Daily Archives: 30 Maret 2012

Catatan Kaki 20: 20 Tahun, Ayam-ayam itu Bertengger di Bukuku

Standar

sepertinya aku punya bakat jadi pesulap juga. buktinya bisa mengubah ‘brontok’ menjadi ‘lupus’!

Waktu kecil dulu aku punya beberapa ekor ayam.

Dan aku suka memberi nama pada mereka, sesuai dengan warna bulunya.

Kalau ayam itu bulunya putih, aku beri nama ‘si Putih’. Kalau bulunya hitam, aku beri nama ‘si Cemani’. Sedangkan yang berbulu putih campur hitam, namanya ‘si Brintik’. Nama ‘si Brontok’ untuk yang berbulu coklat bercampur hitam. Nama ‘si Blirik’ untuk yang coklat berbelang merah. Lalu nama ‘si Klawu’ untuk yang abu-abu.

Itu untuk nama-nama anak ayam betina. Sedangkan untuk anak ayam jantan tinggal dikasih nama depan ‘Jengger’. Maka kalau pejantan itu berbulu putih, berarti namanya ‘si Jengger Putih’. Demikian pula untuk yang berbulu hitam, disebut ‘si Jengger Cemani’. Begitu seterusnya dengan ‘si Jengger Brintik’, ‘si Jengger Brontok’, ‘si Jengger Blirik’, dan juga ‘si Jengger Klawu.’

Ayam-ayam kecil itu bukan ayah atau ibu yang membelikan. Melaiankan orang-orang tualah yang memberikan. Ada yang pemberian Pakdhe, Budhe, Paklik, Bulik, ada juga yang dari Kaki dan Nini.

Sudah kebiasaan di kampungku waktu dulu, anak-anak kecil kalau berkunjung menjelang lebaran ke orang yang lebih tua, selalu dikasih anak ayam untuk dipelihara. Kedatangan seorang anak kecil yang sesungguhnya karena disuruh orang tuanya, untuk mengirimkan makanan Lebaran.

Mungkin ini sama dengan budaya orang kota, yang suka memberi uang saku pada anak-anak kecil di hari Lebaran. Hanya bedanya, kalau di kampung tidak memberi uang, tapi berupa anak ayam.

Entah apa alasan mereka dengan memberi anak ayam. Mungkin kalau memberi uang, mereka tidak punya. Atau mungkin justru dinilai kurang mendidik. Karena akan menumbuhkan budaya boros dan membuat anak suka jajan. Sedangkan memberi anak ayam untuk dipelihara justru melatih kemandirian.

Begitu pun denganku. Setiap menjelang lebaran, aku selalu disuruh untuk mengantar makanan ke tempat saudara. Dan pulangnya selalu mendapatkan anak ayam yang usianya masih tanggung. Belum terlalu tua, dan juga bukan anak ayam yang baru menetas. Kami menyebutnya dengan sebutan ‘Dere’. Dan dari ‘Dere-Dere’ pemberian itulah, ayam-ayamku kemudian beranak pinak menjadi banyak.

Waktu itu aku sudah naik kelas lima. Saat ketika aku sudah meninggalkan bacaan-bacaan anak, karena mulai tertarik dengan cerita-cerita remaja.

Kesukaan yang bermula dari banyaknya membaca majalah ‘hai’ yang kubeli dari kios loakan di Jalan Pereng. Letak kiosnya tepat di pojokan jalan yang memang miring dan menurun. Setiap minggu pagi aku bersepeda dua jam lamanya, untuk sekadar medapatkan bekasan majalah ‘hai’ itu.

Dan di dalam majalah ‘hai’ itu terdapat serial cerita remaja yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya. Tokohnya bernama Lupus, seorang anak SMA yang cuek namun kreativ. Selain menjadi pelajar, dia pun ‘nyambi’ kerja sebagai wartawan di sebuah majalah remaja.

Ciri khas ABG ini adalah tampil seenaknya, dengan rambut gondrong yang depannya awut-awutan. Konon karena meniru vokalis grup Duran-Duran. Cara berpakaiannya selalu mengenakan baju yang kedombrongan, yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Ketika bersekolah menggunakan tas yang sangat panjang talinya, dengan gelembung permen karet tak pernah lepas dari mulutnya.

Setelah banyak membaca serial itu, aku pun terpikat dengan pesona Lupus. Sosok remaja yang kreativ, konyol, mandiri, setia kawan, patuh pada orang tua, sedikit nakal namun jago menulis.

