. Dengan seorang teman yang kurus langsing bernama Pailul.

Pada panel pertama tergambar seorang punggawa telah memerintahkan titah pada mereka berdua, “Bikin dari kayu terbaik, dari hutan terbaik, agar kokoh dan tahan lama.”

Sosok punggawa yang mirip Buto Cakil itu kemudian kuketahui bernama Bhre Aria Kendor. Tokoh antagonis yang selalu muncul dalam strip yang terbit tiap Minggu di harian KOMPAS. Karena pemberian nama Panji Koming ternyata diambil dari singkatan Kompas Minggu. Sementara kata koming sendiri arti sebenarnya adalah jungkir balik.

Pada panel berikutnya, tergambar Panji Koming sedang menebang kayu besar di tengah hutan. Dengan sebuah kampak tajam di tangan, untuk menumbangkan pohon besar. Penebangan yang membuat binatang-binatang harus terusir dari tempatnya berlindung.

Terlihat kepanikan seekor tupai yang berusaha lari menyelamatkan diri dari amukan sang kapak. Serta sekawanan burung yang ketakutan dan terburu-buru terbang meninggalkan sarang mereka. Sebuah tindakan penebangan yang telah merusak kedamaian alam.

Lalu pada panel ketiga, terlihat Pailul tengah menggergaji kayu gelondongan tersebut. Dipotong dan dibelah hingga membentuk lembaran papan-papan kayu. Dari pohon terbaik yang tumbuh di hutan terbaik, ia akan membuat barang pesanan sang punggawa.

Dan ternyata, barang pesanan itu berupa sebuah mimbar kayu. Sebuah tempat yang biasa digunakan para punggawa untuk mengumumkan titahnya. Dan itu tergambar pada panel keempat, ketika Panji Koming dan Pailul menggotong mimbar besar itu dengan susah payah. Karena besar dan beratnya kayu terbaik yang menjadi bahan utamanya.

Setelah mimbar itu terpasang, sang punggawa pun menaikinya penuh keangkuhan. Ia siap memberikan titahnya pada seluruh rakyat agar didengarkan penuh kepatuhan.

Dan ternyata, titah yang dikeluarkan kemudian sangat bertolak belakang dengan perintah yang sebelumnya. Karena Bhre Aria Kendor justru memberikan khotbah, “Hentikan perusakan hutan! Penebangan ngawur! Atau kalian mempercepat kiamat?”

Sebuah sindiran cerdas tentang sikap pemerintah soal perlindungan hutan!

Pada saat itu, aku belum seutuhnya memahami pesan yang disampaikan. Tapi dari goresannya, telah sangat memikat minatku. Aku suka gaya penyampaiannya, yang selalu menyindir kondisi perpolitikan hari ini, dengan ditamsilkan pada masa akhir Majapahit.

Aku pun kemudian tertarik mengumpulkan kartun-kartun itu. Apabila mendapatkan koran yang ada Panji Komingnya, aku seperti menemukan mutiara. Langsung kugunting untuk kemudian kukliping. Namun karena sulitnya mendapatkan bekasan Kompas Minggu, sampai lulus SMP, 4 tahun lamanya, aku hanya mendapatkan 7 kartun saja.

Dan sobekan-sobekan itu masih kusimpan sampai sekarang. Sebagai prasasti bersejarah bagi proses belajarku dalam menggambar kartun yang lumayan panjang.

Karena dari proses meniru dulu itu, ternyata benar-benar mempengaruhi gaya gambarku. Hingga ketika aku menggambar kartun, masih terlihat jelas bekas itu. Yaitu ketika menggambar telapak kaki. Itu adalah hasil belajarku pada kaki Panji Koming dan Pailul.

Dan sungguh berbahagia hatiku, ketika 20 tahun kemudian aku bertemu langsung dengan Dwi Koendoro. Berjumpa pertama kali saat pada pembukaan Museum Kartun di Bali. Benar-benar seperti bertemu mahaguru yang telah membimbingku secara imajiner.

Sosok yang telah melatih otak dan tanganku menyampaikan sindiran dengan rumusan mengajak tersenyum dan merenung. Itulah resep kartun yang kuperolah dari seorang Dwi Koen BR. Kartunis yang telah menghidupkan Panji Koming selama 31 tahun usianya. Karena pertama kali komik itu muncul pada pertengahan tahun 1979.

Maka kalau tahun ini Dwi Koen mengatakan telah berusia 70 tahun, berarti hampir separoh umurnya telah didedikasikan untuk kartun Indonesia.

Hingga pantaslah Pakarti mengangkatnya menjadi Dewan Pembina, berikut 5 kartunis senior lainnya. Yakni GM Sudarta (KOMPAS), Pramono (Sinar Harapan), Priyanto S (TEMPO), Darminto M. Sudarmo (Suara Merdeka), dan Praba Pangripta (MERAPI).

Dan smsku hari itu adalah memberitahu pada Dwi Koendoro, tentang hasil keputusan rapat Pakarti tersebut.

Maka hari ini aku berbahagia bisa akrab dengan mereka semua, para pendekar kartun Indonesia. Guru-guru kartunku yang telah menunjukan perjuangannya dalam ‘menjaga’ Indonesia, dengan terus menerus mengajak tersenyum dalam perenungan.

Karena menurut Darminto M. Sudarmo, kartunis lahir di dunia langsung membawa fitrah dan amanah dari “Nilai Tertinggi Peradaban”, untuk menjadi “penjaga” yang tugasnya memberi peringatan di saat melihat ketidakberesan pada kekuasaan.

Sebuah tugas mulia yang membuatku selalu berbangga sebagai seorang kartunis.

Bahkan rasanya perlu selalu berterima kasih pada Dwi Koendoro. Yang telah mengajariku ‘koming’ (jungkir bali belajar kartun) bersama si Panji Koming!

oleh Nassirun Purwokartun pada 25 Januari 2011 pukul 22:35

Catatan Kaki 38: Habis Kartunis Terbitlah Penulis!

Standar

majalah Ishlah dalam dekapan. yang menolongku membuat percaya diri sebagai kartunis! ah, wajah jadulku….

Tak ada kata terlambat untuk belajar, begitu bunyi petuah lama.

Maka aku pun ingin mengulang belajar lagi, di usia yang sudah begini tua.

Tepatnya, mengulang mewujudkan cita-cita yang telah tertunda 20 tahun lamanya. Cita-cita kecil dan sederhana, yang telah kuimpikan sejak SD kelas 5. Waktu itu aku ingin menjadi penulis ternama, seperti Arswendo Atmowiloto atau pun Hilman Hariwijaya.

Dan baru 2 tahun lalu kusadari, bahwa aku telah terlewat masa sejak 15 tahun silam. Ketika karena sebuah pilihan, aku harus melupakan keinginan kecil dan sederhana itu.

Jujur saja, ketika kelas 1 STM, aku sempat bimbang. Kebimbangan yang mengulang kebingunganku waktu SD dulu. Waktu aku ragu memilih ‘kalau besar nanti aku’ akan menjadi seorang penulis ataukah wartawan. Sementara kebimbangan pada masa remaja itu, karena aku harus memilih ‘jalan hidup’ sebagai penulis ataukah sebagai kartunis.

Dan pada saat itu, ternyata aku lebih tergoda untuk dikenal orang. Intinya ingin dikenal saat berkumpul bersama seniman Purwokerto di Gedung Kesenian Soetedjo. Aku ingin namaku dikenal oleh mereka, sebagai ‘siapa aku’ dan ‘siapa diriku’.

Di gedung kesenian yang namanya mengabadikan komposer Purwokerto pencipta lagu ‘Di Tepinya Sungai Serayu’ itu, sering berkumpul para penyair, penulis, pelukis, budayawan, dan juga seniman teater. Di antara para seniman itu, hanya akulah ‘anak bawang’ yang sama sekali tak punya nama, yang berani bergaul dengan mereka.

Ketika harus mengenalkan diri, aku selalu merasa tak punya nama yang bisa dibanggakan. Kalau mengaku penulis, wong sejak SMP cerpenku berkali-kali kukirim, tak pernah sekali pun dimuat. Hanya puisi yang kemudian dimuat 2 kali di Bernas Jogja. Namun rasanya itu tak pantas dijadikan ‘ijazah’ bahwa aku telah sah sebagai penulis.

Hingga kemudian terbersit pemikiran, agar keberadaanku bisa diperhitungkan, maka aku harus beda dengan mereka. Kalau mengenalkan diri sebagai penulis, sampai kapan pun aku akan habis di bawah bayang-bayang Ahmad Tohari yang novel ‘Ronggeng Dukuh Paruk’nya telah mendunia. Kalau aku mengaku penyair, di Purwokerto hampir semua seniman yang ada adalah peneriak sajak yang telah menghayatinya sepenuh jiwa. Kalau mengaku pelukis, aku tak pandai melukis. Apalagi bergabung dengan aktor teater, aku yang pemalu tak mungkin mampu mengikuti gaya keliaran mereka.

Akhirnya aku memilih untuk mengenalkan diri sebagai kartunis.

