buku yang luar biasa. karena ternyata pengarangnya (mbah Toeriman), adalah ayah temanku (mas Cipto Pratomo), seorang seniman banyumas. dan ketika kukatakan padanya, bukunya berjasa pada masa kecilku, beliau terharu. Karena mbah Toeriman juga tak mempunyai arsipnya lagi.
Aku akan bercerita tentang paku.
Paku yang masih menancap di amben kayu ruang tamu rumahku.
Ruang tamu yang kutinggalkan 10 tahun lalu, isinya masih sama dan penempatannya pun tetap begitu. Bahkan mungkin sejak 30an tahun lalu, sewaktu aku baru dilahirkan di rumah itu.
Sama sekali tak ada yang berubah. Dan tak ada yang mengubah. Jendela depan masih dicat hijau muda dan jendela samping dengan warna merah. Demikian juga dinding-dindingnnya, masih dengan anyaman bambu hasil karya ayah. Lantainya pun masih tanah.
Semua masih seperti dulu. Hingga kalau aku pulang, seolah sedang memasuki masa lalu.
Pada ruang sebelah kanan terdapat 2 pasang meja papan. Dengan 4 kursi kayu kasar di sisi kiri dan 2 sriban panjang di sisi kanan. Di belakangnya terdapat 1 amben kayu, yang diletakkan merapat ke dinding anyaman bambu.
Pada amben kayu itulah terdapat paku itu. Sebatang paku sebesar lidi yang telah menancap sejak 26 tahun lalu. Dan tak sengaja sempat kulihat, ketika aku pulang kampung beberapa bulan lalu.
Paku yang tiba-tiba mengingatkanku pada kesukaan masa kecil dulu.
Sejak kelas 2 SD, entah kenapa aku sangat menggemari pertunjukan wayang kulit. Setiap ada pagelaran di balai desa, aku selalu ingin menyaksikan. Dan betul-betul menyaksikan pakeliran. Memerhatikan aksi Ki Dalang memainkan sabetan. Menyimak betul lakon dan mengikuti alur cerita yang disampaikan. Berikut mengamati bermacam tokoh wayang yang sedang dimainkan.
Untuk ukuran anak sekecil itu mungkin ini sebuah keanehan. Karena teman sebayaku, kalau menonton wayang, tujuannya sebagai hiburan. Hanya untuk bersenang-senang bersama keluarga atau teman-teman. Untuk sekadar jalan-jalan, membeli bermacam jajan dan mainan. Bukan untuk menyaksikan pementasannya. Apalagi mengikuti hingga tancep kayon di pagi harinya.
Karena di setiap pertunjukan, pasti bermacam penjual akan berjajar di sepanjang jalan. Dari penjual makan ringan semacam arum manis, manisan, kacang goreng, es lilin, es potong, dawet ayu, hingga makan berat seperti sroto babat, bakso urat, ataupun tahu kupat. Juga bermacam penjual mainan tradisional seperti thoet-thoet, othok-othok, jedhoran, gangsing bambu, pistol kayu, topeng kertas, wayang kardus, dan bermacam bentuk celengan.
Tapi entah kenapa, aku tak tertarik dengan bermacam jajanan atau pun segala mainan itu.
Aku justru selalu meminta ayah untuk menggendongku maju ke depan dan menaikkan ke panggung pertunjukan. Tempat di mana Ki Dalang memainkan pementasan dan seluruh penayagan (penabuh gamelan) serta waranggana (penyanyi) mengiringi pakeliran. Tenang duduk bersila di barisan belakang, dititipkan kepada tukang tabuh kenong yang berada di pojokan.
Lalu dengan tekun aku pun mengikuti penuturan Ki Dalang. Sejak suluk pembuka yang penuh lirik seperti sedang berpuisi, hingga perang kembang yang penuh dengan lagu saling menantang. Bahkan sampai waktu goro-goro datang, ketika para punakawan saling bercanda riang. Dan semalaman itu pula ayah dengan penuh sayang akan menemaniku begadang.
Kecintaan pada wayang pula, yang kemudian membuatku meminta hadiah waktu naik kelas dengan ranking 1 Hadiah berupa buku cerita wayang yang telah lama kuminta pada ibu.
Dan sangat luar biasa bahagia, ketika ternyata ibu mengabulkan permintaanku. Meski membelinya harus dengan uang tabungan jajanku. Namun karena tak pernah ke kota, apalagi ke toko buku, ibu minta tolong dibelikan pada seorang saudara yang kerja di kantor DPU.
Buku itulah yang kemudian menjadi ‘pakem pedalangan’ku yang pertama. Menjadi acuan memahami silsilah tokoh wayang purwa. Dimulai dari Betara Guru dan jajaran para dewa yang berdiam di kahyangan, para begawan yang bertempat di padepokan, tokoh kesatria yang bertakhta di seluruh kisah sejak Ramayana, Mahabarata, hingga Baratayudha. Lengkap dengan bermacam tokoh buta, punakawan, ksatria Pandawa, dan tentu saja para Kurawa.
Buku yang masih kuingat bentuknya, bahkan isi tiap halamannya. Baik gambar-gambar tokoh wayangnya maupun jalan ceritanya. Karena sejak pertama pegang sudah puluhan kali kubaca, hingga mengerti dan memahami betul silsilah, juga hubungan antar tokoh-tokohnya.