Sebagai anak kecil yang membutuhkan tokoh yang diidolakan, aku pun terpikat dengan gaya Lupus. Hingga aku bermimpi, suatu kali bisa seperti Lupus. Menjadi remaja yang mandiri dan suka menulis.

Menginjak kelas enam, aku sudah mulai mengenal toko buku. Toko yang menjual buku-buku baru. Karena tak jauh dari Jalan Pereng itu terdapat toko buku besar bernama ‘Angkasa’.

Pertama aku datang ke sana, karena setelah kubeli tiap minggu majalah ‘hai’ yang ada di kios Jalan Perang habis juga. Suasananya beda dengan kios loakan yang hanya berisi lapak biasa. Toko buku ini suasananya nyaman, rapi, dan dingin karena ada beberapa kipas angin besar pada langit-langitnya. Lumayan bisa menghilangkan keringat setelah mengayuh sepeda dan berpanas-panasan.

Dengan takut-takut aku memasuki pintu toko buku ‘Angkasa’, yang letaknya naik ke atas dari jalan raya.

Selain takut karena baru pertama itulah aku masuk toko buku besar, aku pun khawatir dengan sepeda onthelku yang kuparkir di tepi jalan. Kalau di kios loak Jalan Pereng, sepeda aku letakkan begitu saja dan bisa dilihat dari tempatku memilih majalah. Sementara di toko buku Angkasa ini, jarak antara jalan raya dengan toko ada trotoar yang cukup lebar. Dari trotoar ke pintu masuk toko juga ada jarak, karena tokonya lebih tinggi dari jalan. Maka aku selalu kepikiran dengan sepeda onthelku yang kuparkir di jalan. Dalam hati ada perasaan takut hilang, karena sepedaku itu tak ada kuncinya.

Ketika sedang memilih-milih majalah ‘hai’ itulah aku melihat serial Lupus yang sudah dibukukan. Ada beberapa judul yang telah terbit menjadi beberapa buah buku. Ada yang memang diambil dari serial yang selama ini sudah muncul di majalah, ada juga yang memang cerita baru yang belum pernah dimuat.

Aku tertarik dengan serial baru, karena belum pernah membacanya. Aku pun mencoba melihat judul-judulnya. Sampulnya yang menarik, hasil gambar dari Wedha sang illustrator ‘hai’. Aku buka-buka isinya, penuh cerita yang menarik minat baca. Juga perjalanan keliling daerah dari penulisnya untuk bertemu penggemarnya, yang diberi judul ‘Jumpa Lupus’. Aku sungguh ingin segera membelinya.

Namun uangku sudah terlanjur habis untuk membeli majalah. Dan kalau pun untuk membeli 1 buku itu, uangku pasti tidak cukup. Novel Lupus itu harganya satu buku 1.600 rupiah. Harga yang sama untuk mendapatkan 8 majalah bekas yang hanya 200 rupiah. Sementara uangku hanya 1000 rupiah.

Hingga keinginan membeli novel Lupus pun kutunda. Tapi semakin kutunda, ternyata semakin menggoda. Semakin ingin segera memilikinya. Dorongan semakin kuat untuk cepat membelinya.

Maka entah ide datang dari mana, aku berpikir untuk menjual seekor ayamku saja. Ayam peliharaan yang sudah lumayan besar, yang kukira harganya cukup untuk membeli beberapa buku Lupus sekaligus.

Dan esok paginya, rencana itu pun langsung kujalankan. Minggu pagi kutangkap seekor ayam berbulu hitam berlirik-lirik putih. Kujual ke tetanggaku yang penjual ayam di pasar Patikraja. Badannya yang sehat dan besar membuatnya laku empat ribu rupiah. Dan segera saja setelah uang ada di tangan, aku langsung mengayuh sepedaku ke toko buku Angkasa. Kubeli novel Lupus, dua buku sekaligus.

Aku pun bangga sekali. Dapat membeli buku sendiri, tanpa meminta uang ke orang tua lagi.

Namun justru setelah itu, penyesalan datang padaku. Bahkan aku merasa sangat bersalah pada ibu. Karena tanpa aku tau, ibu ternyata sudah punya rencana lain pada ayamku. Si Brintik itu sudah dijual ibu ke tentangga, untuk melunasi hutang arisan RT yang telah menunggak empat bulan.

Kejadian itu, kemudian membuatku tak berani menjual ayam sendiri, meski sebenarnya itu piaraanku sendiri. Selalu ibu yang menjualnya, baru aku minta bagianku, untuk kubelikan buku-buku.