Dan caranya adalah dengan menunjukkan bukti, bahwa aku memang benar-benar menghasilkan kartun. Aku seorang seniman yang karyanya berupa kartun. Dan untuk mendukung itu, aku pun bergabung dalam Keluarga Kartunis Purwokerto (Kelakar).

Sejak itu niatan pun kupancangkan dalam tindakan. Tiap hari menjadi giat sekali menggambar kartun. Dengan target minimal 20 gambar sehari, untuk bisa dikirimkan ke dua majalah ibu kota. Bahkan ketika sedang semangat, ide mengalir sangat deras hingga aku mampu menggambar 70 hingga 80an kartun.

Dengan perkiraan setiap hari mengirim 2 amplop, seminggu sudah 12 amplop yang tersebar ke media. Kalau dari 120 kartun itu ada 1 atau 2 yang bisa termuat di media, sudah lumayan sebagai pengakuan bahwa aku benar-benar seorang kartunis.

Maka mulai saat itu, waktuku habis untuk menggambar kartun, di sela setumpuk tugas menggambar teknik bangunan gedung dari sekolah. Dan hasilnya memang lumayan memuaskan. Hampir tiap minggu kartunku ada yang dimuat di media nasional. Dan aku pun mulai percaya diri ketika mengenalkan diri sebagai seorang kartunis.

Apalagi menginjak kelas 2 STM, lamaranku menjadi koresponden kartun di majalah Ishlah (Jakarta) diterima. Majalah berita Islam yang terbit dua mingguan itu membuka rubrik kartun perjuangan Islam di seluruh dunia. Dan redaksi selalu meminta untuk mengirimkan kartun dengan tema kekejian Zerbia di Bosnia, kebiadaban Israel di Palestina, hingga kejahatan kemanusiaan di Khasmir, Moro, dan negeri lainnya.

Aku pahami betul konflik yang ada di dunia. Untuk kemudian kutuangkan sebagai kartun editorial pada media pergerakan itu. Majalah yang redakturnya antara lain Anis Matta dan Heru Susetyo. Sosok yang beberapa tahun kemudian sudah dikenal orang sebagai Sekjend Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Direktur Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia (PAHAM). Bersyukur aku bisa bertemu keduanya waktu datang ke Purwokerto.

Di majalah itu pula aku kenal nama Izzatul Jannah yang cerita-ceritanya sering mengisi rubrik fiksi dengan kisah-kisah epiknya. Sosok yang beberapa tahun kemudian mengajakku pindah ke Solo untuk bergabung dengan majalah yang dipimpinnya.

Dan aku pun makin bangga mengaku diri kartunis, ketika empat karyaku turut dipamerkan dalam Pameran Kartun Nasional. Sebuah pameran kartun yang digelar oleh Persatuan Kartunis Indonesia di Purna Budaya Jogja. Dan aku berangkat dengan dana yang didapatkan dari Pemda Banyumas. Untuk biaya dan transportasi selama di sana.

Sejak itu, aku makin merasa keberadaanku menjadi ada, ketika duduk dalam lingkaran diskusi panjang bersama para seniman Purwokerto.

Namun ternyata, tanpa disadari sejak itu pula aku perlahan mundur dari kegiatan menulis.

Waktuku habis untuk menggambar kartun. Hingga menulis pun hanya menulis puisi, untuk sekadar dibacakan keliling sekolahan. Dan juga ketika ada acara-acara di sekolah juga kelurahan. Aku semakin jarang menulis cerpen, seperti waktu masih di SMP dulu.

Rutinitas yang masih tersisa hanyalah menulis catatan harian, setiap bangun tidur dan hendak tidur. Bangun tidur menuliskan renungan harian, sementara ketika berangkat tidur menuliskan kejadian berkesan yang telah terjadi sepanjang siang.

Dan tanpa disadari pula, karena terbius ingin dikenal sebagai kartunis, aku benar-benar meninggalkan cita-cita masa kecil sebagai penulis.

Maka kalau sekarang aku ingin kembali menulis, rasanya, perjuangan yang harus kulakukan adalah sama seperti ketika ingin menjadi kartunis. Menulis tiap hari, dengan target yang keras, yang harus kupenuhi. Dan itu telah kulakukan dua tahun ini. Sejak novelku pertama kutulis tahun lalu, yang sekarang telah masuk ke sekuel kedua.

Dan rasanya tak perlu menyesali langkah kalau harus mengulang belajar menulis kembali di usia yang sudah sedemikian tua.

Paling tidak cita-citaku tak hilang begitu saja. Bahkan dengan banyaknya kartun yang dimuat, banyak honor pula yang didapat. Dan sejak kelas 2 STM aku sudah bisa membiayai hidup sendiri, dari  menjadi kontributor kartun di majalah Ishlah.

Dari honor kartun pula, aku bisa membeli banyak buku sastra. Buku-buku tebal dan mahal yang sangat sulit terbeli oleh ukuran kantong remaja miskin macam aku waktu itu. Namun dari buku-buku itu pula, meski pun orang mengenalku sebagai kartunis, aku paham ketika diajak diskusi sastra dan budaya.

Maka rasanya, aku memang harus belajar menulis kembali. Agar impian masa kecil tidak terlanjur dikuburkan sebelum sempat dikibarkan.

Habis kartunis, terbitlah penulis!

Bismillah…

oleh Nassirun Purwokartun pada 24 Januari 2011 pukul 22:35

Catatan Kaki 37: Setiap Profesi Berpeluang untuk Korupsi, Kecuali ….

Standar

sekali-kali sok jadi selebritis!

Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niatan. Tapi karena adanya kesempatan.

“Waspadalah! Waspadalah!” Begitu bang Napi yang baik hati selalu setia mengingatkan.

Maka demikian pula dengan korupsi di negeri ini. Para koruptor mungkin awalnya juga tidak berniat korupsi. Hal itu terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukan, baik secara sembunyi-sembunyi atau pun terstruktur rapi.

Maka aku tak pernah berbangga diri dengan selalu berteriak ‘Berantas Korupsi’, karena memang tak ada peluang untuk melakukan korupsi. Juga tak perlu iri dengan Gayus yang punya kesempatan sangat lebar hingga bisa jadi mafia. Bahkan berhak menjadi Warga Negara utama dari negeri Pancasialis yang sila pertamanya ‘Keuangan yang Maha Esa’ menjadi amalannya.

Sebagai kartunis, yang konon bertugas mulia layaknya cendekiawan yang selalu memberi tanda peringatan bahaya, aku pun pernah mencoba untuk berpikir ‘mulia’.

Pemikiran yang bermula ketika terkenang Rene Descartes yang pernah meneriakkan kata saktinya: “Cogito ergo sum!” Aku berpikir maka aku ada, katanya. Dan sebagai kartunis, aku pun menirukan dengan membisikkan kata yang sama, “Aku menggambar kartun maka aku ada!”

Maka kugambarlah kartun tentang wabah korupsi yang makin merajalela. Wabah yang menurut Bung Hatta sulit diberantas, karena sudah merupakan budaya.

Sedangkan menurutku, korupsi di Indonesia terus berjangkit, karena adanya mental yang salah dalam memimpin. Mental penguasa yang selalu berkata: ‘Aku berkuasa maka aku ada!”

Karena ketika mantra itu yang terpatri di hati, saat berkuasa yang terjadi adalah, ‘Aku korupsi maka aku ada.’ Keberadaan seorang pemimpin hanya dinilai dari seberapa dia berkuasa. Padahal keberadaan hal semacam itu hanya akan menyuburkan iklim korupsi. Karena hanya dengan melakukan korupsilah, dia mengangap dirinya ‘ada’.

Kalau mental ini terus tertanam dalam jiwa para penguasa negeri ini, maka wabah korupsi semakin sulit diobati. Dan tak ada lain yang akan terjadi hanyalah kebangkrutan Indonesia.

Sebab mestinya semangat para pemimpin bukanlah untuk berkuasa. Melainkan benar-benar  untuk memimpin. Dan para pemimpin yang ingin memimpin harus meniatkan dalam hati, ‘Aku memimpin maka aku ada.’ Ini semacam niat agar para pejabat hari ini tidak lagi bermental penguasa. Tapi para arif bijaksana yang bersemangat memimpin bangsa. Sebab dengan spirit itulah yang akan membawa kepada semangat anti korupsi.

Dengan semangat itu pula yang akan melahirkan kinerja birokrat dengan slogan, ‘Aku anti korupsi maka aku ada’. Dan itulah yang akan menuju pada kebangkitan Indonesia.

Pemikiran itu pun kemudian kutuangkan dalam sebuah karya kartun pada empat tahun silam. Kartun yang kemudian kukirimkan dalam Lomba Kartun Serial Tingkat Nasional yang diadakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Waktu itu KPK sedang giat-giatnya menggelar kampanye anti korupsi dengan jargon ‘Bangkit: Lawan Korupsi!’

Dan sampai sekarang aku masih terkenang peristiwa itu. Tentang lomba kartun nasional itu.

