Catatan Kaki 59: Pagelaran Canda Pancawura Perkasa

Standar

 

“Kirain pagelaran musik! Taunya pagelaran mistik!”

Seorang remaja berseragam SMA tiba-tiba berbisik. Temannya yang disikut dan mendengar celetukan usil itu pun langsung terkikik.

Mereka berdua adalah rombongan study tour dari Jakarta, terbaca dari badge sekolah yang sempat kulihat pada lengan kanannya. Juga dari logat bicaranya yang terkesan cuek dan sangat mBetawi sentris. Dan saat itu, puluhan pelajar remaja itu tengah berada di Keraton Solo. Dipandu seorang guide yang menerangkan tentang bangunan yang sedang mereka kunjungi.

“Bangunan besar dan luas ini bernama Pagelaran Sasonosumewo. Mempunyai bentuk konstruksi atap yang dinamakan tridenta, artinya berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil.”

Aku yang kebetulan sedang berada di tempat itu, turut mengikuti dari belakang rombongan study tour tersebut. Dengan sesekali pura-pura memotret detail bangunan besar itu, dari mulai tegel besar seukuran langkah orang dewasa, hingga pilar yang besarnya lebih dari satu rangkulan.

Padahal maksudku adalah untuk ikut nguping keterangan pemandu itu. Lumayan, daripada harus menyewa guide sendiri. Apalagi kedatanganku ke Pagelaran ini, hanya sekadar mencocokkan dengan apa yang telah kupelajari. Untuk melihat langsung bagian-bagian bangunan cagar budaya yang sudah pernah kubaca. Jadi sudah ada bekal sedikit pengetahuan sebelumnya.

“Sesuai dengan namanya, Pagelaran Sasonosumewo artinya adalah tempat menghadap raja. Karena pagelaran berarti sebuah tempat terbuka, sedangkan sasono adalah rumah, dan sumewo itu menghadap. Jadi fungsi bangunan ini pada jaman dulu adalah merupakan tempat menghadap raja, bagi Patih, Bupati, dan jajarannya ke bawah. Juga menjadi tempat raja mengumumkan ‘pratanatan’ dan ‘angger-angger’ atau hukum dan undang-undang keraton.”

”Kalau gue jadi raja nih, ya,” kembali kudengar remaja berambut kriwil itu berbisik pada teman di sebelahnya, “gue bakal bikin undang-undang baru.”

Aku yang berada tak lebih semester di belakangnya pun jadi ikut nguping bisik-bisik mereka.

Gue bakal ngumumin undang-undang baru. Yang melarang para guru buat ngerazia hape muridnya. Biar koleksi kita aman. Oke gak? Hehehehe.”

Dan teman yang berambut jingrak itu langsung menukas, “Dan para guru juga dilarang ngiri sama HP muridnya yang lebih canggih, gitu?”

Kedua remaja itu terkikik dan saling sikut, tanpa memehatikan guide yang tengah menerangkan fungsi-fungsi bangunan yang ada di sekeliling pagelaran.

Aku pun turut tersenyum mendengar kekonyolan mereka berdua.

Sementara sang guide yang tampil nJawani, dengan blangkon hitam menutup kepala, dan samir merah kuning melingkar di lehernya terus menerangkan. Bahwa konon, pada saat pertama kali dibangun, Pagelaran masih bebentuk sangat sederhana. Atapnya hanya terbuat dari anyaman bambu dengan tiang penyangga yang juga dari batang bambu. Lantainya pun hanya berupa hamparan pasir, hingga bangunan ini sering disebut dengan nama tratag rambat.

Penyempurnaan Pagelaran baru dilakukan pada masa Paku Buwono X, raja yang bertakhta sejak tahun 1893 hingga 1936. Diperkuat dengan 48 tiang penyangga cor beton yang kokoh. Yang juga menjadi peringatan 48 tahun umurnya saat membangun Pagelaran tersebut, pada tahun 1913. Sama seperti tanda plenthon yang ada pada gapura Gladhag, yang juga berjumlah 48 buah.