Maka ketika kemarin aku buka lemari ‘museumku’, melihat ada nama ‘Brontok’ di bukuku, aku terkenang pada ayamku yang berbulu coklat bercampur hitam itu. Karena dulu, setiap membeli buku, pada halaman pertama kutulis tanggal pembelian. Sedangkan pada halaman rakhir kutuliskan nama ayam berikut harga penjualan. Sekadar pengenang pada ayam-ayamku yang telah menjelma menjadi buku.

Dan aku tersenyum membaca nama-nama ayamku, yang telah 20 tahun bertengger di bukuku.

Tentu kisah ini akan kuceritakan pada anakku. Bahwa ayahnya pernah menjadi seorang pesulap di masa kecil dulu. Yang dengan kekuatan ilmu ‘kepepet’, mampu mengubah ayam menjadi sebuah buku.

Abrakadabra, eh …. Alhamdulillah!

oleh Nassirun Purwokartun pada 3 Januari 2011 pukul 9:36

Catatan Kaki 19: Ilmu Bekasan dari Kampus Loakan

Standar

seorang teman suka meledekku, dengan menuliskan ‘gelar luar biasa’ pada alamat paket yang dikirim padaku. hwahahahaha

“Endingnya monoton! Ujung-ujungnya pasar loak!”

Tadi malam, seorang teman istimewa mengirimkan komentar ‘istimewa’nya.

Dari pertemanan di facebook, dia adalah salah satu teman dari jenis ‘spesies langka’. Selalu membaca statusku, namun tak pernah berkomentar. Kalau pun koment, tidak ditulis di status, namun sms yang dikirimkan. Dan tak kuduga, catatan harian yang kutulis ini pun dibacanya. Konon sejak hari pertama, hingga yang ku upload semalam. Dan tetap, dia tak memberikan komentar apa pun di catatanku. Hanya semalam dia sempat bertanya, “Kenapa harus pasar loak terus, sih?”

Namun sms-nya itu tak sempat kujawab, karena aku sedang padat acara. Kalau pun dijawab, dia pun telah lari entah ke mana. Karena selalu begitu tabiatnya. Maka catatan yang kutulis ini, untuk menjawab tanyanya.

Bahwa sesungguhnya tulisan ini hanyalah sebuah catatan harian. Bukan semacam cerpen yang membutuhkan ending. Kalau pun catatan ini berujung pada kios loak, itu pun bukanlah ending. Karena kios loak hanyalah suatu tempat di mana selama ini aku sering hunting.

Aku memang sedang mengumpulkan barang-barang yang dulu kumiliki. Benda-benda yang sekarang telah hilang entah ke mana pergi, padahal bagiku sangatlah berarti. Aku berusaha untuk memilikinya kembali, sebagai sebuah prasasti diri. Sekadar melengkapi museum kecil untuk sendiri.

Aku sadar, semua barang itu bukanlah benda berharga, apalagi bersejarah. Karena itu tak mungkin aku mencarinya ke museum-museum pemerintah. Maka benda yang bagi orang lain dianggap sampah itu, mau tidak mau harus kucari lagi di pasar loak atau, yang juga disebut pasar ‘sampah’.

Disebut pasar sampah karena di situ tersedia benda-benda yang telah dianggap sampah oleh pemiliknya. Segala benda yang tak dibutuhkan lagi dan sudah dibuang pemakainya. Dari majalah bekas, buku bekas, kaset bekas, baju bekas, hiasan bekas, telepon bekas, jam bekas, hingga peralatan makan bekas. Seluruh benda yang tidak digunakan, hingga telah dibuang ke tempat sampah. Namun ternyata, sampah bagi seseorang bisa jadi merupakan harta karun bagi orang lain.

Demikian pula denganku. Aku yang ingin mengumpulkan segala benda-benda bersejarah dalam kehidupanku, menemukannya di situ. Dari buku yang pertama kali kubaca, majalah yang pertama kali kukenal, hingga bermacam kaset yang pertama kali kudengar. Semua kenangan itu pun kembali kudapatkan.

Maka aku pun menjadi petualang pasar loak. Karena ternyata, ada keasyikan tersendiri ketika berburu ‘sampah-sampah’ itu. Persis seorang pemburu yang mengincar binatang buruan, aku pun berkelana ke sejumlah pasar klithikan. Untuk di Solo, bisa dipastikan dua hari sekali aku pasti jalan-jalan ke Gladhag. Kalau ke Jogja, sebulan sekali pasti dolan ke Shoping. Aku punya langganan yang masih menyediakan buku loak, di tengah kepungan kios yang menawarkan buku baru dengan harga diskon. Demikian juga kalau ke Semarang untuk mencari kaset bekas di pinggiran pasar Johar. Begitu pula kalau Malang, pasti mampir ke Jalan Wilis atau pun kios loakan yang ada di depan stasiun kota.