Yang pertama, karena yang mengadakan adalah lembaga bergengsi yang dikenal bersih, Komisi Pemberantasan Korupsi yang dipimpin oleh Taufikurrahman Ruki. Yang kedua, karena pesertanya dibatasi tidak boleh mengirimkan karya lebih dari satu kartun. Jadi ini benar-benar perang kualitas karya yang sesungguhnya. Yang ketiga, karena jurinya adalah sosok-sosok idolaku sejak kecil yakni Arswendo Atmowiloto, Pramono R. Pramoedjo, dan GM Sudarta. Sementara yang keempat karena hadiahnya sangat mengundang selera, juara pertama 15 juta!

Aku pun mengikutinya dengan niatan mulia untuk berpartisipasi dalam kepedulian anti korupsi. Juga pemikiran ‘mulia’, kalau menang nanti uangnya bisa untuk memberi makan anak istri.

Dan ternyata kartun itu mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari Dewan Juri. Karena ketika diumumkan, ternyata kartunku berhasil menyisihkan 731 karya peserta lainnya. Kartun yang kuberi judul ‘Aku Anti Korupsi Maka Aku Ada’ itu berhasil menjadi juara pertama!

Lututku bergetar ketika ditelpon orang yang mengaku dari KPK. Memberi tahu bahwa kartunku menjadi juara pertama. Dan aku diharapkan bisa datang ke Jakarta untuk menerima penghargaan. Aku langsung sujud syukur, dan segera kuberitahu Ummi. Bahkan sempat tak percaya, sebab takut ini sebuah penipuan. Karena yang terbayang dalam benakku adalah uang 15 juta.

Namun ternyata kabar itu benar adanya. Sebab tak berapa lama kemudian, temanku seorang kartunis sekaligus wartawan dari Indramayu menelpon mengucapkan selamat padaku. Dan aku pun segera berlari ke warnet untuk mengecek pengumuman resmi di web KPK.

Keesokan harinya, dengan kereta ekonomi akupun datang ke ke Jakarta, ke kantor KPK. Dan di sana bertemu dengan banyak kartunis Indonesia lainnya yang juga menjadi pemenang. Ada kebahagiaan luar biasa. Juga kebanggaan sejenak merasuk dada. Mendadak jadi seperti selebritis yang dikerubuti wartawan. Banyak sekali diwawancari berbagai wartawan Koran, radio, dan tivi. Dan seharian itu, sms dari teman-teman pun langsung memenuhi HPku.

Dan pagi ini, aku  sedikit terkenang pada saat menerima sertifikat dan piala.

Setelah kujabat tangan Taufiqurrahman Ruki sang ketua KPK, aku langsung membacakan sebuah sajakkartun. Puisi paling jelek sedunia yang sengaja kubuat sebagai bentuk dukungan bagi KPK. Sajak yang aslinya karya penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Nur yang telah kuacak-acak seenaknya.

“…

Korupsi

telah menjadi menu makanan sehari-hari

rakyat sudah muak dengan janji

pemberantasan korupsi

Para pejabat yang sudah bergelar haji

tak pernah menganggap korupsi

sebagai sesuatu yang harus dijauhi

apalagi dimusuhi

 

Meski gaji dinaikkan setinggi langit

wabah korupsi di Indonesia akan terus berjangkit

 

Setiap profesi berpeluang untuk korupsi

termasuk tim komisi pemberantasan korupsi

 

Setiap profesi berpeluang untuk korupsi

kecuali kartunis atau pembuat puisi

….”

oleh Nassirun Purwokartun pada 21 Januari 2011 pukul 22:22

Catatan Kaki 36: Kartunis yang Tidak Ingin ‘Gagal Maning-Gagal Maning’!

Standar

numpang nampang di depan karya mas darta. “oom pasikom di tangan kananku, hati nurani di tangan kiriku.”

Sms shubuh itu sungguh mengagetkan.

“Mas Darta masuk rumah sakit. Dirawat di Panti Rapih. Mohon doa kesembuhan.”

Begitulah sms yang kuterima dari Pak Pram sekitar setengah tahun silam.

Sehari sebelumnya, dalam kesempatan persiapan pameran kartun kanvas nasional ‘JogjaKARTUN hadiningART’, sebenarnya kabar itu telah disampaikan. Bahwa kesehatan mas Darta telah semakin menurun sejak kepulangannya dari Jepang, sebagai Profesor Tamu di Seika University, Kyoto.

Dan kami sudah berencana hendak menengok sekalian memohon mas Darta turut mengirimkan karyanya untuk dipamerkan. Tapi rencana itu urung karena tiba-tiba ada agenda mendadak dalam waktu bersamaan.

Maka setelah mendapatkan sms itu, segera saja kami membuat kesepakatan, pekan depan ke Jogja lagi. Sambil mematangkan persiapan pameran yang akan digelar di Bentara Budaya, sekalian menjenguk untuk mendoakan kesembuhan mas Darta.

Namun ketika kami ke Jogja, mas Darta sudah tidak dirawat di rumah sakit lagi. Sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Maka kami pun menjenguknya ke Sleman, bukan rumahnya yang di Klaten. Konon, rumah besarnya itu ditinggalkan selama proses penyembuhan. Rumah dengan luas 1000 m dengan desain perpaduan Jepang dan Jawa klasik yang lebih mirip galeri.

Di rumahnya yang mungil dan artistik sekarang ini, kami pun berbincang dengan mas Darta yang terlihat lemah setelah menjalani opname. Menurut dokter, ia terkena Hepatitis C. Yang untuk penyembuhan penyakit yang menyerang hati itu, harus menjalani pengobatan rutin selama satu tahun. Tiap minggu harus cek dokter untuk penyuntikan anti-Hepatitic C. Konon butuh lima juta setiap kali suntik yang rutin seminggu sekali tersebut.

Sepulang menjenguk mas Darta, aku langsung bikin status facebook. Kusebar ke teman-teman kartunis seluruh Indonesia. Karena yakinku, kabar ini belum sampai ke mereka. Dan ternyata benar, hampir semua tersentak. Karena dalam pertemuan di Museum Kartun Bali, mas Darta masih terlihat segar bugar dalam balutan busana serba hitam favoritnya. Hingga kabar itu pun menyebar menjadi perbincangan, bahwa ‘Oom Pasikom sedang sakit’!

Dalam persiapan pameran, mendadak Pak Pram mengirimkan smsnya lagi.

“Mas Darta masuk Panti Rapih lagi. Jatuh terpeleset di kamar mandi. Dirawat di Ruang Carolus lantai 5 nomer 28. Mohon doa kesembuhan.”

Aku pun kembali menelpon pak Pram. Dan didapatkan kabar, karena jatuh tersebut tulang kering kaki kirinya harus dioperasi untuk dipasang platina. Hingga kami pun sepakat, dalam pameran nanti, sekaligus mendoakan bagi kesembuhannya. Karena di kala sakit pun, mas Darta tetap berkarya untuk ikut berpameran. Dan tetap rutin mengisi kartun ‘Oom Pasikom’ di Kompas. Bahkan baginya, “Meski GM Sudarta terkapar, tapi Oom Pasikom harus tetap segar bugar.”

Dan dua pekan kemarin aku menelpon Mas Darta. Sekadar meminta maaf, belum sempat lagi mampir ke Sleman. Sekalian memberi kabar, bahwa kami ingin mengundang Dewan Pembina untuk membahas PAKARTI setelah berumur lebih dari 20 tahun. Namun karena keadaannya yang tak memungkinkan, mas Darta ijin tak bisa datang. Sebab setelah operasi tulang kering itu, ke mana-mana harus dengan bantuan kursi roda. Aku pun memakluminya. Dan menyampaikan salam mewakili jajaaran pengurus PAKARTI. Semoga mas Darta lekas sembuh seperti semula.

Sungguh, sampai hari ini aku tak bisa membayangkan bahwa aku akan bisa akrab dengan mas Darta. Maka bagiku, kesempatan ini adalah sebuah kebahagiaan juga. Bahwa hari ini, aku bisa sangat akrab dengan para maestro kartun Indonesia. Sosok yang pada 20 tahun lalu, ketika aku baru mulai belajar menggambar kartun, gambar-gambar merekalah yang kujadikan acuan. Menjadi contoh membuat ‘gambar sarat kritik’ yang baik.

Yang pertama adalah Gerardus Mayela Sudarta atau yang lebih dikenal dengan nama GM Sudarta. Kartunis yang akrab dipanggil dengan panggilan ‘Pak GM’. Namun karena ikut teman-teman kartunis senior, aku memanggilnya dengan nama ‘Mas Darta’. Sedikit sok akrab, lah!

Mas Darta adalah kartunis KOMPAS yang telah mengartun sejak tahun 1967. Jejak karyanya telah terbentang selama 43 tahun. Berbarengan dengan kemunculan koran terbesar di Indonesia tesebut. Aku menyukai kartunnya karena goresannya yang tegas dan rapi. Tapi selain itu, karena gaya berkartunnya yang lembut menggelitik. Khas guyon parikeno dalam dagelan Mataram. Sebuah kritikan ala Jawa yang tidak menyakitkan. Tidak membuat marah bagi yang disindir.