“Namun bangunan yang kita lihat sekarang, bukan asli yang dibangun pada tahun 1931 dulu. Melainkan hasil perehaban pada tahun 1997 sampai 1998. Karena Pagelaran yang telah berumur 85 tahun waktu itu, telah menjadi bangunan tua yang kurang terawat, hingga kondisinya rusak parah. Atapnya yang hanya terbuat dari seng lembaran membuat bocor tak terhindarkan. Lantai yang basah dan menggenang ketika hujan datang, makin memperparah kerusakan bangunan.”

Aku yang ikut mendengarkan, turut prihatin dengan bangunan bersejarah itu. Karena konon, kerusakan bertambah ketika Pagelaran ini dipinjam untuk kantor dan perkuliahan Universitas Gabungan Surakarta (UGS) pada tahun 1975. UGS merupakan universitas hasil peleburan sejumlah akademi dan perguruan tinggi swasta dengan IKIP Negeri Surakarta. Yang kemudian menjadi cikal bakal kampus terbesar di Solo sekarang, yakni Universitas Sebelas Maret (UNS).

Konon plafon yang awalnya memang sudah lapuk, sebagian di antaranya menjadi sobek dan berlubang karena banyaknya paku yang menancap di seluruh bagian. Bangunan Pagelaran yang berupa aula terbuka itu, ketika dijadikan tempat perkuliahan, dibuat sekat-sekat kelas, menggunakan tiang-tiang kayu berpalang untuk membentuk ruangan. Hingga setelah papan-papan itu dilepas, bekas paku itu makin merusak bangunan yang memang sudah rapuh.

Bahkan setelah UNS pindah ke kampusnya sendiri di Kentingan, dua bangunan kembar bernama Bangsal Martolulut dan Bangsal Singanagara di belakang Pagelaran tinggal tersisa lantai pondasinya saja. Saat masih menjadi tempat perkuliahan, bangsal itu dimanfaatkan sebagai ruang percetakan. Dan bekas jaringan kabel listrik yang saling menyambung semrawut, membuat bangunan tua itu sangat beresiko tinggi untuk kebakaran.

“Baru pada 27 Oktober 1997, Pagelaran ini direhab seperti yang kita lihat sekarang ini. Setelah diadakan penelitian oleh UGM dan UNS, untuk mengembalikan keraton Kasunanan sebagai pusat kebudayaan. Sebuah pemugaran besar-besaran yang menghabiskan dana 2,25 Milyar.”

Sang guide sibuk menjelaskan dengan ramah pada rombongan abege gaul, yang aku tak yakin mereka benar-benar memerhatikan yang diterangkan.

Dan aku terus mengikuti ke mana pemandu itu menjelaskan sambil berjalan ke seluruh ruangan. Dengan terus berpura-pura memotret seluruh konstruksi bangunan yang ada. Termasuk sebuah bangunan yang berada tepat di tengah Pagelaran, yang disebut Bangsal Pangrawit.

Bangunan berupa rumah joglo kecil dengan 4 batang kayu jati tua berukiran kasar, yang konon peninggalan Kraton Jenggala. Di bawahnya tertanam sebuah batu andesit hitam, yang diyakini sebagai bekas batu singgasana Raja Majapahit, Hayam Wuruk.

Jaman dulu, Bangsal Pangrawit merupakan singgasana Raja ketika menerima laporan Patihnya. Namun sekarang sepertinya sudah tidak berfungsi, karena pada sekelilingnya dibuat pagar pembatas. Dan tepat di depannya terdapat papan bertulisan: ‘Dilarang Bermain di Pendopo’.

Saat membaca tulisan aku sempat tersenyum. Karena tepat di bawah papan pengumuman itu, kulihat seorang gelandangan tengah tertidur dengan nyenyaknya. Dan bukan hanya di depan Pangrawit saja, tapi hampir di setiap bagian Pagelaran, banyak orang yang tidur terlelap.

“Tidur itu bukan bermain, jadi mungkin boleh,” batinku sambil masih tersenyum.

Setelah memotret semua sudut Bangsal Pangrawit, aku mendekat kembali ke rombongan. Dan mereka tengah dibawa oleh guide ke luar ruangan, menuju ke sebuah meriam besar yang terpasang di sebelah timur halaman Pagelaran.