Jadi kalau orang lain ke luar kota, yang didatangi tempat wisata berikut tempat kuliner atau mall-mallnya, tidak demikian denganku. Aku lebih memilih pergi ke museum atau pun pasar-pasar loaknya.

Mungkin benar kata sosiolog, bahwa sesungguhnya pasar loak pun tak ubahnya museum. Karena ia turut menyimpan jejak peradaban. Bahkan kalau museum resmi sifatnya monoton dan menjejalkan pesan satu arah bagi pengunjungnya, tidak demikian dengan pasar loak. Pasar barang bekas itu justru mampu menjadi museum parsitipatif, di mana semua orang bisa bertemu dan bertukar pesan tentang masa lalu mereka. Sebuah ruang publik yang membuat warga saling berbagi pemahaman dan pengalaman masa lalunya masing-masing dengan benda yang mereka inginkan.

Tapi aku tidak sedang bercerita pasar loak sebagai museum peradaban. Karena dalam pengalamanku sendiri, pasar loak justru merupakan kampus bagi seluruh proses pembelajaran.

Sebab sejak aku keranjingan bacaan, kios loakan adalah mata air segar di tengah padang kehausan pengetahuan. Dengan harga yang murah, bisa kudapatkan buku-buku lama, yang tak mungkin mampu kubeli baru di toko buku. Dengan harga yang murah pula, bisa mendapatkan bermacam pengetahuan yang kubutuhkan. Apalagi bagiku, pengetahuan bukan barang yang gampang basi dengan berlalunya waktu. Karena ia bukan berita, yang seperti dinyanyikan Rita Rubby Hartland: hari ini dibaca, esok jadi pembungkus, lusa di tempat sampah.

Bermula dari buku dan majalah yang kudapat di pasar loaklah, aku sekarang bisa mengambar dan menulis. Bisa dengan sedikit PD mengenalkan diri sebagai seorang kartunis atau pun penulis.

Sekadar contoh, ketika ingin menjadi penulis, aku banyak belajar pada majalah ‘hai’. Majalah remaja yang waktu itu dikomandani Arswendo Atmowiloto, penulis ternama dengan segudang karya. Dan di dalam asuhannya, lahirlah barisan penulis muda yang karyanya banyak menghiasi majalah remaja. Semacam Hilman Hariwijaya, Gola Gong, Zarra Zettira, Adra P. Daniel, Bubin Lantang, Arini Suryokusumo, Yanti Raharjo, Gustin Suradji, dan banyak lagi yang lainnya. Dari cerita-cerita karya merekalah aku mencoba mencicipi mimpi menjadi remaja yang menikmati masa-masa indah. Meski pun sampai dewasa, mimpi itu hanya ada dalam cerita. Karena aku tidak memilih jalan ‘cinta’nya.

Untuk mendapatkan majalah ‘hai’ edisi bekasan itu aku harus mengayuh sepeda 15 km ke kota Purwokerto dari kampungku. Perjalanan yang cukup membuat keringat yang kulakukan setiap minggu. Demi membeli majalah dengan bekal uang jajan yang kukumpulkan selama sepekan. Dengan uang sekitar 500 hingga 1000 rupiah aku bisa mendapatkan 3 – 5 majalah bekasan.

Dan aku memilih naik sepeda, karena agar irit ongkos tentunya. Sebab uang tabunganku tidak seberapa. Sementara kalau naik angkot, harus jalan dulu ke Pasar Patikraja yang lumayan jauh dari rumahku. Sedangkan dari Pasar ke Purwokerto, sekali jalan sudah 200 rupiah. Pulang pergi menghabiskan 400 rupiah. Kalau tidak mau jalan kaki, untuk menitipkan sepeda di Pasar, 100 rupiah. Sudah menghabiskan 500 rupiah, yang semestinya aku bisa dapatkan 3 majalah.

Jadi sebenarnya bukan hari ini saja aku akrab dengan pasar loak. Karena sudah sejak dulu, barang-barang loakan sudah sangat akrab dengan kehidupanku. Dan bukan hanya majalah ‘hai’ yang kudapatkan di sana. Karena seluruh pengetahuanku, ternyata bermula dari buku dan majalah bekas.

Sekadar contoh saja, ketika aku ingin belajar menulis puisi, cerpen dan artikel, ilmu itu kudapatkan dari majalah Horison bekas. Ketika memahami cara menulis kolom, belajar dari tulisan Umar Kayam dan Gunawan Mohamad di majalah TEMPO bekas. Dari majalah itu pula aku juga belajar bagaimana menulis cerita yang bertutur, gaya reportase yang dikenal sebagai jurnalisme sastrawi.