Buku itu sangat berkesan di hati, bukan sekadar karena menunjang kecintaanku pada wayang. Tapi juga karena itulah buku pertama yang mampu kubeli, dan bisa kumiliki. Sampulnya berwarna coklat tua, dengan hiasan gunungan di tengahnya berikut gambar tokoh wayang Baladewa. Judulnya ‘Wayang Purwa’ jilid 2. Harganya pun sangat murah, hanya 200 rupiah.
Buku yang membuatku mengetahui bahwa Pandita Durna yang kita kenal dengan kelicikannya, ternyata seorang brahmana yang pada mudanya seorang pemuda tampan bernama Bambang Kumbayana. Berasal dari negara Atasangin di seberang tanah Jawa, dan mempunyai saudara angkat bernama Drupada, yang menjadi raja di Pancala.
Suatu kali ia berniat menyusul ke seberang lautan menuju ke tanah Jawa. Namun karena tak bisa terbang, ia pun mengucapkan sayembara. Barangsiapa yang bisa menyeberangkan, kalau laki-laki akan diangkat sebagai saudara, kalau perempuan akan dijadikan istrinya.
Tiba-tiba datanglah seekor kuda betina, yang menyanggupi akan menyeberangkan Bambang Kumbayana. Pemuda tampan itu terkejut, namun tak mungkin mengurungkan sumpahnya. Maka dari perkawinan itulah lahir Bambang Aswatama, seorang bayi laki-laki dengan kaki mirip kuda.
Dan masih banyak kisah lainnya, yang terus terkenang hingga aku dewasa. Karena berbekal buku itu pula, dulu sempat membuatku bercita-cita menjadi seorang dalang.
Dengan menggunakan amben kayu ruang tamu yang kujadikan panggung pertunjukan. Berbekal wayang kardus yang kubuat sendiri, aku beraksi seperti seorang Ki Dalang betulan. Wayang-wayang yang kugambar dari kertas kardus yang dibeli ibu di warung. Wayang-wayang yang gambarnya kutiru dari buku ‘Wayang Purwa’ itu. Dan teman-teman sepermainanku membantuku menjadi penayagan, para penabuh gamelan yang menggunakan mulutnya sebagai alat musiknya. Ada yang bersuara mirip kenong, kendang, kempul, saron, rebab, dan gongnya.
Aku sebagai dalang pun lengkap dengan peralatannya. Yakni kecrek dan kethok untuk mengiringi suluk dan penanda bermacam pergantian adegan. Kethok yang menimbulkan bunyi ‘thok trok thok thok’ itu aku buat dari botol pewangi. Botol yang aku temukan di tempat sampah tetangga yang punya anak gadis yang hobby berdandan. Sedangkan kecreknya yang menimbulkan bunyi ‘cek crek cek cek’ aku buat dari tumpukan beberapa penyangga aluminium obat nyamuk bakar. Setelah dibuang tengahnya, dirangkai dengan kawat bangunan.
Kethok aku pegang dengan tangan kiri dan kupukulkan pada pegangan amben setiap mengiringi permainan wayangku. Sedangkan kecrek yang cara membunyikannya dengan dihentak pakai ujung kaki kanan, aku gantungkan pada sebatang paku.
Paku itulah yang masih tersisa sampai kini. Setelah berlalu 26 tahun lamanya. Sementara wayang buatanku, entah sudah ke mana. Padahal pada waktu masih di rumah, wayang-wayang itu aku simpan di sebuah kotak kayu di kamarku. Mungkin sudah dimakan rayap, atau malah sudah diambil orang. Karena sejak aku SD pun sudah banyak tetangga yang menyukai wayangku. Memesan dibuatkan wayang untuk dipajang di dinding rumahnya.
Dan karena melihat paku itulah, aku jadi teringat masa laluku. Wayang-wayangku. Teman-teman yang pernah menjadi penayaganku. Dan terutama pada buku bersampul coklat tua itu. Buku “Wayang Purwa’ yang merupakan hadiah kenaikan kelasku.
Pada waktu pulang kampung pula, aku mencoba mencari buku itu. Tentu tidak mencari di rumahku, karena tak mungkin ketemu. Buku itu telah hilang entah ke mana. Karena terlalu seringnya menjadi contoh menggambar, telah rusak di semua bagian. Sampulnya sudah lepas, gambarnya sudah banyak coretan, dan lembaran isinya pun sudah penuh sobekan.
Namun yang aku cari adalah buku yang sama. Buku terbitan tahun 1982. Yang setelah bertahun-tahun mencari di kios loakan, aku justru menemukannya di kios buku ‘M. Atma’.
Aku mendapatkan, setelah bertanya pada saudaraku yang dulu membelikan. Dan ternyata, setelah tertumpuk berdebu selama 26 tahun, buku itu masih terpajang di tokonya.
Aku sungguh bahagia. Kubaca ulang dari halaman pertama. Kunikmati kembali ceritanya. Gambaran tentang kehidupan manusia yang sangat beragam kisah kasih kesahnya.
Tiba-tiba aku pun terkenang kisah Bambang Kumbayana.
Membayangkan bisa membuat sayembara, “Barangsiapa yang hari ini bisa menjadikanku orang terkaya di indonesia, kalau laki-laki akan kuangkat sebagai saudara, kalau perempuan akan kujadikan ……..”
Bismillah… eh, Astaghfirullah!
oleh Nassirun Purwokartun pada 30 Desember 2010 pukul 22:33