Dalam suatu perbincangan, mas Darta pernah menyampaikan bahwa salah satu pencerahan yang dicapainya adalah “Jangankan presiden, menteri, pejabat atau pihak lain tidak akan marah saat menerima kritik, kita sendiri, yang orang biasa, yang tidak punya andalan apa-apa juga marah atau berkecenderungan marah.” Maka aku pun selalu meniatkan, ketika menggambar kartun, bukan untuk membuat orang marah. Tapi untuk menjadikannya tertawa. Paling tidak tersenyum.

Kartunis berikutnya adalah Pramono R. Pramoedjo, yang akrab kupanggil ‘Pak Pram’. Kartunis senior Sinar Harapan, sekaligus pendiri PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia) yang telah mendedikasikan hidupnya di kartun selama 40 tahun sejak tahun 1970.

Pak Pram merupakan kawan akrab mas Darta sejak masih kuliah di ASRI Jogja. Bahkan ketika kemudian sama-sama hijrah ke Jakarta, saat ditunjuk sebagai Designer Diorama Monas di tahun 1963, dan Monumes Kesaktian Pancasila pada tahun 1966. Hubungan yang telah terjalin hampir separoh abad, membuat keduanya akrab seperti saudara hingga sekarang.

Aku menyukai kartun Pak Pram juga karena goresannya yang tegas dan khas. Rapi dan bersih gelap terangnya, dipadu dengan kritikan yang cerdas menghibur. Sebagai kartunis, Pak Pram mengaku dirinya adalah kartunis yang demokratis. Yang tidak melalui karyanya hendak menghakimi seseorang atau situasi. Tapi sebaliknya, kartun-kartunnya ingin menawarkan alternative pikiran dan opini. “Bahwa kemudian ada orang yang tersinggung, itu masalah lain. Yang jelas karya kartun saya tidak penah diniatkan untuk membuat pihak lain tersinggung,” begitu ungkapnya suatu kali ketika aku main ke galerinya di Salatiga.

Keakrabanku dengan kedua maestro kartun Indonesia, aku anggap sebagai bentuk kebahagiaan. Karena 20 tahun lalu, aku hanya mengenal karya-karya mereka saja. Tanpa pernah bisa membayangkan bahwa aku akan bisa bertemu. Apalagi akrab seperti sekarang ini.

Dulu, pertama aku mendapatkan kartun ‘Oom Pasikom’ dari sobekan koran pembungkus tempe yang dibeli ibu. Sedangkan kartun Pak Pram aku peroleh dari koran bungkus baju yang didapatkan ibu dari tempat jahitan seragam sekolahku. Sobekan kartun tahun 1985an yang masih kukliping hingga sekarang.

Maka ketika pekan lalu, Ketua Umum PAKARTI mengundurkan diri karena kesibukannya, aku yang selama ini sebagai Sekjend diminta menggantikan. Walau dalam hati sempat tersenyum sendiri juga ketika menerimanya. Karena takut menjadi keajaiban dunia yang ke delapan, ketika seorang penulis mengurusi organisasi kartunis. Aneh tapi nyata. Tapi, biar lucu, aku terima saja. Mungkin memang beginilah Indonesia.

Namun setelah pulang, aku menganggap ini amanah yang membawa berkah. Paling tidak mencoba menerimanya dengan bahagia. Karena dengan begini, aku jadi bisa belajar langsung dari para pendekar kartun Indonesia. Dengan mimpiku yang baru lagi, “Siapa tahu puluhan tahun ke depan, aku pun bisa seperti mereka. NasSirun PurwOkartun, maestro kartun dunia!”

Siapa tahu. Wong ingin jadi penulis, 20 tahun belajar masih terus terbata-bata. Mosok hanya sekadar mimpi jadi kartunis pun gagal juga.

Apa nasibku harus sesial Sontol dan Bongol, yang selalu “Gagal maning, gagal maning, son?”

Semoga tidak. Bismillah!

oleh Nassirun Purwokartun pada 20 Januari 2011 pukul 10:54

Catatan Kaki 35: Clekidhur-clekidhur, Mundur dari Wilayah yang Penuh Clekidur!

Standar

Sambil menunggu shubuh, aku duduk di sriban kayu.

Kutarik nafas dalam-dalam, menikmati segarnya pagi yang baru.

Suasana masih gelap. Hanya langit membentang yang membuat pelataran terlihat remang-remang. Kudengarkan irama simphoni pagi dengan mata terpejam. Menikmati sisa-sisa suara suara malam.

Desir angin sangat jelas terdengar. Lalu kokok ayam jantan dari tetangga belakang. Deru kereta samar-samar dari kejauhan. Kerik jengkerik yang bersahutan. Kicau burung puter dari teras tetangga. Bunyi cecak dan suara tokek dari ujung jalan. Juga suara serangga-serangga malam yang masih menyisakan nyanyian.

Kuhirup dalam-dalam udara pagi, sambil terus memejamkan mata. Mendengarkan suara- suara-suara alam yang membuat tenteram jiwa. Musik pagi yang membuat tenang hati.

Dan di antara bunyi-bunyi itu, ada satu suara yang paling keras berdengung di telingaku. Suara yang mendadak membuat batinku terharu. Mataku makin memejam rapat, seolah ada sesuatu hawa baru yang masuk hatiku. Dan suara itu adalah sebuah kerik jengkerik!

Jengkerik yang mengerik dari kebun sebelah, membuatku terkenang masa kecil dulu. Waktu kemarau datang, ketika aku dan teman-teman menyerbu ke sawah. Beramai-ramai mencari jengkrik di antara tumpukan jerami, atau pun lobang-lobang yang rekah.

Apa lagi waktu itu desaku belum punya lapangan. Sawah yang kerontang membentang di pinggir jalan dijadikan lapangan bola dadakan. Bermain di atas tanah yang kering retak. Memperebutkan bola plastik yang murah harganya dengan penuh kegembiraan.

Dan sepertinya, untuk menciptakan kegembiraan memang tidak harus dengan sesuatu yang mahal. Karena kebahagiaan itu datang dari jiwa. Bukan dari luar diri kita.

Maka kebahagiaan bisa datang dari bola plastik murah yang kalau bocor tak perlu dipompa. Tinggal dibuang saja, karena akan kempot dan membuat sulit ditendang. Atau kalau sayang, lobang yang bocor tinggal disobek sekalian. Kemudian disumpal dengan rumput kering rapat-rapat. Dijamin bola bisa kembali diperebutkan.

Namun kebahagiaan mungkin juga tidak datang dari bola semata. Melainkan dari semangat mereka yang membuat permainan murah jadi menggembirakan. Bukan saja semangat para pemain. Juga para penonton, yang ikut bersorak dari tepi lapangan.

Hanya saja, kebahagiaan bola semacam itu tidak berlaku bagiku. Karena aku tak pernah merasa ingin ikut bermain. Entah mengapa. Mungkin karena aku memang tidak bisa main bola. Dan kalaupun ikut, itu juga karena dipaksa, dan sekadar menjadi penjaga gawang atau bek belakang. Yang sebenarnya, hanya menjadi pelengkap hitungan saja.

Maka waktu itu, kebahagiaanku justru dengan menjauh dari lapangan.

Mencari kebahagiaan sendiri, dengan berburu jengkerik. Mengendap-endap mencari jengkerik yang sedang ngerik. Pelan-pelan didatangi tempat persembunyiannya, lalu ditangkap dengan dua tangan. Kemudian dipelihara dalam kandang bambu di rumah. Kandang segi empat yang telah kubuat dari tumpukan bilah-bilah bambu kecil.

Aku suka memelihara jengkerik untuk dimanfaatkan bunyinya. Karena konon kerik jengkerik bisa untuk menakut-nakuti tikus rumah. Apalagi jengkerik jlitheng yang tubuhnya hitam legam dengan kalung warna emas di tengkuknya. Ataupun jengkerik jrabang yang kulitnya berwarna merah menyala. Maka ada kebanggaan sendiri ketika bisa menemukan jengkerik semacam itu, yang terkenal keras dan nyaring bunyinya.

Aku memelihara jengkerik seperti orang-orang tua memelihara burung kicauan. Sebagai klangenan. Hingga kuperhatikan benar makanannya tiap pagi. Dengan memberikan rumput krokot, kobis, wortel, atau cabai merah. Konon itulah makanan bergizi untuk jengkerik. Yang akan membuatnya ngenthir dengan nyaring sepanjang hari..

Kalau aku memelihara jengkerik, karena bunyinya, tidak begitu dengan teman-temanku. Mereka ada yang menangkap jengkerik untuk dijadikan binatang aduan. Dan untuk pemeliharaannya, mereka jauh lebih perhatian.

Untuk merangsang keganasannya dalam menggigit lawan, jengkerik-jengkerik itu mereka kileni. Dengan ujung rumput dom-doman, mereka gelitiki mulutnya. Karena kegelian, jengkerik pun akan tergelitik, terangsang, bahkan tumbuh keberaniannya untuk bertarung. Membuat mulutnya menganga lebar, dengan badan berputar. Siap untuk menyerang.

Lalu untuk melatih kelincahan, jengkerik-jengkerik aduan pun mereka clekidhur. Yaitu dengan cara memertemukan ujung ibu jari dan keempat jari hingga membentuk lubang. Dan jangkrik itu disuruh jalan di dalamnya, dari satu tangan ke tangan lainnya.