Begitu pun ketika ingin menjadi seorang kartunis. Aku banyak belajar menggambar dari kartun yang ada di majalah Senang bekas. Juga sewaktu belajar menggambar komik sejarah gaya ‘Sawung Kampret’nya Dwi Koendoro, yang kupelajari semua dari majalah HumOr bekas.

Jadi harus kuakui, majalah dan buku bekaslah yang sekian lama menjadi sumber ilmuku. Dan pasar loakan lah yang menjadi tempatku menimba ilmu. Ilmu bekasan yang justru sangat berguna bagi kehidupan, dibadingkan dengan yang kudapatkan di bangku sekolahan.

Jadi bisa kukatakan, pasar loak adalah kampusku yang sesungguhnya.

Kampus yang (celakanya!) tak pernah mampu membuatku lulus apalagi diwisuda. Hingga aku pun tak pernah mendapatkan gelar sarjana apa pun juga, karena tak ketahuan siapa rektornya.

Alhamdulillah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 2 Januari 2011 pukul 17:3

Catatan Kaki 18: Wong Jawa Ilang Jawane

Standar

majalah PS edisi mei 1987, yang di dalamnya ada cerita misteri ‘siluman buaya’ itu, kutemukan di gladhag. melengkapi prasasti-prasasti kecilku!

Setajam-tajamnya pisau, kalau lama tak diasah, akan tumpul juga.

Begitu pun dengan pengetahuan. Akan hilang kalau tak pernah digunakan.

Itulah yang kemarin sempat kurasakan. Ketika sedang giat-giatnya membaca bermacam Serat dan Babad. Untuk mendukung penulisan novelku, aku ingin mendalami khazanah sastra Jawa dari sumber aslinya. Bukan yang sudah disalin ke huruf Latin, atau bahkan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Namun ternyata, kitab-kitab kuno dengan aksara Jawa itu bungkam. Karena aku tak bisa membacanya. Huruf ‘ha na ca ra ka’ itu bisu dalam ‘taling tarung wulu suku pepet’ yang tak lagi bisa kueja. Aku benar-benar mati kata. Sudah kucoba mengingat semua hurufnya, namun tetap tak bisa.

Aku betul-betul seperti ungkapan kekhawatiran para pecinta budaya Jawa. Sebagai orang Jawa yang telah kehilangan ke’jawa’annya. Buktinya, aku benar-benar tak lagi bisa membaca aksara Jawa.

Padahal waktu SD dulu, huruf Jawa merupakan hafalan di luar kepala. Sangat lancar membaca, bahkan menuliskannya. Karena sejak kelas 1 sudah diajarkan. Berbarengan dengan pengenalan huruf Latin. Dan kebetulan aku menyukainya, bersamaan dengan kesukaanku pada wayang dan tembang-tembang Jawa.

Kesukaan yang berlanjut hingga kelas 3 SD, ketika aku mulai mengenal majalah berbahasa Jawa. Ketika adik ibu yang menjadi guru di SMP Banyumas, sering membawa pulang Panjebar Semangat dari tempatnya mengajar. Aku sering main ke rumahnya, untuk ikut membaca.

Dari majalah itulah, kemampuan berbahasa Jawaku semakin terasah. Mulai mendalami bahasa Jawa gaya Solo-Jogja, yang oleh orang Banyumas disebut dengan ‘Bahasa Bandhek’. Bahasa yang bermula dari ungkapan para ‘Gandhek’, yang berbeda dengan yang kugunakan sehari-hari, yakni bahasa Banyumasan. Bahasa yang oleh orang Solo-Jogja sering dicemooh dengan sebutan ‘Bahasa Ngapak’.

Majalah Panjebar Semangat pun mulai mewarnai pengetahuanku. Sebagai anak kecil 10 tahun yang menggemari wayang, seperti menemukan wawasan baru. Karena dalam majalah tersebut, terdapat rubrik ‘Pedhalangan’, yang banyak menceritakan kisah-kisah pewayangan. Aku pun menjadi semakin matang memahami lakonnya, sejak Ramayana, Mahabharata, Baratayudha, bahkan hingga Pandhawa Seda.

Dalam majalah itu pula kudapatkan pengetahuan baru yang mengenalkanku pada ‘dunia lain’. Yaitu rubrik yang banyak menceritakan kejadian yang berhubungan dunia para hantu, yang konon merupakan kisah nyata dari penulisnya. Keingintahuanku membuatku tak pernah melewatkannya. Meski setelah membaca, ada ketakutan yang mulai membayang. Nama rubriknya adalah ‘Alaming Lelembut’.

