sepertinya aku punya bakat jadi pesulap juga. buktinya bisa mengubah ‘brontok’ menjadi ‘lupus’!
Waktu kecil dulu aku punya beberapa ekor ayam.
Dan aku suka memberi nama pada mereka, sesuai dengan warna bulunya.
Kalau ayam itu bulunya putih, aku beri nama ‘si Putih’. Kalau bulunya hitam, aku beri nama ‘si Cemani’. Sedangkan yang berbulu putih campur hitam, namanya ‘si Brintik’. Nama ‘si Brontok’ untuk yang berbulu coklat bercampur hitam. Nama ‘si Blirik’ untuk yang coklat berbelang merah. Lalu nama ‘si Klawu’ untuk yang abu-abu.
Itu untuk nama-nama anak ayam betina. Sedangkan untuk anak ayam jantan tinggal dikasih nama depan ‘Jengger’. Maka kalau pejantan itu berbulu putih, berarti namanya ‘si Jengger Putih’. Demikian pula untuk yang berbulu hitam, disebut ‘si Jengger Cemani’. Begitu seterusnya dengan ‘si Jengger Brintik’, ‘si Jengger Brontok’, ‘si Jengger Blirik’, dan juga ‘si Jengger Klawu.’
Ayam-ayam kecil itu bukan ayah atau ibu yang membelikan. Melaiankan orang-orang tualah yang memberikan. Ada yang pemberian Pakdhe, Budhe, Paklik, Bulik, ada juga yang dari Kaki dan Nini.
Sudah kebiasaan di kampungku waktu dulu, anak-anak kecil kalau berkunjung menjelang lebaran ke orang yang lebih tua, selalu dikasih anak ayam untuk dipelihara. Kedatangan seorang anak kecil yang sesungguhnya karena disuruh orang tuanya, untuk mengirimkan makanan Lebaran.
Mungkin ini sama dengan budaya orang kota, yang suka memberi uang saku pada anak-anak kecil di hari Lebaran. Hanya bedanya, kalau di kampung tidak memberi uang, tapi berupa anak ayam.
Entah apa alasan mereka dengan memberi anak ayam. Mungkin kalau memberi uang, mereka tidak punya. Atau mungkin justru dinilai kurang mendidik. Karena akan menumbuhkan budaya boros dan membuat anak suka jajan. Sedangkan memberi anak ayam untuk dipelihara justru melatih kemandirian.
Begitu pun denganku. Setiap menjelang lebaran, aku selalu disuruh untuk mengantar makanan ke tempat saudara. Dan pulangnya selalu mendapatkan anak ayam yang usianya masih tanggung. Belum terlalu tua, dan juga bukan anak ayam yang baru menetas. Kami menyebutnya dengan sebutan ‘Dere’. Dan dari ‘Dere-Dere’ pemberian itulah, ayam-ayamku kemudian beranak pinak menjadi banyak.
Waktu itu aku sudah naik kelas lima. Saat ketika aku sudah meninggalkan bacaan-bacaan anak, karena mulai tertarik dengan cerita-cerita remaja.
Kesukaan yang bermula dari banyaknya membaca majalah ‘hai’ yang kubeli dari kios loakan di Jalan Pereng. Letak kiosnya tepat di pojokan jalan yang memang miring dan menurun. Setiap minggu pagi aku bersepeda dua jam lamanya, untuk sekadar medapatkan bekasan majalah ‘hai’ itu.
Dan di dalam majalah ‘hai’ itu terdapat serial cerita remaja yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya. Tokohnya bernama Lupus, seorang anak SMA yang cuek namun kreativ. Selain menjadi pelajar, dia pun ‘nyambi’ kerja sebagai wartawan di sebuah majalah remaja.
Ciri khas ABG ini adalah tampil seenaknya, dengan rambut gondrong yang depannya awut-awutan. Konon karena meniru vokalis grup Duran-Duran. Cara berpakaiannya selalu mengenakan baju yang kedombrongan, yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Ketika bersekolah menggunakan tas yang sangat panjang talinya, dengan gelembung permen karet tak pernah lepas dari mulutnya.
Setelah banyak membaca serial itu, aku pun terpikat dengan pesona Lupus. Sosok remaja yang kreativ, konyol, mandiri, setia kawan, patuh pada orang tua, sedikit nakal namun jago menulis.
Sebagai anak kecil yang membutuhkan tokoh yang diidolakan, aku pun terpikat dengan gaya Lupus. Hingga aku bermimpi, suatu kali bisa seperti Lupus. Menjadi remaja yang mandiri dan suka menulis.
Menginjak kelas enam, aku sudah mulai mengenal toko buku. Toko yang menjual buku-buku baru. Karena tak jauh dari Jalan Pereng itu terdapat toko buku besar bernama ‘Angkasa’.