Sambil melakukan clekidhur, mereka membacakan mantra yang bunyinya: “Clekidhur clekidhur, mungsuhmu gedhe dhuwur, cokot bae nganti ajur! Clekithet clekithet, mungsuhmu cilik pendhet, cokot bae nganti mlicet!”

Sebuah mantra anak-anak yang mengharapkan agar jengkeriknya selalu menang dalam pertarungan. Seperti apa pun musuhnya, baik besar atau pun kecil tubuhnya. Karena rapal itu artinya adalah, “Clekidur clekidur musuhmu tinggi besar, gigitlah hingga hancur. Clekitet clekitet musuhmu kecil pendek, gigitlah hingga lecet!”

Namun selain untuk piaraan dan dijadikan aduan, ada juga teman yang menangkap untuk dijadikan lauk makan. Untuk itu mereka akan menangkap jengkerik gedubur dan gasir yang bentuk badanya besar namun lembek. Atau juga plondon, anak-anak jengkerik yang belum berbulu. Namun Plondon ini juga bisa dijadikan makanan burung piaraan.

Pada musim kemarau, jengkerik- jengkerik itu melimpah banyaknya. Mereka bersembunyi di bawah tumpukan jerami kering. Pelan-pelan diambil sampai tumpukan menjadi tipis, maka bersiaplah jengkerik akan berlompatan. Dan untuk menangkapnya, tinggal kecakapan tangan yang menjadi taruhan. Seberapa banyak jengkrik yang akan masuk dalam kantong, tergantung seberapa cekatan menangkapnya.

Bagi yang tidak membawa kantong, maka jangkrik akan langsung ditusuk dengan lidi panjang. Lidi diikat ujungnya sebagai simpul, kemudian jangkrik ditusuk di bagian tengkuk yang menyerupai selongsong. Dan disusunlah jengkerik dengan tusukan lidi, yang bisa mencapai panjang sekitar 50-60 cm.

Dan pagi ini, suara jengkerik dari kebun sebelah mengingatkanku pada masa-masa itu. Waktu aku memilih kebahagiaan dengan minggir dari arena permainan sepak bola.

Aku jadi tersenyum sambil merenung. Seolah ini ada hubungannya dengan kehidupanku sekarang. Yang memilih minggir dari wilayah politik dan kekuasaan. Wilayah permaian yang dulu pernah kumasuki dengan penuh idealisme bersama teman-teman seperjuangan.

Dunia yang belakangan sering mengingatkanku pada permainan adu jengkerik. Di mana ada yang suka dikileni dan diclekidur setiap akan masuk tahun-tahun pemilihan.

Dan ternyata, aku tak seperti teman-temanku yang merasa pas terlibat aktif di dalamnya. Mungkin tempatku cukup sebagai penggembira yang menonton dari pinggir arena. Yang keberadaannya hanya menjadi pelengkap hitungan saja.

Maka seperti dulu, sekarang pun aku mencari kebahagiaan sendiri, dengan masuk wilayah gelap perjuangan. Daerah yang sedikit terabaikan dari peta teman-teman. Yakni wilayah budaya!

Dan bukankah dakwah bisa di mana saja tempatnya?

Bismillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 18 Januari 2011 pukul 22:25

Catatan Kaki 34: Mengarang Itu Gampang, Tapi Mengerang Lebih Gampang!

Standar

karena aku mengidolakan, aku pernah berlatih memiripkan seluruh karanganku dengan karangan arswendo. bahkan semuanya. termasuk nyengirnya. kecuali merokoknya!

Mengarang itu gampang, kata Arswendo Atmowiloto.

Dan pagi ini aku terkenang kembali ‘mantra’ sakti itu. Karena dari ucapannya aku meyakini, bahwa sesungguhnya dengan mengarang kita telah melakukan yang baik dan berarti. Bahwa mengarang adalah pekerjaan yang mulia. Jauh lebih mulia dari menganggur dan sekadar berangan-angan tanpa menuliskan.

Mengarang itu gampang. Apakah ini tidak salah judul?

Tidak, dan tentunya kamu tidak salah baca. Mengarang itu gampang. Tak ada yang sukar, kalau kita mempunyai minat dan ambisi terus-terusan.

Selain minat dan ambisi yang terus menerus, apa ada syarat lain?

Ada. Yaitu bisa membaca dan menulis. Gampang kan? Kalau kamu sudah mengangguk, berarti harus diperhatikan benar bahwa membaca dan menulis yang baik dan benar itu perlu latihan, perlu disiplin, perlu minat yang tak kunjung habis.

Minat lagi. Apa sebenarnya minat dan ambisi yang tak kunjung habis?

Minat dan ambisi seperti juga rasa cinta. Terus mengalir. Ini didasarkan pada kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang kita cintai, dan kita percaya ada sesuatu yang baik yang bakal kita lakukan dengan itu.

Ambisi?

Kalau kamu tidak mengenal putus asa. Mengarang memang tidak sekali jadi. Rasanya tak ada pengarang yang sekali mengarang, dan langsung berhasil.

Minat dan ambisi, okelah. Baca dan menulis, bisalah. Tapi apa dengan itu saja lalu bisa menjadi pengarang?

Kalau sudah mengarang, menghasilkan satu tulisan, apa lagi namanya kalau bukan pengarang?

Memang ada persamaan antara menulis surat dengan mengarang?

Menulis surat dan mengarang sama artinya. Membagikan pengalaman pribadi kepada orang lain. Hanya saja, dalam menulis surat kita membayangkan satu orang yang bakal membaca. Sedang mengarang lebih lagi.

Persamaan dengan buku harian?

Saat mengarang, kita harus jujur dengan diri kita sendiri. Ini yang mau kita tulis. Ini keinginan kita. Dan sekali lagi, adanya kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang baik dan berarti.

Jujurnya bagaimana?

Jujur kok bagaimana. Jujur, ya terus terang, setia kepada yang ingin kita sampaikan. Yang ingin kita tulis.

Jujur, masih sangat segar dalam ingatanku. Baik pemikirannya, atau pun bahasanya. Sebuah pengantar yang luar biasa. Yang mampu menyihir kepercayaanku, bahwa mengarang itu gampang. Dan aku pun menjadi yakin, akan bisa jadi seorang pengarang.

Aku pertama kali tersihir ‘mantra’ itu pada 20 tahun lalu, waktu masih kelas 2 SMP. Ketika dengan bahagia luar biasa bisa menemukannya di kios loak langgananku. Buku ‘Mengarang Itu Gampang’ karya Arswendo Atwowiloto. Sebuah buku panduan kepenulisan yang didasarkan pada pengalaman panjangnya sebagai pengarang.

Dan buku terbitan tahun 1983 itu pun kubaca tuntas. Bahkan kuulang lagi, lebih dari sepuluh kali. Namun  anehnya, tak pernah merasa bosan. Selalu menemukan kesegaran baru pada tiap mengeja katanya. Menemukan pemahaman baru untuk mampu memberi makna tiap paparannya.

Bahasanya sangat membuatku terpikat. Segar. Seperti bercanda, tapi sebenarnya serius. Seperti main-main, tapi maknanya dalam. Panduannya praktis, sangat teknis, hingga mudah dilakukan. Cara penyampaiannya disusun dalam bentuk tanya jawab yang sangat mengasyikkan. Seperti obrolan seorang murid dengan gurunya yang telah akrab sehangat sahabat.

Buku itulah yang kemudian berjasa besar mengajariku menulis secara lebih menarik. Bahkan membuatku merasa yakin, bisa menjadi panduan pasti meraih cita-cita lamaku.

Sebuah cita-cita yang pernah kupancangkan di waktu aku berumur 10 tahun.  Waktu masih kelas 5 SD, dalam Tes Hasil Belajar pelajaran Bahasa Indonesia, pada soal karang mengarang. Ketika teman yang lain sibuk memilih-milih tema ‘Berlibur ke Rumah Nenek’ dan “Cita-citaku’, aku telah menuliskan ‘Menjadi Penulis’ sebagai judul karanganku. Karangan yang paling cepat dikumpulkan, mengalahkan teman sekelasku yang sibuk berangan-angan menjadi insinyur, dokter, polisi, tentara, presiden, pilot, bahkan astronot!

Dari buku kumal itu, aku terangsang betul menjadi penulis. Menjadi jelas pilihannya, setelah waktu SD sempat dibingungkan dengan cita-cita menjadi wartawan ataukah penulis. Menjadi wartawan yang kerjanya menulis berita, atau menjadi penulis yang kerjanya mengarang cerita. Dari buku itu aku mantap menjadi penulis atau pengarang saja. Apalagi katanya, mengarang itu gampang. Bisa dipelajari. Asal bisa baca tulis dan mempunyai bakat.

Bakat. Aha, mendadak aku menemukan definisi kata ‘bakat’ yang berbeda dari yang selama ini aku pahami. Bakat bukanlah kelebihan bawaan lahir, yang melekat dalam diri manusia. Namun minat dan ambisi yang terus menerus dan tak mudah patah.