Ada satu kisah yang sangat berkesan. Cerita yang sempat membuatku meninggalkan permainan yang sangat mengasyikkan, yaitu berenang menyeberang sungai Serayu.

Dalam edisi itu diceritakan, bahwa penulis yang tinggal di Brebes  pernah menemukan kejadian tentang buaya siluman. Buaya yang berdiam di kali Pamali, tak jauh dari rumahnya.

Konon, suatu hari ada perempuan cantik yang bertamu ke rumahnya. Perempuan itu meminta minum padanya. Setelah diberi minum air putih, ia pamit pulang. Namun ketika keluar dari rumahnya, berpapasan dengan 3 anak kecil. Ia menyapa 2 diantara 3 anak kecil yang akan bermain di kali Pamali.

Sore harinya terjadi kegemparan, karena 2 anak kecil itu diberitakan tenggelam di kali Pamali. Satu temannya mengatakan, bahwa ketika sedang berenang mereka berebut batang pisang yang hanyut. Dua temannya mengejar menangkap batang pisang di tengah sungai. Ia sendiri menunggu di pinggir.

Dua anak itu kemudian ditemukan telah mati. Dengan tubuh yang tidak utuh lagi. Menurut kepercayaan orang-orang, anak itu dimakan oleh buaya. Buaya siluman yang sebelumnya naik ke darat, dengan menyamar menjadi seorang perempuan. Perempuan yang meminta minum padanya.

Cerita itu sungguh terkenang-kenang dalam bayanganku. Hingga membuatku tak berani lagi berenang di sungai Serayu. Kebetulan saat itu sedang beredar kabar, banyak ternak peliharaan orang di pinggiran sungai Serayu yang hilang. Dicurigai dimakan oleh buaya besar yang mendiami palung dalam, tepat di atas tempat kami biasa bermain di pinggirannya. Beberapa orang, konon pernah melihatnya.

Bahkan karena takut, ketika teman-teman lain pindah ke pinggiran sungai yang lain, aku memilih tidak ikut. Aku benar-benar terpengaruh dengan cerita yang kubaca tersebut. Aku selalu membayangkan sedang melihat jelmaan siluman buaya, setiap kali melihat batang pisang yang terhanyut.

Dan cerita itu terbayang lagi, ketika tak sengaja majalah Panjebar Semangat itu kembali kutemukan. Majalah yang telah kubaca 20an tahun lalu, yang telah kudapatkan lagi di kios loakan. Ketika kulihat kembali judulnya, aku perhatikan gambarnya. Entah mengapa, getar itu masih tersisa.

Selain rubrik ‘Dunia Hantu’ itu, aku pun menyukai rubrik ‘Cangkriman’. Yaitu semacam teka teki yang disampaikan dengan bentuk tembang macapat. Yang masih kuingat adalah sebuah tebakan lucu, yang dinyanyikan dalam tembang Gambuh. Teka-teki sulit, namun ternyata jawabannya sangat mudah.

Beginilah cangkrimannya: “Wonten prabata agung, ajajar kekalih guwanipun, ing jro rungkud midid lesus angebeki , mawi tuk ilining ladhu, yen gora rimbagan miyos.”

Dan tahukah jawabannya? Ya, hidung!

Dan majalah itu sekarang kukoleksi. Semacam prasasti kecil, bahwa bacaan itu telah turut mewarnai masa kecilku. Majalah yang didirikan oleh Dokter Sutomo, sang pendiri Boedi Oetomo yang menjadi tonggak kelahiran Kebangkitan Nasional, diniatkan sebagai media pergerakan. Memasang jargon suci, ‘sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’. Kalimat sakti serupa mantra, ‘segala keangkaramurkaan kekuasaan di atas dunia, akan hancur oleh sikap tunduk dan kepasrahan pada kekuatan Tuhan.’

Satu lagi kenanganku dalam membaca Panjebar Semangat. Yaitu rubrik ‘Geguritan’. Aku yang sangat menyukai pengucapan Ki Dalang ketika membawakan suluk, membuatku mulai mencintai puisi Jawa.

Ada 2 puisi yang sampai sekarang hafal di luar kepala. Suatu puisi pendek saja, namun dalam maknanya.

Judulnya ‘Epigram Urip’. Begini bunyinya, ‘nandhur pari, durung karuwan ngundhuh pari, apa maneh nandur rawe.’ Artinya, ‘menanam padi saja belum tentu memanen padi, apalagi menanam belukar’. Maknanya, menebar kebaikan saja belum tentu berbuah kebaikan, apalagi menabur kejahatan.