Aku pun ikut ke sana, dan kembali berpura-pura memotret meriam yang sangat besar itu. Yang dari papan nama di bawahnya terbaca namanya: Kyai Pancawura.

Pancawura berarti angin besar atau prahara,” sang pemandu kembali menjelaskan,” Namun ada juga yang menyebutnya dengan nama Kyai Pancawara, atau lima suara. Karena ketika dibunyikan, meriam itu sanggup mengalahkan kekuatan suara lima meriam lainnya. Dan karena bentuknya yang sangat besar, orang-orang menamakannya dengan Meriam Kyai Sapu Jagat.”

Aku yang hendak memotret meriam besar itu dari arah samping, mendadak mengurungkan. Karena remaja kriwil yang suka komen usil itu kembali berbisik pada temannya, “Wah si bapak ini payah. Jadi yang bener mana nih? Ini meriam apa sapu?”

Karena tak kuat menahan senyum terus mendenger kekonyolannnya, aku pun mundur menjauh dari mereka. Aku bergeser pindah tempat, namun tak terlalu jauh dari rombongannya. Tentu, agar masih bisa ikut mendengarkan penjelasan guide itu dengan tanpa bayaran.

“Setiap pengunjung yang datang ke Pagelaran, tak pernah melewatkan untuk mengusap meriam ini. Maka meskipun ini benda peninggalan lama, bentuknya sangat halus dan mengkilat karena sering diusap tangan. Sebab ada mitos yang mereka percayai, bahwa barang siapa yang bisa menangkupkan dua tangannya pada moncong meriam ini, maka orang itu akan beruntung.”

Mendengar penjelasan itu aku jadi ketularan usil, seperti remaja berambut kriwil itu. Aku pun membatin,“Ya iya lah, kalau memasukkan kepalanya ke moncong baru nggak beruntung!”

Setelah rombongan pergi meninggalkan meriam Kyai Pancawura, baru aku mendekatinya. Untuk memotret dari dekat meriam terbesar di keraton Solo ini. Yang sebelumnya, karena penjelasan dari pemandu, telah membuat beberapa remaja Jakarta itu pun ikut-ikutan mencoba peruntungan. Dengan berebut menangkupkan kedua tangannya pada moncong meriam.

Dari buku yang pernah kubaca, nama Pancawura sesungguhnya adalah sandi untuk tahun pembuatan meriam ini. Yaitu singkatan dari pandhita carem wuruking ratu. Dalam hitungan candra sengkala, sandi itu terbaca sebagai angka 1567. Yang berarti meriam tersebut di buat pada tahun Jawa 1567 atau 1645 Masehi.

Sedang asyik-asyiknya memotret, aku merasa ada seseorang yang tengah mendekatiku. Yang ketika kulirik sekilas, ternyata seorang ibu-ibu berdandan menor yang telah menjajariku.

“Dilihat dulu, Mas. Dibaca-baca dulu keterangannya,” ucapnya kemudian, yang ternyata hendak memromosikan barang dagangannya, yang berulang kali disodorkan padaku

Namun aku yang asyik memotret meriam peninggalan Raja Mataram, Amangkurat Agung itu tidak memedulikannya. Bahkan telah tiga kali kutolak dengan halus barang yang ia tawarkan.

Tapi ibu penjual itu sepertinya sangat bersemangat menawarkan, “Dilihat dulu barangnya, Mas. Dibuka bungkusnya, siapa tahu tertarik. Khasiatnya terbukti manjur, sudah banyak yang membuktikan. Bisa membuat seperti meriam Sapujagat itu lho, Mas.”

Aku pun kembali menyunggingkan senyuman untuk melakukan penolakan.

Dan aku tiba-tiba ternganga ketika tak sengaja melihat barang yang dipegang ibu penjual itu.

Sebuah kotak berwarna merah menyala yang sekilas kulihat ada gambar sosok lelaki perkasa. Dengan tulisan besar berwarna kuning keemasan: OBAT KUAT LELAKI SEJATI!

Astaghfirullah!”

oleh Nassirun Purwokartun pada 25 Februari 2011 pukul 17:33

Satu tanggapan »

Tinggalkan komentar