Merawat bakat adalah dengan memperbanyak latihan. Perlu kedisiplinan agar minat yang sebelumnya menggelegak tidak kunjung habis. Maka setiap hari, kumulai di kelas 5 pula, aku mempunyai buku harian. Sebuah buku tebal bersampul batik dengan gambar burung gelatik. Buku sederhana yang kujadikan diary yang kutulis setiap pulang sekolah, setelah makan siang.

Buku yang sempat kubawa ke sekolah, dan tak sengaja diambil oleh teman sebangkuku. Hingga dibaca ramai-ramai, dan teman sekelas tertawa-tawa dan meledekku. Karena mereka telah membaca tulisan-tulisan yang  berisi perasaan cinta monyetku pada seorang adik kelas. Termasuk surat-surat yang hanya kusimpan karena tak berani kusampaikan padanya.

Sungguh aku sangat malu. Apalagi setelah kejadian itu, banyak teman yang menganggapku cengeng. Menurut mereka, anak laki-laki tak pantas punya diary. Kebiasaan itu hanyalah untuk anak perempuan saja. Namun aku tak peduli. Karena begitulah langkah yang kubaca dalam buku yang sedang kupelajari. Ilmu yang sedang kuyakini, bahwa mengarang itu gampang.

Mengarang itu gampang. Mendadak mantra itu seperti terngiang kembali di telinga. Ketika semalam aku tak sengaja membukanya kembali. Buku bersampul coklat dengan gambar seorang laki-laki dengan rambut gondrong berantakan. Bajunya kusut dengan wajah yang tersenyum lebar. Pada sela- sela giginya terjepit rokok dengan asap mengepul. Duduk di depan meja mesin ketik, yang di bawahnya berserakan buku-buku. Juga kertas kertas bekas ketikan dan beberapa puntung rokok. Wajah yang tak lain adalah karikatur dari Arswendo sendiri. Dan mungkin begitukah yang ingin dikesankannya dari sosok seorang pengarang. Serius, tapi santai!

Setelah sekilas kubaca kembali, buku bekasan yang kudapatkan di tahun 1993 itu masih saja menawarkan kesegaran. Sekaligus tawaran ulang, bahwa mengarang juga melatih kita untuk jujur. Terutama jujur dengan diri kita sendiri.

Maka jujur, setelah menutup buku itu aku pun malu. Karena setelah kucermati biodatanya, buku itu ditulis Arswendo ketika ia berumur tepat seusiaku.

Di saat itu, ia telah sangat terkenal sebagai penulis produktif. Sekaligus wartawan Kompas dan juga redaktur majalah Hai. Dengan naskah-naskahnya yang berkali-kali memenangkan sayembara. Bahkan diundang mengikuti International Writing Program di Iowa, USA. Novel-novelnya laris di pasaran. Juga kumpulan cerpen dan cerita serialnya, semacam Imung , Swara Merah Putih, dan Kiki dan Komplotannya. Bahkan serial ACI yang ditayangkan di TVRI menjadi sinetron yang paling ditunggu pemirsa.

Sedangkan aku sekarang? Pada umurku yang tepat seusia dia, masih saja terbata-bata menulis karangan. Padahal sudah 20 tahun belajar dan pernah meyakini bahwa mengarang itu gampang.

Sepertinya, mengerang memang lebih gampang!

oleh Nassirun Purwokartun pada 17 Januari 2011 pukul 17:35

Catatan Kaki 33: Pada Suatu Sriban, Pada Suatu Sore di Bulan Ramadhan

Standar

Sore hari di bulan ramadhan.

Aku bersama anak istri baru pulang jalan-jalan ke Manahan, naik motor berboncengan. Di ujung pertigaan ada seorang anak berusia belasan, dengan dua buah sriban dagangan. Dua buah kursi panjang dari kayu dengan bentuk sederhana yang diikatkan pada boncengan sepeda onthelnya. Sampai sesore itu, sepertinya belum laku satu pun barang dagangannya.

Ketika melihat bentuknya, aku sudah timbul rasa tertarik. Sebuah kursi panjang yang tiba-tiba mengingatkanku pada sriban yang ada di rumahku, di kampong dulu.

Tapi karena sebentar lagi saat berbuka akan tiba, Ummi tak mau berhenti. Hingga kami pun langsung pulang ke rumah.

Waktu sudah hampir maghrib. Petang meremang.

Ketika mau menyalakan lampu jalan, aku melihat anak yang jualan kursi panjang sedang termangu di depan pagar rumahku. Badannya kurus, rambutnya tak terurus. Kaosnya coklat kusut dengan topi hitam kumal. Pada wajahnya terlihat lelehan keringat kelelahan. Mungkin kecapaian menuntun sepeda dengan dua buah kursi panjang melintang pada boncengan.

Aku langsung turun ke jalan, dan kutanyakan harganya. Katanya satunya 100 ribu rupiah.

Aku mencoba menawar, “Kalau kubeli dua-duanya jadi 150 ribu, bisa?”

Dia menggeleng, “Kalau beli semua, 190 ribu, Pak!”

Dan tanpa tawar menawar lagi, aku sepakati harga yang diberikan.

Anak itu pun langsung menurunkan kursi dagangannya dari boncengan. Tali-tali pengikat dilepas dari kaitannya. Dua kursi panjang itu pun diturunkan dan diletakkan di pinggir jalan. Lalu satu per satu digotong ke teras rumahku.

Adzan dari masjid belakang rumah sudah berkumandang. Waktu berbuka telah tiba. Aku masuk ke dalam rumah untuk sekadar minum teh panas. Dilanjutkan minuman wajib berbuka, es kelapa muda dengan gula merah plus irisan buah nangka.

Setelah minum teh aku pun ke depan lagi, Dan dua kursi panjang telah terpajang di teras sebelah kanan. Aku dan anakku duduk di atasnya sambil meminum es kelapa muda. Anak penjual sriban itu kupanggil ke teras. Ummi menawarkan es kelapa muda yang sudah dituang dalam gelas.

Awalnya ia menolak. Sibuk membenarkan letak sepedanya, dan juga tali temali pengikatnya. Tapi karena Ummi terus memaksa, akhirnya anak itu mau juga.

Dan seperti kehausan yang sangat, ia langsung menghabiskan esnya dengan sekali tegukan hingga tandas. Juga ketika makan nasi gudeg, dengan lauk ayam bakar. Plus lalap dan sambal mentah nikmat ulekan Ummi.

Aku dan anakku pun makan bersamanya di teras depan rumah. Sekedar menemaninya makan dengan mengambil nasi sedikit, karena aku tak biasa langsung makan setelah waktu berbuka. Dan seperti masih kehausan, dia nambah es kelapanya satu gelas besar lagi. Kuperhatikan, nikmat benar makannya. Kutanyakan dari mana asalnya. Dia menyebut sebuah nama Kecamatan di daerah Boyolali yang sudah kulupa. Konon jaraknya sekitar 1 jam naik sepeda dari rumahku.

Menurut ceritanya, dia berangkat jam delapan pagi dari rumahnya. Telah seharian keliling Solo untuk menjajakan kursi panjang dagangannya. Dan sampai dengan jam enam sore, ternyata belum laku satu pun juga. Sebenarnya dia sudah ingin pulang karena putus asa. Tapi ada rasa tak enak juga pada keluarga, karena seharian tak mendapatkan uang untuk ibunya.

Mungkin memang aku sudah berjodoh kursi panjang itu. Hingga aku lah yang kemudian membelinya. Karena sebenarnya sudah lama ingin mempunyai kursi panjang yang demikian bentuknya. Hanya saja belum ketemu penjualnya. Tak ada yang pernah lewat depan rumah. Padahal di jalan-jalan sering terlihat orang menjajakan dengan diboncengkan sepeda.

Aku dan anakku sudah selesai makan, dan sudah bersiap ke masjid. Anak itu pun telah menyelesaikan makannya. Juga menghabiskan es kelapa untuk yang ketiga kalinya.

Setelah merapikan tali pengikat kursi panjang ke boncengan sepeda, ia pun pamitan. Dan langsung kubayar dengan uang pas, 190 ribu rupiah!

Sebelum keluar halaman Ummi memanggilnya, “Mas, kalau diberi beras mau apa tidak?”

Anak itu menjawab malu-malu, “Beras gimana to Bu?”

Kebetulan kami di kampung masih dianggap miskin. Mungkin karena rumah kami statusnya masih mengontrak. Jadi masih mendapat jatah raskin dari kelurahan. Beras untuk kami, orang-orang yang memang berada di bawah garis kemiskinan.

Dengan cepat Ummi langsung membagi beras 20 kg beras dari kantong gandum  menjadi dua. Separoh untuk kami sendiri, sebagai persediaan hingga lebaran. Yang separoh dimasukkan kantong plastik hitam untuk diberikan pada si anak penjual sriban.

Maka sejak itu, kursi kayu panjang itu pun berada dengan manisnya di teras rumahku.

Kuletakkan tepat di depan jajaran pot-pot bunga yang ditanam Ummi. Tempat aku sering mengobati kebosanan dengan melihat warna-warna bunga dan hijaunya daun-daunan. Tempat aku menimba kembali kesegaran kehidupan dari kuningnya daun yang jatuh dan kemudian luruh.