Sementara geguritan satunya justru sangat mengena di hatiku hari-hari ini. Judulnya ‘Epigram Tentrem’. Syairnya singkat, namun padat. ‘Yen katentreman ing panuju, sauren sakabehing utangmu.”

‘Kalau ketentraman hidup yang hendak kau tuju, lunasilah dulu seluruh hutang-hutangmu.’

Adakah kamu, yang mau membantuku?

oleh Nassirun Purwokartun pada 1 Januari 2011 pukul 17:46

Catatan Kaki 17: Sobekan ‘Koran Doyok’ Pembungkus Nasi

Standar

bertahun-tahun aku mencari koran doyok yang sangat bersejarah itu. edisi 22 september 1988. dan kudapatkan di museum pers solo. tentu bukan dalam bentuk sobekan bungkus nasi. tapi dokumentasi utuh


“Kang Nass ini sebenarnya kartunis apa penulis?”

Seorang teman pernah bertanya begitu padaku. Dan hanya kujawab dengan senyuman saja, waktu itu.

Karena bagiku, yang disebut petani adalah mereka yang pekerjaannya memang bertani. Atau mereka yang mempunyai sawah untuk menanam padi. Atau seperti ayahku, yang tak punya sawah sendiri, hingga rela menjadi buruh tani. Tiap hari pergi ke sawah, untuk mencangkul, menyemai benih, mengairi, menyiangi, dan memanennya di kemudian hari. Yakni mereka yang makan nasi dari padi hasil keringatnya sendiri.

Maka demikian pula dengan seorang yang disebut kartunis atau juga penulis. Mestinya sebutan itu untuk mereka yang pekerjaannya memang betul-betul menggambar kartun atau yang benar-benar menulis.

Sementara aku? Apa tidak malu mengaku kartunis, kalau selama ini hanya membuat kartun asal jadi yang hasilnya tidak terpublish? Karena tidak bekerja di koran/majalah (seperti juga sawah bagi petani), tempat aku bisa menerbitkan (seperti juga menyebar benih dan menanam) kartun-kartunku.

Begitu pula kalau harus mengaku sebagai penulis. Mestinya kerjaku adalah benar-benar menulis (seperti petani yang tiap hari bekerja di sawah menanam padi), dan menghasilkan tulisan (seperti petani yang kemudian memanen padi). Aku malu menyebut diriku penulis, karena sampai setua ini belum mempunyai 1 pun buku yang diterbitkan, sebagai bukti bahwa pekerjaanku adalah menulis.

Bermula dari pertanyaan itu, aku bertekad memastikan posisiku.

Bahwa aku harus menjawabnya. Bukan menjawab pertanyaan temanku, tapi memberikan jawaban kepada diriku sendiri. Bukan dengan ucapan lagi, tapi dengan tindakan dan aksi. Aku harus kembali menulis, agar tidak malu ketika mengenalkan diri sebagai seorang penulis. Aku harus terus menggambar kartun, agar sah ketika menyebut diri sebagai kartunis.

Maka kalau pertanyaan itu diulang lagi, sekarang bisa kujawab dengan penuh percaya diri.

Hari ini aku bekerja di media (menjadi kartunis Koran O, koran peristiwa terkini), yang menuntutku harus menggambar kartun setiap hari. Yang setiap hari pula kartun-kartun stripku diterbitkan.

Hari ini pula aku sedang menyelesaikan trilogi novelku, Penangsang. Yang telah masuk jilid kedua, hingga menuntutku harus rajin menulis setiap hari. Maka ketika aku mengenalkan diri sebagai penulis, novelkulah yang dengan bangga kusebut sebagai ‘kartu nama’ perkenalannya.

Sekarang setiap malam aku harus menggambar 1 kartun strip, untuk diterbitkan tiap pagi. Kartun dengan 3 panel yang meyoroti perbincangan isyu terkini, dengan sindiran khas orang pinggiran.

Seorang teman pernah bertanya, “Kok bisa Kang Nass menggambar tiap hari, menyoroti peristiwa terkini? Apa mampu menjaga stamina agar tidak kehabisan ide yang dikuras tiap pagi?”

Aku kembali menjawabnya dengan senyuman. Karena ingin menjelaskan dengan pembuktian.

Bahwa menggambar komik tiap hari, adalah bagian cita-cita masa kecil. Keingingan yang telah kuidamkan sejak 26 tahun lalu. Ketika pertama terpesona dengan strip yang ada pada sobekan koran.