Pertama aku datang ke sana, karena setelah kubeli tiap minggu majalah ‘hai’ yang ada di kios Jalan Perang habis juga. Suasananya beda dengan kios loakan yang hanya berisi lapak biasa. Toko buku ini suasananya nyaman, rapi, dan dingin karena ada beberapa kipas angin besar pada langit-langitnya. Lumayan bisa menghilangkan keringat setelah mengayuh sepeda dan berpanas-panasan.
Dengan takut-takut aku memasuki pintu toko buku ‘Angkasa’, yang letaknya naik ke atas dari jalan raya.
Selain takut karena baru pertama itulah aku masuk toko buku besar, aku pun khawatir dengan sepeda onthelku yang kuparkir di tepi jalan. Kalau di kios loak Jalan Pereng, sepeda aku letakkan begitu saja dan bisa dilihat dari tempatku memilih majalah. Sementara di toko buku Angkasa ini, jarak antara jalan raya dengan toko ada trotoar yang cukup lebar. Dari trotoar ke pintu masuk toko juga ada jarak, karena tokonya lebih tinggi dari jalan. Maka aku selalu kepikiran dengan sepeda onthelku yang kuparkir di jalan. Dalam hati ada perasaan takut hilang, karena sepedaku itu tak ada kuncinya.
Ketika sedang memilih-milih majalah ‘hai’ itulah aku melihat serial Lupus yang sudah dibukukan. Ada beberapa judul yang telah terbit menjadi beberapa buah buku. Ada yang memang diambil dari serial yang selama ini sudah muncul di majalah, ada juga yang memang cerita baru yang belum pernah dimuat.
Aku tertarik dengan serial baru, karena belum pernah membacanya. Aku pun mencoba melihat judul-judulnya. Sampulnya yang menarik, hasil gambar dari Wedha sang illustrator ‘hai’. Aku buka-buka isinya, penuh cerita yang menarik minat baca. Juga perjalanan keliling daerah dari penulisnya untuk bertemu penggemarnya, yang diberi judul ‘Jumpa Lupus’. Aku sungguh ingin segera membelinya.
Namun uangku sudah terlanjur habis untuk membeli majalah. Dan kalau pun untuk membeli 1 buku itu, uangku pasti tidak cukup. Novel Lupus itu harganya satu buku 1.600 rupiah. Harga yang sama untuk mendapatkan 8 majalah bekas yang hanya 200 rupiah. Sementara uangku hanya 1000 rupiah.
Hingga keinginan membeli novel Lupus pun kutunda. Tapi semakin kutunda, ternyata semakin menggoda. Semakin ingin segera memilikinya. Dorongan semakin kuat untuk cepat membelinya.
Maka entah ide datang dari mana, aku berpikir untuk menjual seekor ayamku saja. Ayam peliharaan yang sudah lumayan besar, yang kukira harganya cukup untuk membeli beberapa buku Lupus sekaligus.
Dan esok paginya, rencana itu pun langsung kujalankan. Minggu pagi kutangkap seekor ayam berbulu hitam berlirik-lirik putih. Kujual ke tetanggaku yang penjual ayam di pasar Patikraja. Badannya yang sehat dan besar membuatnya laku empat ribu rupiah. Dan segera saja setelah uang ada di tangan, aku langsung mengayuh sepedaku ke toko buku Angkasa. Kubeli novel Lupus, dua buku sekaligus.
Aku pun bangga sekali. Dapat membeli buku sendiri, tanpa meminta uang ke orang tua lagi.
Namun justru setelah itu, penyesalan datang padaku. Bahkan aku merasa sangat bersalah pada ibu. Karena tanpa aku tau, ibu ternyata sudah punya rencana lain pada ayamku. Si Brintik itu sudah dijual ibu ke tentangga, untuk melunasi hutang arisan RT yang telah menunggak empat bulan.
Kejadian itu, kemudian membuatku tak berani menjual ayam sendiri, meski sebenarnya itu piaraanku sendiri. Selalu ibu yang menjualnya, baru aku minta bagianku, untuk kubelikan buku-buku.
Maka ketika kemarin aku buka lemari ‘museumku’, melihat ada nama ‘Brontok’ di bukuku, aku terkenang pada ayamku yang berbulu coklat bercampur hitam itu. Karena dulu, setiap membeli buku, pada halaman pertama kutulis tanggal pembelian. Sedangkan pada halaman rakhir kutuliskan nama ayam berikut harga penjualan. Sekadar pengenang pada ayam-ayamku yang telah menjelma menjadi buku.
Dan aku tersenyum membaca nama-nama ayamku, yang telah 20 tahun bertengger di bukuku.
Tentu kisah ini akan kuceritakan pada anakku. Bahwa ayahnya pernah menjadi seorang pesulap di masa kecil dulu. Yang dengan kekuatan ilmu ‘kepepet’, mampu mengubah ayam menjadi sebuah buku.
Abrakadabra, eh …. Alhamdulillah!
oleh Nassirun Purwokartun pada 3 Januari 2011 pukul 9:36