Bahkan dengan adanya kursi itu di rumah kontrakanku, seolah bisa mengobati kangen pada sriban tua yang ada dirumahku. Sriban yang telah menemaniku menemukan diri, hingga menjadi diriku yang sekarang ini. Sriban panjang tempatku dulu memahat jiwa, dengan banyak-banyak membaca, menulis, dan menggambar setiap hari.

Sriban yang bagiku sangat bersejarah, hingga kuanggap sebagai salah satu prasasti kecilku.

Maka sekarang, aku sering mengobati kerinduan itu dengan membaca dan menulis di atas sriban itu. Kursi kayu sederhana yang kuanggap sebagai pengganti sribanku yang di rumahku dulu.

Dan di kursi itu pula, sekarang aku ingin kembali memulai langkah sebagai seorang penulis.

Setiap pagi aku menulis catatan harian yang kunamakan ‘catatan kaki’. Seperti yang sedang kulakukan sekarang ini. Dua kursi panjang itu kudekatkan saling berhadapan. Kedua kaki kunaikkan dan kuselonjorkan ke depan. Lalu laptop kuletakkan di atas pangkuan.

Aku pun mulai terbang melayang ke masa silam. Mengenang semua kenangan yang bisa kujadikan pelajaran. Dan mencoba mengikat dengan menuliskannya dalam waktu satu jam.

Sambil menghirup segarnya udara pagi, belajar menuliskan hal-hal kecil yang tak berarti. Seperti tentang kursi panjang yang sedang kududuki ini. Kursi panjang yang kubeli tiga tahun silam. Pada suatu sore hari di bulan ramadhan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 16 Januari 2011 pukul 22:30

Catatan Kaki 32: Alangkah Indahnya Dunia Tanpa Suara Nyanyianmu….

Standar

Suara bisa melegakan tenggorokan. Bahkan konon bermanfaat untuk menghangatkan wajah, memijat hati, dan meningkatkan semangat.

Aku pun mencoba mengamini. Dengan kembali belajar bernyanyi.

Karena dari dulu sebenarnya aku senang menyanyi. Paling tidak punya ketertarikan pada seni suara. Itu terbukti dengan suka menyanyi sendiri di kamar mandi. Intinya, senang menirukan bermacam-macam lagu, meski jauh dari kesan merdu.

Aku mulai suka menyanyi sejak mengenal lagu ‘Mentok-Mentok’ yang diajarkan di TK. Lalu menghafalkan lagu ‘Indonesia Raya’ setelah menginjak SD. Kemudian merapal bermacam lagu nasional lainnya yang selalu dinyanyian tiap upacara bendera.

Dan kesukaan itu bertambah ketika naik kelas 2. Melalui pelajaran Bahasa Jawa, mulai mengenal bermacam tembang Macapat. Aku suka menyanyikannya. Bahkan dengan penuh kekaguman. Hingga waktu kelas 4, aku sudah hafal 12 nama tembang macapat, dari Mijil hingga Pocung, berikut makna yang terkandung tiap lagunya. Ketertarikan itu berlanjut, untuk mempelajari cara penulisannya.Tentang guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan yang menjadi acuan baku dalam penulisan seni sastra suara Jawa itu.

Dan ketertarikan pada nyanyian semakin terlihat di kelas 5. Waktu aku mulai menyukai lagu-lagu pop cengeng yang sedang menjadi selera. Tiap sore melalui siaran RRI, aku turut menirukan lagu-lagu yang syairnya selalu didiktekan penyiarnya. Maka berkenalanlah aku dengan lagu pop berirama sendu yang banyak bertemakan cinta.

Hingga aku sempat berpikir, sifat romantisku mungkin bermula dari pasokan lagu cinta yang tiap sore kudengar. Menjadi hafal seluruh lagu yang dinyanyikan Nia Daniati, Dian Pisesha, Betharia Sonata, Diana Nasution, Eddy Silitonga, lis Sugiarto, Christine Pandjaitan, Rita Butarbutar, Hetty Koes Endang, Emilia Contessa, Grace Simon, Rita Dinah Kandi, Maya Rumantir, hingga Nurafni Octavia. Lagu-lagu mellow yang banyak diciptakan oleh Obby Mesakh, Rinto Harahap dan Pance F. Pondaag.

Dan kenangan masa kecil itu sesekali masih sering muncul tanpa sengaja. Di saat menulis, aku suka tiba-tiba menyanyikan lagu yang dulu sangat kuhafal di luar kepala.

Ummi suka tersenyum meledek, “Abi tuh emang wajah Rambo, hati Rinto, ya?!”

Ledekan yang sering kubalas, “Abi ini hati Rinto, tapi wajah Romeo. Makanya dapatnya Yuliet!” Istriku pun semakin tertawa. Karena kebetulan nama Ummi adalah Yuli.

Jadi sebenarnya aku suka menyanyi. Hanya sayangnya, di antara adik-adik, suarakulah yang paling jelek. Tidak berirama. Sember dan sumbang. Hingga kalau aku bernyanyi, mereka suka meledek, “Alangkah indahnya dunia, tanpa suara nyanyianmu, Mas….”

Namun ‘pujian’ itu tak mengurangi minatku pada nyanyian.

Suara jelek tak menghalangi cintaku pada lagu-lagu. Hingga ketika remaja, aku mulai mencintai keroncong sebagai musik yang bisa membuatku damai. Setelah sebelumnya bergelut dengan bermacam ‘nasyid-nasyid’ di awal-awal kemunculannya. Nasyid tanpa rebana yang kemudian dikenal sebagai ‘accapela’. Hingga sekarang, setelah tua lebih menggemari musik klasik, terutama gendhing-gendhing gamelan Jawa.

Dan sampai kini pun aku masih suka menyanyi, tanpa peduli sering disindir istri. Sekadar aku ingin mencoba bahwa katanya menyanyi bisa bermanfaat bagi jiwa. Mencoba mendapatkan kekuatan dari keajaiban suara. Seperti panduan yang baru saja kubaca. Hanya dengan meletakkan tangan di atas tulang dada. Kemudian menyanyikan huruf voal ‘A I U E O’ terus menerus dan berulang-ulang penuh perasaan, penuh penghayatan.

Mata pun kupejamkan agar mampu merasakan vibrasi suaraku. Mencari celah untuk masuk ke dalam gaung yang tenang. Masuk lebih dalam menuju gaung yang menghanyutkan. Gaung yang menenangkan.

“Ketika kehabisan nafas, bernafaslah tanpa suara dan ulangilah. Kemudian tutupkan tangan pada kedua telinga, disertai hirupan yang ringan dan buatlah suara ‘mmmmmmmmm’ yang panjang. Anda akan merasakan gaung yang menyejukkan.” Begitu kata buku yang tadi kubaca.

Aku pun kembali mencoba untuk mendapatkan gaung yang menyejukkan. Bersenandung ‘A I U E O’ berulang-ulang dalam satu tarikan nafas. Terus menerus, sampai benar-benar tidak bisa menahan nafas. Mengulang dengan mata terpejam. Mencoba menikmati betul suara nyanyian entah bernada apa, namun keluar dari jiwa. Nyanyian  ‘A I U E O’ dengan nada berganti-ganti dan vibrasi yang sampai menyentuh hati.

Kemudian aku pun menutup telinga, sambil menghirup udara disertai desisan, “mmmmmmmmmmmm” yang berkepanjangan.

Dan ternyata benar. Aku merasakan kesegaran. Sesak di dada hilang. Gelisah pada jiwa hilang.Ada kesegaran yang menyelusup dada. Merasuk jiwa. Ada. Ya Allah, jagalah ini, agar jangan pernah pergi lagi.

Aku pun mencobanya kembali. Dengan penuh perhatian dan perasaan. Diulang dengan tahapan yang lebih konsentrasi. Ternyata suara memang bisa mendesiskan kedamaian.

Dan karena ketagihan, hal itu kuulang kembali di jalan. Dalam perjalanan pulang dan pergi ngantor aku kembali bersenandung. Dalam satu tarikan nafas, kudendangkan lagu ‘A I U E O’ yang sangat lama. Dengan nada yang berbeda-beda, dan intonasi yang berganti-ganti. Seolah sedang menciptakan irama baru, nyanyian baru, senandung baru, yang sangat merdu untuk kalbu. Untuk kalbuku sendiri, tentu.

Aku pun merasakan ketenangan. Kebuntuan berpikir, kesesakan jiwa, dan segala yang menikam dada, yang membuat merasa sedikit putus asa, kembali bangkit rasa.

Setelah merasakan itu, mendadak aku menjadi berpikir untuk belajar qiro’ah saja. Belajar membaca qur’an dengan cara dilagukan.

Bukankah itu perpaduan dari senandung jiwa dalam pembacaan perkataan Tuhan. Ayat-ayat yang mampu menenangkan batin bagi siapa yang mau membacanya. Apalagi, kalau dibaca dengan penuh perasaan dalam pengucapan. Dengan dilagukan seperti sedang meditasi dalam nada satu tarikan nafas. Aku jadi benar-benar jadi ingin belajar qiro’ah.