Sobekan koran yang waktu itu aku menyebutnya dengan nama ‘Koran Doyok’. Karena pada sobekan itu ada tulisan ‘DOYOK’ di pojok kanan atas. Dan di bawahnya terdapat kartun strip dengan tokoh utamanya bernama Doyok. Seorang laki-laki pengangguran dengan pakaian khas pembantu Jawa. Memakai celana cingkrang tiga perempat, baju surjan lurik merah, dan blangkon hitam sebagai penutup kepala.

Dan itulah komik pertama yang pernah kulihat. Komik yang langsung membuatku meniru gambarnya. Bahkan bercita-cita, suatu saat kelak aku bisa membuat komik serupa pada sebuah koran.

Aku mendapatkan koran itu, bukan dengan membelinya. Namun diperoleh ibu ketika membeli nasi bungkus buatku. Sobekan koran itulah yang menjadi pembungkus luarnya.

Pembungkus yang kemudian aku perhatikan seksama, setelah kuhabiskan nasinya.

Sungguh membuatku terpesona. Hingga sobekan itu aku simpan. Aku amati gambar tiap panelnya. Tiap perpindahan adegannya. Gaya garis gambarnya. Ekspresi wajah tokohnya. Bentuk tubuhnya. Balon kata-katanya. Ucapan tokohnya. Dan semua yang tergambar di sana, kujadikan pelajaran untuk menirukan. Aku gambar berulang-ulang hingga bisa kubuat tanpa perlu lagi melihatnya. Aku menjiplak betulan.

Dan setelah itu, tiap ibu berangkat ke pasar, aku selalu nitip agar beli nasi di warung makan itu. Dan minta agar dibungkus dengan ‘Koran Doyok’. Ibu pun selalu memenuhi permintaan itu. Hingga tiap ibu pulang dari pasar, bukan jajan yang kunantikan. Tapi bungkus nasi yang ada gambar strip kartun Doyok.

Setelah menginjak SMP baru aku tahu, bahwa ‘Koran Doyok’ itu adalah sisipan dari Koran Pos Kota. Koran berita dan peristiwa ibu kota, yang merupakan surat kabar dengan oplah terbesar di Jakarta. Dengan pangsa pembaca kelas bawah, yang banyak memberitakan peristiwa kejahatan. Hingga GM Sudarta (kartunis KOMPAS) pernah berseloroh, bahwa kalau Koran Pos Kota diperas akan mengucur darah. Karena banyaknya berita-berita criminal yang memenuhi halaman pertamanya.

Jadi kalau hari ini aku membuat komik strip untuk koran tempatku bekerja, itu semua adalah hasil belajarku ketika kelas 4 SD dulu. Mata pelajaran yang pernah kupelajari dengan seksama pada 20 tahun lalu. Ketika aku mencermati betul komik strip Doyok , hasil gambar kartunis bernama senior Keliek Siswoyo. Komik strip yang muncul tiap hari, hingga menjadi ikon branding dari Koran Pos Kota. Menjadi sosok yang mewakili suara rakyat bawah, penduduk urban ibu kota yang dipinggirkan.

Hingga aku pun berbangga, ketika pada kelas 2 SMA, kartunku masuk dalam Pameran Kartun Nasional di Purna Budaya Jogja. Pameran yang membuatku bertemu Keliek Siswoyo. Kukatakan padanya, bahwa komik stripnya adalah pelajaran pertama yang kupelajari ketika memahami komik strip. Aku pun berfoto bersama dengannya, sebagai kenang-kenangan yang membahagiakan.

Dan kejadian 16 tahun lalu itu terulang lagi 2 tahun lalu. Pada tahun 2008, ketika ketemu lagi di Bali dalam peresmian Museum Kartun Indonesia. Ada bahagia yang terulang. Seperti seorang murid yang bertemu dengan guru besarnya. Guru imajiner yang mengajariku membuat komik strip tiap hari.

Jadi kalau sekarang aku mampu membuat komik strip setiap hari, semua karena jasa sobekan koran pembungkus nasi. Dan kalau sekarang pun aku mau membuat komik strip setiap hari, semua karena keinginan untuk mencari sesuap nasi. Karena kata Arswendo Atmowiloto, tugas utama seorang penulis (dan semestinya demikian juga dengan kartunis!) adalah memberi makan untuk anak istri.

Tentunya bukan dengan memberikan sobekan koran. Tapi dengan nasi yang mengenyangkan.

Bismillah!

oleh Nassirun Purwokartun pada 31 Desember 2010 pukul 9:38