Tentu bukan dengan tujuan untuk dipertontonkan ketika ada acara pengajian di Kelurahan. Apalagi mencari piala dalam acara Musabaqah Tilawatil Qur’an. Tapi untuk belajar meresapi makna ayat-ayatnya, dengan penghayatan tekanan intonasi tajwid dan bermacam makhrajnya.

Meski suaraku jelek ketika bernyanyi, semoga tidak demikian ketika berqiro’ah. Dan karena yang dibaca adalah kalam suci Illahi, hatiku pun pasti akan menjadi lebih tenang. Walaupun aku sadar kalau suaraku jelek, tak merdu, sember dan sumbang.

Namun paling tidak kalau adik-adikku mendengar, mereka pasti tak akan berani lagi berkomentar, “Alangkah indahnya dunia tanpa suara tilawahmu, Mas…..”

oleh Nassirun Purwokartun pada 14 Januari 2011 pukul 22:35

Catatan Kaki 31: Kamu Selalu Tak Percaya Kalau Aku Sangatlah Pemalu

Standar

Orang selalu tak percaya kalau sifat asliku adalah pemalu.

Hingga ketika kutulis di biodata saat menjadi pembicara, bahwa aku adalah seorang yang penakut dan pemalu (terutama pada perempuan) tak seorang pun memercayai itu. Bahkan semua menertawakanku. Seolah aku sedang menyampaikan kebohongan, atau bahkan sekedar sedang ingin melucu.

Padahal itulah seasli-aslinya diriku.

Bahwa kemudian seakarang aku  terlihat seperti orang yang PD, semua itu adalah berkat perjuangan panjangku. Penderitaan membangkitan kepercayaan diri yang telah bertahun-tahun menggurita menjerat langkahku, jauh sejak masa kecil dulu.

Hingga hari ini pun orang sering tak percaya, kalau aku sebenarnya tak punya keberanian berbicara di depan umum. Namun justru di sini anehnya. Bahwa aku bisa tampil di atas panggung, dengan audiens ratusan orang hingga ribuan. Ketika menjadi MC, aku bisa berbicara bagai tanpa beban. Cuek ceria dengan celetukan-celetukan nakalnya. Dengan puisi-puisi ‘remeh temeh’ yang tak ada mutunya, namun kemudian banyak orang suka.

Tapi kalau disuruh berbicara di depan empat atau lima orang, aku sangat-sangat tak bisa. Apalagi kalau harus duduk melingkar, yang jarak antara aku mereka tak lebih dari sedepa. Aku mendadak gemetar, dan hilang keberanian. Entah karena apa. Tapi itulah faktanya. Karena aku memang orang yang pernah mengidap minder yang parah.

Maka pagi ini, aku ingin mengenang kembali minderku. Yang sudah pernah aku kubur, namun kurasakan sedang bangkit kembali. Hari-hari ini, aku seperti menjadi orang yang tak punya kepercayaan diri lagi. Menjadi orang yang menderita keminderan akut lagi.

Untuk kepentingan itulah, aku mengenang hal apa yang dulu pernah membuatku mampu membunuh minder. Untuk kemudian menumbuhkan percaya diri, pada hari-hari ini.

Dan setelah semalaman kurenungkan, sesuatu yang mampu membuatku bisa bangkit dari keminderan ternyata karena menulis. Karena aku menulis.

Ya. Menulis. Menulislah yang kemudian menolongku berdiri tegak sebagai manusia, yang ternyata punya sedikit kelebihan di antara unggunan kekuranganku.

Maka dengan sedikit GR, menulis pulalah yang juga telah menjadikanku dikenal banyak orang. Sekaligus mengenal orang lebih banyak. Orang menjadi kenal siapa Nassirun Purwokartun, karena aku telah menulis. Kalau tidak menulis, mungkin tak ada yang mau menyebut namaku hari ini. Bahkan sampai kelak aku mati nanti.

Jadi benar kuyakini bahwa menulislah yang telah membuatku lebih dikenal di banding orang lain. Paling tidak daripada saudara-saudara dan tetangga-tetangga sekampungku.

Namun setelah kurenungkan ulang, sepertinya bukan karena dikenal orang itu yang membahagiakan. Karena ketika seseorang menulis kemudian terkenal, bagiku  itu hanyalah sebatas efek samping saja. Maka aku pun tak pernah merasa iri dengan keterkenalan teman-temanku, yang sekarang telah menjadi penulis tersohor.

Karena ternyata, efek utama menulis yang sangat terasa membahagiakanku adalah meningkatnya kelasku. Meningkatnya martabat dan, katakanlah, derajatku. Aku betul-betul merasakan peningkatan itu. Dan sungguh sangat merasakan kebahagiaannya. Sekali lagi bukan karena terkenal, tapi karena meningkat derajat statusku..

Bayangkan, dari seorang anak kampung yang sangat minder karena kemiskinan dan kebodohan keluarganya. Anak desa tertinggal yang tak berpendidikan tinggi, dengan orang tua yang buta huruf bahkan tak sempat lulus SD. Yang tidak pernah merasakan hangatnya bangku kuliah apalagi mengenyam gelar sarjana, kemudian setapak demi setapak beranjak naik tingkat merasa sederajat dengan para penulis terkenal di kota.

Di masa remaja, aku bunuh minder dengan mengaku sebagai penulis, ketika berkumpul dengan seniman di Gedung Kesenian Soetedja.

Dan sejak itu aku lebih sering berada di kota, dengan meninggalkan kehidupan sebagai anak desa. Berada di tengah pusaran dinamika diskusi para budayawan. Menjadi bagian dari perbincangan tentang budaya dan humaniora.

Lingkaran yang kemudian membuatku berkutat lekat dengan dunia perbukuan dan penerbitan. Yang kesemuanya menjadi sarana terbentuknya masyarakat yang cerdas dan berwawasan luas, di mana aku ingin terlibat di dalamnya.

Dari lingkaran sederhana itu, kemudian kepercayaanku semakin berkembang. Bahkan dengan mengaku sebagai ‘penulis’, kemudian bisa keliling sekolah dan kampus-kampus. Untuk mengajak membudayakan membaca dan menulis pada para mahasiswa.

Dan semua itu terraih, karena aku menulis.

Aku yang sangat minder dengan kebodohan dan kemiskinanku, sedikit demi sedikit terkikis, hingga terpupuklah rasa percaya diri itu. Bermula dari seorang yang tak punya kebanggaan apa pun, karena tak punya apa pun yang layak untuk dibanggakan, menjadi seorang yang bisa mengajak orang lain untuk bangga dengan kemampuan dirinya. Bangga dengan segala kelebihannya. Bahkan bangga dengan segala kekurangannya. Bangga dengan segala potensinya. Termasuk potensi menulis.

Sungguh, sangat kurasakan, bahwa menulis telah merubah segala yang ada pada diriku.

Dengan menulis, aku menjadi mampu mensyukuri apa pun yang terjadi dengan diriku. Aku tak lagi meratapi nasib burukku, ketika tak sempat kuliah, karena tak ada dana yang dipunya orang tuaku. Justru menjadikanku pelecut untuk terus belajar, meski pun tak didapat dari bangku kuliah. Dan itulah yang kulakukan bertahun-tahun kemudian.

Maka sekarang aku telah memantapkan hati, bahwa menulis telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupanku. Karena menulislah yang mengangkat harkatku sebagai manusia, yang punya kelebihan. Yang mampu membuatku percaya, bahwa aku punya potensi.

Maka untuk kembali memupuknya, aku tak boleh meninggalkan menulis setiap hari. Dan ini kupancangkan dalam hati, bahwa menulis adalah ibadah wajibku. Ibadah wajib untuk diriku sendiri. Sesuatu yang wajib dikerjakan setiap hari. Dan ketika meninggalkan, maka sama saja dengan berdosa. Seperti juga hukum bagi meninggalkan shalat fardhu.

Ini bukan untuk memelencengkan fikih tentang mana yang wajib mana yang sunah. Karena ini hanya berlaku bagi diriku sendiri. Wajib untuk diriku sendiri. Menulis menjadi kewajiban hidupku. Maka begitu tak lagi menulis, sama saja dengan akan datang kematianku.  Dan kalau tak menulis, berdosa besarlah aku.

Dosa besarnya dalam agama ditebus dengan dimasukan ke neraka jahanam. Sedangkan dosa besar dalam ‘karya’ dimasukan ke neraka ‘kreativitas’. Yang itu berarti aku menjadi kreator yang gagal! Yang selalu menemui jalan kegagalan. Tak ada kesuksesan. Tak ada kemanfaatan!

Dan aku tak ingin masuk neraka, karena dosa yang kuperbuat dengan sengaja. Aku sangat ingin menjadi penghuni surga, yang bangga dengan amal baiknya.

Amal baik sebagai seorang penulis, adalah karya-karyanya. Sedangkan amal buruknya, adalah pengingkaran atas niatannya.

Bismillah!

oleh Nassirun Purwokartun pada 13 Januari 2011 pukul 22:30